Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Pakar Semiotika ITB: Jokowi Pandai Memainkan Simbol, Akal Sehat Semakin Terhinakan

Menurut Pakar Semiotika ITB, Jokowi berhasil mengelola realitas menjadi simbol atau metafora. Menurutnya di rezim Jokowi akal sehat makin terhinakan.

23 Januari 2024 | 10.45 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wacana tentang pemakzulan Presiden Joko Widodo atau Jokowi berhembus kencang di akhir masa jabatan kepresidenannya. Wacana itu muncul ketika sejumlah tokoh dan masyarakat sipil yang menamakan diri sebagai Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat mendatangi Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud Md.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka meminta Mahfud pemakzulan Jokowi sebelum Pemilu 2024 dalam pertemuan di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, pada Selasa 9 Januari 2024 itu. “Ada juga mereka minta pemakzulan Pak Jokowi, minta Pemilu tanpa Pak Jokowi,” kata Mahfud MD.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam laporan Majalah Tempo edisi 21 Januari 2024, pemakzulan presiden sayangnya tidak sesederhana sebelum Undang-Undang 1945 diamandemen. Presiden dan wakil presiden hanya bisa dijatuhkan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum seperti berkhianat terhadap negara dan melakukan tindakan korupsi atau tindakan pidana berat lain. Secara prosedur, DPR akan mengajukan usulan pemberhentian kepada MK.

Tuntutan pemakzulan Jokowi itu merupakan buntut dari dugaan pelanggaran konstitusional yang dilakukan Jokowi. Dari mulai nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi (MK) dan intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Di lain pihak, Jokowi juga kerap bersikap hipokrit terhadap pernyataannya di publik. Terbaru, Jokowi mengungkapkan bahwa aparat negara harus netral. Namun, Majalah Tempo menemukan bahwa aparat ternyata secara sistematis bergerak demi memenangkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.  

Menurut Pakar Semiotika Institut Teknologi Bandung (ITB), Acep Iwan Saidi mengungkapkan bahwa seringnya Jokowi melontarkan pernyataan yang paradoks disebabkan Jokowi pandai mengelola bahasa dan memainkan metafora.

“Sejak Jokowi menjadi Presiden pada 2014, dia memang sudah pandai memainkan simbol dan tanda. Salah satunya adalah melalui penggunaan baju untuk menutupi realitas tertentu tetapi di sisi lain menampilkan representasi yang lain, terutama soal merakyat dan sederhana yang selama ini jadi anggapan masyarakat terhadap Jokowi,” kata Acep. 

Hal itu disampaikan Acep dalam diskusi bertajuk “Pilpres 2024 & Problem Defakutalisasi Di Era Post-Truth” yang diselenggarakan oleh Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia (FAMMI) & Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB pada 22 Januari 2024. Acara itu juga dihadiri oleh sastrawan Akmal Nasery Basral dan dipandu Arisakti Prihatwono.

Menurut Acep, kepandaian Jokowi mengelola metafora untuk menutupi realitas yang sebenarnya itu membuat masyarakat yang sebelumnya mendukung Jokowi menjadi terkejut. “Hal itu karena sebetulnya selama ini kita tidak melihat sesuatu yang ‘nyata’ tetapi hanya permainan tanda dan bahasa yang semakin menjauhkan kita terhadap kebenaran dan realitas itu sendiri,” kata Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB itu. 

Acep juga menambahkan bahwa masalah utama kita sekarang adalah bagaimana penguasa memainkan bahasa untuk menjauhkan masyarakat terhadap kenyataan yang ada. “Kita terus dipaksa untuk tetap berada di dunia tanda untuk melupakan realitas dan kebenaran yang sebenarnya,” ujarnya.

Hal itu membuat Acep melihat bahwa wacana pemilihan presiden semakin memuakkan karena akal sehat sudah tidak dihargai lagi. “Dengan begitu maka sudah wajar terjadi kalau akal itu terhinakan (di rezim Jokowi) saat ini,” kata Acep.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus