Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pasal Kontroversial Bertahan di RKUHP

Pasal tentang penghinaan terhadap presiden tetap dipertahankan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pemerintah dan DPR dianggap melanggar konstitusi jika RKUHP langsung disahkan tanpa ada pembahasan kembali.

23 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) belum juga mempublikasikan draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

  • Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai bahwa pasal tentang penghinaan terhadap pemerintah sejak awal memang problematik.

  • Terlepas dari polemik yang ada, pemerintah dan DPR berencana mengesahkan RKUHP pada Juli mendatang.

JAKARTA – Pemerintah tetap mempertahankan pasal tentang penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan pasal penghinaan pemerintah pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji. Hasilnya, Mahkamah menyatakan menolak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kalau Mahkamah Konstitusi menolak, kira-kira bertentangan dengan konstitusi atau tidak? Tidak, kan?” ujar Edward O.S. Hiariej, di kompleks DPR, Senayan, kemarin. Edward—atau sering disebut Eddy—menegaskan, pasal penghinaan terhadap pemerintah tidak bertentangan dengan konstitusi. Hanya, Mahkamah memerintahkan pasal itu diubah dari delik biasa menjadi delik aduan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) belum juga mempublikasikan draf revisi KUHP yang ditunda pengesahannya sejak 2019. Pemerintah belum juga mengirim draf RKUHP ke Dewan Perwakilan Rakyat lantaran masih banyak kesalahan tipografi atau typographical error (typo) dalam draf tersebut.

Eddy lantas menyebutkan kasus typo tersebut dari salah tik hingga penyesuaian antara batang tubuh dan penjelasan. Selain itu, masih ada sejumlah pasal yang dihapus sehingga membutuhkan sinkronisasi. “Misalnya begini, kan ada pasal yang dihapus. Kalau pasal dihapus, dia harus berubah semua,” ujarnya.

Pemerintah tidak ingin mengulang kesalahan redaksional seperti saat pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja. Karena itu, perlu waktu dalam perbaikan typo dalam draf RKUHP. “Anda bayangkan ada 628 pasal. Kami enggak mau seperti UU Cipta Kerja. Dibilang ada sekian ayat dan pasal, tapi ternyata tidak ada ayatnya. Itu yang membuat lama,” ucap Eddy. Dia memastikan perbaikan typo pada draf RKUHP ditargetkan rampung pada Kamis ini. Dia juga mengatakan akan mengundang aliansi masyarakat sipil untuk menjelaskan isu krusial RKUHP.

DPR periode 2014-2019 dan pemerintah sebenarnya telah menyepakati RKUHP dalam pembahasan tingkat pertama. DPR dan pemerintah tidak melanjutkan proses tersebut ke tingkat kedua atau persetujuan pengesahan rancangan undang-undang dalam rapat paripurna lantaran aksi protes masyarakat atas beberapa hal substansial RKUHP. Pemerintah dan DPR sepakat melimpahkan pembahasan atau carry over ke periode 2019-2024.

Setelah lebih dari dua tahun tanpa kabar, rapat Komisi III Bidang Hukum DPR dengan pemerintah pada 25 Mei lalu menyebutkan adanya 14 isu krusial dalam RKUHP. Di antaranya penjelasan mengenai the living law (hukum yang hidup), pidana mati, penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, serta tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib. Selain itu, ada dua isu krusial yang dihapus, yakni tentang advokat curang, dan dokter gigi, yang diserahkan ke Undang-Undang Kesehatan.

Para tukang gigi dari berbagai kota di Jawa Barat melakukan aksi unjuk rasa menolak RUU KUHP Pasal 276 ayat 2 di depan DPRD Jawa Barat di Bandung, 2019. TEMPO/Prima mulia

Eddy mengatakan pemerintah dan DPR perlu mensosialisasi 14 isu krusial itu kepada publik. Dia mencontohkan, pasal tentang penodaan agama yang diubah secara substansi berdasarkan masukan publik. Menurut dia, pasal penodaan agama dalam draf awal pembahasan 2019 hanya satu pasal, kemudian ada masukan sehingga ada penambahan. “Itu salah satu contoh. Jadi, ada perubahan substansi,” ujarnya.

Sejak munculnya 14 isu krusial tersebut, kelompok masyarakat mendesak pemerintah membuka draf RKHUP. Kelompok Aliansi Nasional Reformasi KUHP pada 9 Juni lalu melayangkan surat terbuka kepada Presiden dan DPR yang berisi desakan untuk segera membuka draf rancangan undang-undang ini. Mereka menilai masih ada catatan kritis yang perlu ditinjau bersama. “Bagaimana publik akan melihat dan mempelajari RKUHP jika drafnya saja tidak dibuka?” ujar aktivis Aliansi, Muhammad Isnur.

Perihal pasal penghinaan terhadap presiden, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai pasal tersebut sejak awal memang problematik. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Adam Putra Firdaus, menyebut pasal tersebut sebagai pasal berbahaya. Sebab, bisa mengkriminalkan seseorang yang mengkritik pemerintah. Rancangan aturan yang dimuat dalam Pasal 240 RKUHP ini menyebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menghina pemerintah yang sah, yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak kategori IV.

Adam menilai aturan itu melanggar prinsip persamaan di depan hukum antara pemerintah dan warga negara, serta mengancam kebebasan masyarakat dalam berpendapat. “Apalagi parameter tentang kerusuhan juga tidak dijelaskan,” kata Adam. “Kami khawatir seseorang berpendapat di media sosial, lalu viral dan viralnya bisa dianggap membuat kerusuhan.”

Terlepas dari polemik yang ada, pemerintah dan DPR berencana mengesahkan RKUHP pada Juli mendatang. Hingga saat ini draf belum selesai, dan pembahasan di DPR belum dilanjutkan. “Sampai hari ini belum ada progres. Sejak rapat dengan pemerintah pada 25 Mei lalu, belum ada pembahasan lanjutan,” ujar anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, kemarin.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengatakan pemerintah dan DPR dianggap melanggar konstitusi jika buru-buru mengesahkan RKUHP. Menurut dia, RKUHP seharusnya dibahas ulang, bukan langsung disahkan. “Ini bukan praktik yang konstitusional,” ujar Bivitri dalam diskusi daring, Jumat lalu.

RKUHP merupakan rancangan carry over atau pelimpahan ke DPR periode selanjutnya karena tidak tuntas dibahas DPR periode 2014-1019. Bivitri menjelaskan, anggapan bahwa RKUHP merupakan rancangan operan maka bisa langsung disahkan adalah pandangan yang salah. “DPR dan pemerintah seharusnya melakukan kembali pembahasan tingkat I tentang rancangan. Apalagi pemerintah mengatakan ada perubahan naskah RKUHP,” ujarnya.

RIRI RAHAYUNINGSIH | M. ROSSENO AJI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus