Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nama-nama yang diusulkan untuk pejabat kepala daerah didominasi oleh anggota TNI-Polri.
Ombudsman meminta anggota TNI-Polri dihapus dari daftar usulan calon pejabat kepala daerah.
Penempatan perwira aktif untuk pejabat kepala daerah tidak menjamin adanya perbaikan tata kelola pelayanan publik.
JAKARTA – Ombudsman Republik Indonesia mempermasalahkan nama-nama anggota TNI-Polri yang diusulkan menjadi penjabat kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Padahal, berdasarkan aturan, anggota TNI-Polri harus lebih dulu mundur dari keanggotaannya untuk bisa diajukan sebagai penjabat kepala daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023, untuk memilih penjabat kepala daerah, pemerintah diharuskan melibatkan DPRD. Mekanismenya, DPRD dan Kementerian Dalam Negeri masing-masing mengusulkan tiga nama. Dari keenam nama yang terkumpul itu kemudian dipilih tiga nama untuk diajukan kepada presiden. Presiden nanti menetapkan satu dari tiga nama itu menjadi penjabat kepala daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan pada September 2023 akan ada sepuluh gubernur yang habis masa jabatannya. DPRD pada masing-masing provinsi tersebut sudah menyodorkan tiga nama untuk menduduki posisi penjabat kepala daerah. "Unsur TNI dan Polri menonjol," ujar Robert di kantor Ombudsman, Jakarta, kemarin. “Hanya satu-dua yang bukan (anggota TNI-Polri).”
Robert mencontohkan seorang perwira tinggi TNI Angkatan Laut diusulkan oleh DPRD Sumatera Selatan. Sementara itu, di Nusa Tenggara Timur ada satu perwira polisi. “Data lengkapnya sudah kami serahkan ke Kemendagri,” katanya. Hal serupa, kata Robert, terjadi di tingkat kabupaten/kota. "Tapi saya tidak terlalu berfokus ke sana. Saya berfokus di provinsi."
Ombudsman mendapat usulan nama-nama anggota TNI-Polri itu langsung dari DPRD melalui perwakilan Ombudsman di 34 provinsi. Menurut Robert, Kemendagri sebenarnya telah menegaskan bahwa anggota TNI-Polri yang masih aktif tidak diusulkan menjadi penjabat kepala daerah. Namun ia menduga informasi itu tidak sepenuhnya sampai kepada DPRD. “Sebab, surat dari Kemendagri hanya menjelaskan mekanisme serta tenggang waktu tanpa menjelaskan rambu-rambu yang boleh dan tidak,” katanya. “Nah, ini membuat DPRD tak punya panduan ketika mengajukan usulan."
Penyampaian pidato pertama Gubernur NTT periode 2018 -2023 dalam rapat paripurna DPRD Nusa Tenggara Barat, 11 September 2018. Dok. Humas Polda NTT
Karena itu, Ombudsman merekomendasikan agar Kemendagri mencoret usulan nama penjabat kepala daerah yang masih aktif di TNI-Polri. Langkah ini dapat dilakukan pada tahap penyaringan dalam tim penilai akhir.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 diamanatkan bahwa pada 2024 akan dilaksanakan pemilu secara serentak, yaitu pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah. Penyerentakan ini membuat 170 posisi kepala daerah kosong karena harus menunggu hasil pemilu serentak. Untuk mengisi kekosongan itu, pemerintah akan mengangkat penjabat kepala daerah dengan rincian 17 penjabat gubernur, 115 penjabat bupati, dan 38 penjabat wali kota.
Pada September ini, sebanyak 85 penjabat kepala daerah akan diangkat. Sepuluh di antaranya adalah penjabat gubernur dan sisanya penjabat bupati serta wali kota. Khusus untuk penjabat gubernur dibutuhkan untuk mengisi kekosongan di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rozy Brilian, mengatakan penempatan anggota TNI-Polri sebagai penjabat kepala daerah merupakan bentuk pembangkangan terhadap sejumlah aturan. Di antaranya Undang-Undang TNI, Undang-Undang Polri, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. "Aturan itu sangat jelas bahwa perwira aktif harus mengundurkan diri lebih dulu sebelum menduduki jabatan lain di sektor yang telah ditentukan," kata Rozy.
Rozy mencontohkan Pasal 201 ayat 10 dan 11 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Di sana termaktub bahwa mereka yang berhak menjadi pejabat kepala daerah adalah pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/wali kota.
Sedangkan dalam UU Aparatur Sipil Negara disebutkan, jabatan pimpinan tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI-Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif. "Begitu pula dalam Pasal 28 ayat 3 disebutkan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian," ujar Rozy.
Rapat paripurna DPRD Provinsi Sumatera Selatan, 24 Juli 2023. Dprd.sumselprov.go.id
Selain itu, Rozy menyebutkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dalam Pasal 47 ayat 1 undang-undang tersebut juga disebutkan prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Ketentuan itu diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022. “Disebutkan bahwa hanya anggota TNI-Polri yang sudah tidak aktif yang bisa menjadi penjabat kepala daerah," kata Rozy.
Pendapat serupa disampaikan Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri. Jadi, anggota TNI-Polri yang memang berminat mengisi posisi pejabat kepala daerah harus mundur dari keanggotaannya di TNI-Polri. "Mereka harus pensiun. Sebab, kalau tidak, berarti melanggar undang-undang,” katanya.
Kritik terhadap penempatan anggota TNI-Polri pada jabatan sipil, kata Gufron, sebenarnya sudah lama disuarakan. Namun pemerintah seperti tidak pernah mengevaluasi meski Ombudsman mengeluarkan rekomendasi. "Kalau dibiarkan terus-menerus, nanti bisa menghidupkan dwifungsi ABRI," ujarnya.
Lagi pula, kata Gufron, penempatan perwira aktif untuk pejabat kepala daerah tidak serta-merta memperbaiki tata kelola pelayanan publik. Kehadiran personel TNI atau Polri justru semakin membuat pemerintahan tidak terbuka karena menganut “budaya komando”. Padahal pemerintah sipil mengedepankan pelayanan publik. "'Kultur komando’ tidak berlaku dalam konteks pemerintahan sipil,” katanya. “Jadi, bisa merugikan masyarakat."
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo