BAHWA guru mengeluh tentang tulisan tangan para murid yang
ruwet, bukan hal aneh. Tapi kalau murid yang mengeluh (tulisan
guru mereka "kecil-kecil, miring, susah dibaca"), ini gawat. Dan
Medan barangkali hanya salah sebuah contoh.
Kegawatan itu terungkap berkat pengamatan Kepala Kantor
Departemen (Kakandep) P&K Kotamadya Medan, Drs. RM. Soesetyo.
Sejak sebelum menduduki jabatannya, bapak 50 tahun ini menyimpan
ketidakpuasan. Bila ia melihat tulisan tangan guru muda SD, atau
kebetulan menerima surat salah seorang guru yang baru diangkat,
pasti ia geleng-geleng kepala. Bukan saja soal kerapian.
Perbedaan huruf satu dengan yang lain sering tak jelas. "Huruf
'u' dan 'n' tak ada bedanya. Juga 'o' dan 'e' sering sama,"
tutur Soesetyo.
Maka bersama beberapa Kakandep P&K tingkat kecamatan di Medan,
Soesetyo merencanakan usaha pembinaan guru-guru muda SD itu.
Dari 1.462 guru SD yang pegawai negeri (baik yang di SD Negeri
maupun yang diperbantukan pada SD swasta), sekitar 500 adalah
guru IIa dan IIb. Usia rata-rata mereka di bawah 30 tahun.
Lomba diadakan di libur panjang ini. Topiknya: menulis indah.
Dan berbeda dari lomba untuk para murid (diadakan sebelumnya
dimaksud untuk melengkapkan gambaran dan hasilnya memang
menyedihkan), lomba untuk guru ini boleh dikerjakan di rumah
masing-masing. Yang disuruh tulis pendahuluan dan penutup Eka
Prasetya pegawai negeri.
Yang menarik, mereka boleh menulis dengan "gaya bebas." Boleh
miring, boleh tegak. "Toh pemerintah sebetulnya tak menghapus
tulisan miring," kata Soesetyo pula. "Lagipula mungkin ada guru
yang berbakat menulis miring."
Yang dimaksud oleh Kakandep itu adalah anjuran Departemen P&K,
sejak 1970, untuk memakai tulisan 'tegak bersambung' --
menggantikan tulisan miring yang tebal-tipis yang diwarisi dari
zaman Belanda dulu. Ketentuan itu kemudian diresmikan lewat
Kurikulum 1975. Sebabnya tulisan tegak bersambung konon lebih
gampang dipelajari anak-anak, dan memenuhi syarat 'jelas gampang
dibaca dan cepat' (TEMPO, 10 Januari).
Tapi tulisan para guru dewasa ini memang bukan hanya tidak
'tegak bersambung'. Tapi 'sempoyongan dan tidak jelas'. Dan
kejelasan, itulah yang pertama kali dituju oleh Departemen P&K
maupun lomba itu.
Sebetulnya tak hanya Kakandep P&K Medan itu yang menyimpan
ketidakpuasan. Sejumlah kepala sekolah SD di kota tersebut, yang
berusia di atas 40 tahun, pun sering pusing. "Dulu, di zaman
Belanda," tutur R.P. Butar-butar, 57 tahun, Kepala SDN Desa
Sunggal, "seorang murid tak bisa naik kelas kalau tulisannya
jelek."
Dan kata Pak Usman, 43 tahun, Kepala SDN Agenda, Medan Barat
"Dari 13 guru yang saya bawahkan, hanya 2 yang tulisannya
cantik. Yang lain, wah, macam cakar ayam. Ada yang di papan
tulis seperti naik-turun gunung, tidak lurus."
Maka para bapak kepala sekolah itu pun gembira menyambut
inisiatif lomba itu. Selama ini rupanya mereka merasa sungkan
juga menganjurkan guru-guru bawahannya belajar menulis. "Habis
di SPG tentunya 'kan sudah diberi pelajaran menulis," kata
Syamsul Qamar yang telah 29 tahun menjadi guru SD. "Tapi
guru-guru muda itu biasanya tak mau melatih diri. Kurang rajin,"
katanya.
Hasil lomba itu sampai awal pekan ini memang belum diumumkan.
Siapa yang menang, memang tak begitu penting. Yang penting,
seperti dikatakan Pak Soesetyo pula, "Tulisan yang rapi dan
indah mencerminkan watak yang tertib, rapi dan teratur." Itulah
mengapa, katanya, sampai sekarang masih banyak kantor yang
mengharuskan surat lamaran ditulis tangan.
Telah direncanakan, guru-guru yang tulisannya jelek akan
diharuskan berlatih menulis -- di bawah pengawasan Kakandep P&K
kecamatan, penilik pendidikan dan kepala sekolah. Kursus menulis
rapi dan indah, begitulah kira-kira. Dan ini memang boleh
ditiru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini