Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua survei terbaru menyatakan mayoritas anggota masyarakat menolak rencana pengunduran Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi.
Dua gagasan itu bisa menimbulkan perpecahan di masyarakat.
Istana menyatakan ide itu murni dari partai.
JAKARTA - Elite politik diminta mendengarkan suara publik soal penundaan pemilihan umum dan perpanjangan masa jabatan presiden. Keinginan masyarakat itu tecermin dari jajak pendapat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sigi dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) kemarin, misalnya, menyebutkan bahwa 74-75 persen responden yang tahu wacana ini tidak setuju atas perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo. Hasil yang sama dinyatakan oleh Indonesia Political Opinion (IPO), yang menunjukkan 61 persen publik tidak setuju atas penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden, baik dalam masa transisi maupun menambah jadi tiga periode.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah, mengatakan jika elite politik tetap ngotot melanjutkan ide tersebut, bisa terjadi instabilitas dan kegaduhan antara partai politik yang pro dan yang kontra. "Bukan tidak mungkin masyarakat juga akan bergerak turun ke jalan menyuarakan penolakan," kata dia, kemarin.
Selain itu, dia melanjutkan, opini dunia internasional terhadap Indonesia akan semakin buruk di tengah kemerosotan indeks penilaian demokrasi Indonesia. Penundaan pemilu karena akal-akalan politikus, ia sebut hanya akan membuat Indonesia dilabeli sebagai negara otoriter baru. "Pemerintah harus membatalkan rencana penundaan pemilu dan memberi pesan yang jelas kepada publik agar isu ini tidak semakin liar," kata Hurriyah.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra (tengah) bersama jajaran komisioner mencoblos surat suara sebagai tanda diluncurkan Hari Pemungutan Suara Pemilu Serentak Tahun 2024 di Gedung KPU, Jakarta, 14 Februari 2022. ANTARA/Reno Esni
Titi Anggraini, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengatakan masyarakat masih jernih dalam memandang demokrasi dan pemilu. Survei membuktikan publik masih berpikir logis bahwa pembatasan masa jabatan dan pemilu yang periodik merupakan aturan main dalam penyelenggaraan negara yang demokratis.
Jika rencana itu dipaksakan berjalan, Titi mengatakan, sangat mungkin publik memberikan perlawanan langsung dengan mengambil langkah frontal berhadap-hadapan dengan pihak otoritas. Apalagi isu ini bukan sesuatu yang bebas dari kepentingan praktis. "Sudah semestinya elite politik mendengarkan suara dan aspirasi rakyat. Memicu kemarahan publik bukanlah tindakan yang bijaksana," kata Titi.
Survei LSI menunjukkan hanya 48 persen responden yang mengetahui usul penundaan Pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan presiden. Saat diberikan pilihan, 62-67 persen responden yang tak tahu wacana ini juga menyatakan ketidaksetujuan mereka.
Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Faldo Maldini, menyatakan pemerintah tidak tahu-menahu soal rencana penundaan Pemilu 2024 ataupun perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi. Namun, karena usul berasal dari partai politik, aspirasi tetap akan ditampung. "Ini tidak ada kaitannya dengan pemerintah, apalagi dikaitkan dengan transaksi politik," kata Faldo.
Senada dengan itu, Deputi IV Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan ide penundaan pemilu tak pernah ada dalam agenda Presiden Jokowi. Menurut dia, Presiden selalu menjalankan tugas berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
EGI ADYATAMA | DEWI NURITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo