Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GELENGAN kepala hadirin dan kernyitan dahi banyak mewarnai
sidang Mahkamah Pelayaran yang saat ini memeriksa musibah
Tampomas II. Para ABK (anak buah kapal) Tampomas II ternyata
tidak menguasai peralatan yang ada. Mualim I M. Ali Hamzah
misalnya, orang kedua setelah nakoda yang sedang "cuti" tatkala
musibah Tampomas II terjadi, ternyata tak mengerti cara
menggunakan peralatan pemadam kebakaran yang ada di kapal.
"Saya belum sempat mempelajarinya karena semuanya berbahasa
Jepang," ujarnya tatkala ditanya majelis mahkamah.
Kepala Kamar Mesin Dedy Haryadi juga mengaku tidak pernah
menerima pembagian tugas di kapal dalam pelayaran, khususnya
berhubungan dengan usaha pemadaman kebakaran. Yang lebih
mencengangkan lagi: Jurumudi Asir Wayoi, 54 tahun, ternyata
buta huruf dan hanya bisa menulis namanya sendiri dan
angka-angka.
Bagaimana mungkin semua itu terjadi? Maka orang pun menoleh ke
PT Pelni yang menginduki para pelaut tersebut. Apakah pimpinan
perusahaan negara ini tak mengetahui kemampuan karyawannya?
Bagaimana manajemennya dalam Pelni hingga keadaan seperti itu
bisa terjadi?
Dari pimpinan PT Pelni muncul jawahan yang agak defensif. "Kalau
ada ABK yang kurang trampil atau kurang berwibawa, itu secara
individual. Jadi kurang kena kalau digeneralisasikan," kata
Direktur Utama PT Pelni, M. Huseyn Umar.
Tentang adanya jurumudi yang buta huruf, seorang pejabat Pelni
lain menjawab "Dia kan karyawan angkatan lama. Yang baru
semuanya harus berijasah. Kalau sebagai pelaut dia memang
berpengalaman, apakah dia harus dipecat?"
Bagaimanapun, tengggelamnya Tampomas II serta sidang Mahkamah
Pelayaran yang memeriksanya, telah sempat menyingkap berbagai
kekurangan dalam tubuh Pelni. Hingga muncul banyak kecaman
pedas. Tidak terkecuali yang berasal dari kalangan dalam.
"Hampir semua awak kapal tidak mengerti peralatan yang ada di
kapal Tampomas II. Apa itu manajemen yang baik?" tanya Harun
Rasidi, bekas Direktur Utama Pelni dan, kini menjabat Ketua
Umum INSA (Gabungan Pemilik Kapal Indonesia). Menurut dia,
untuk suatu kapal penumpang -- apalagi kapal penumpang yang
diandalkan dan terbaik seperti Tampomas II -- seharusnya awak
kapal benar-benar yang terbaik yang ada di Pelni. "Hal itu
saya lakukan ketika saya memegang Tampomas I."
Harun Rasidi boleh saja mengecam dan pasti pimpinan Pelni bisa
menjawab dengan setumpuk alasan. Namun satu pertanyaan Harun
bisa digaris bawahi apakah Pelni saat ini dikelola dengan baik?
PT Pelni dibentuk pemerintah RI pada 28 April 1952 dengan
melikuidasi Yayasan Pepuska (Penguasaan Pusat Kapal-kapal) dan
mengalihkan kekayaanna pada perusahaan baru ini. Armada Pelni
dimulai dengan 8 kapal bertonase 4.800 DWT, dengan karyawan
sekitar 500 orang. Modal pendirian Rp 200 juta. Waktu itu
praktis lautan Indonesia dikuasai kapal-kapal milik KPM
(Koninglijke Paketvaart Maatschappij) milik Belanda.
Latarbelakang pendirian Pelni memang politis, untuk menyaingi
KPM dan kalau mungkin mengambil alihnya. Ini terlaksana pada
1957. Kehidupan Pelni mengalami pasang surut dan secara
finansial hampir selalu menderita kerugian.
"Pelni mempunyai misi pokok menyelenggarakan angkutan laut yang
sistemtis, secara tetap dan teratur, di seluruh Indonesia
sebagai pengejawantahan dari Wawasan Nusantara dalam rangka
proses pemerataan pembangunan." kata Husseyn Umar.
Hingga di samping berfungsi sebagai perusahaan biasa, Pelni
juga mempunyai kewajiban sosial-politi: kapal-kapal Pelni bisa
direkrut pemerintah dan para pelautnya bisa dimiliterisasikan,
misalnya jika negara dalam keadaan darurat. Jika terjadi krisis
bahan poko di suatu daerah, kapal Pelni bisa dikerahkan.
Kewajiban sosial-politis ini ini terjelma juga dalam bentuk
pelayaran perintis yang diselenggarakan Pelni.
Di bidang armada, Pelni saat ini yang terbesar di antara 46
perusahaaan pelayaran Nusantara. Persero ini memiliki armada
sekitar 105.000 DWT atau sekitar 30% dari jumlah 330.000 DWT.
Volume angkutnya sekitar 32% (sekitar 1,5 juta ton/tahun dari
4,8 juta ton/tahun). Di bidang angkutan penumpang Pelni
merajai: 90% dikuasai Pelni.
Dii samping memiliki 71 kapal -- lebih separuhnya merupakan
kapal yang tua -- yang merupakan tulang punggung perusahaannya,
Pelni juga memiliki beberapa kegiatan penunjang. Antara lain
kegiatan terminal (meliputi pergudangan, bongkar muat, EMKL dan
angkutan bandar), galangan, cabang-cabang, keagenan serta
sebuah Rumah Sakit. Jumlah karyawannya sekitar 6.000 orang,
sekiitar 2.600 di antaranya pelaut.
"Pengoperasian kapal-kapal dalam lin RLS (Reguler Liner
Service) yang merupakan lin ekonomis tidak ada masalah. Yang
menimbulkan kerugian adalah lin nonekonomis termasuk pelayaran
perintis," kata Husseyn Umar. Kerugian di lin nonekonomis ini
tahun lalu antara Rp 1,5 - Rp 2 milyar.
Berbagai langkah penertiban yang dilakukan Dir-Ut Husseyn Umar
rupanya telah memperbaiki neraca Pelni (lihat box). Ia lalu
menyodorkan angka pada 1978 kerugian Pelni sekitar Rp 3 milyar.
Tahun 1979 kerugian turun menjadi Rp 2,4 milyar. Pada 1980
menurut perkiraan sementara jumlah kerugian anjlok menjadi
sekitar Rp 500 juta.
Para pemimpin Pelni malah boleh tersenyum lebar. Pemerintah
sejak tahun anggaran 1980/1981 memberi kompensasi atas kerugian
Pelni dalam menjalankan lin nonekonomis. Untuk pertama kalinya
kompensasi itu sebesar Rp 1,5 milyar dan telah direalisasikan Rp
1,1 milyar.
Hingga banyak yang menduga, untuk pertama kali tahun ini Pelni
bakal memperoleh keuntungan, paling tidak mencapai titik impas
(break-even). Prestasi Pelni tahun lalu misalnya: mengangkut
penumpang 550.000 orang termasuk 38.000 transmigran yang
menghasilkan penerimaan Rp 8,3 milyar. Penghasilan terbesar
tetap diperoleh dari angkutan muatan 1,5 juta ton yang
menghasilkan penerimaan Rp 17,3 milyar. Pada 190 itu Pelni juga
membongkar muat 5,7 ton barang, seharga Rp 6,7 milyar.
Toh Husseyn Umar tetap menunjukkan sikap hati-hati.
"Tenggelamnya Tampomas II serta pengoperasian beberapa kapal
Pelni untuk mencari korban telah mempengaruhi penerimaan,"
katanya pekan lalu.
Tampomas II memang sumber keuntungan buat Pelni. Sampai 24
Januari 1981, yaitu keberangkatan terakhir kapal dari Jakarta ke
Ujungpandang, Tampomas II telah mengadakan 25 trip pulang pergi
dan mengangkut 129.710 penumpang, 4.415 mobil dan 1.070 motor
dan 2.200 koli barang. Penerimaan yang diperoleh lebih dari Rp
2,7 milyar.
Ditaksir sekitar separuh jumlah itu merupakan surplus berupa
uang tunai, termasuk akumulasi dana penyusutan. Dana penyusutan
Tampomas II per hari diperhitungkan sekitar Rp 1,78 juta atas
dasar perhitungan penyusutan 8 tahun, sedang bunga modal per
hari diperhitungkan sekitar Rp 685.000. "Secara finansial
pengoperasian Tampomas II sangat feasible," komentar seorang
ahli perhubungan.
Ada yang menduga besarnya keuntungan itu yang mendorong jadwal
operasi kapal Tampomas II yang ketat sehingga menimbulkan kesan
"dipaksakan". Dengan kalem Husseyn Umar membantah ini. Kapal
itu, katanya, secara teknis didisain untuk mampu beroperasi
terus menerus selama 1.000 jam.
DIBANDING perusahaan negara di bidang angkutan lain, misalnya
PJKA yang defisit sampai melebihi Rp 10 milyar, kondisi Pelni
secara finansial memang boleh dibilang lebih mendingan. Namun
mengapa Pelni lebih disorot dibanding PJKA misalnya?
Sikap masyarakat yang kurang ramah terhadap Pelni tercermin juga
dalam poll TEMPO tahun lalu. Dalam pengumpulan pendapat itu,
54,45% responden menginginkan agar perusahaan pelayaran
sebaiknya tidak dikelola oleh pemerintah. Artinya dipegang
swasta. Agaknya sikap responden didasarkan atas pengalaman dalam
pengangkutan penumpang. Apakah ini berarti pamor Pelni, di
samping 2 perusahaan negara di bidang pelayaran lain -- PT
Bahtera Adhiguna dan Djakarta Lloyd -- di mata masyarakat pudar?
Bila poll tersebut dilaksanakan setelah musibah Tampomas II,
mungkin sekali hasilnya akan jauh lebih tegas.
Setelah tenggelamnya Tampomas II kesan yang kurang simpatik pada
Pelni mungkin timbul setelah mengetahui upaya pertolongan yang
payah sekali. Sidang Mahkamah Pelayaran yang menyingkap wajah
Pelni lebih tak membantu citra perusahaan ini. Ditambah lagi
dengan adanya kesan cara penanganan yang "dingin" atas berbagai
misteri di balik tragedi ini.
Apakah langkah penertiban Husseyn Umar serta situasi keuangan
Pelni yang membaik akan mengubah citra masyarakat pada persero
ini? Ini yang masih harus ditunggu. Namun banyak kalangan dalam
Pelni sendiri yang menganggap langkah Husseyn Umar belum cukup.
Misalnya soal perbaikan gaji. "Gaji kecil, tapi mau ke mana
lagi? Cari kerja lain susah," keluh Masih, 42 tahun, yang sudah
17 tahun bekerja di Pelni. Jabatannya pengawas buruh muat barang
ke kapal. Lelaki dengan 3 anak ini sekarang bergaji Rp 40.000
sebulan. "Tak cukup untuk hidup," katanya.
Keluhan masih banyak disuarakan rekannya yang lain. Hingga ada
teori: banyak penyelewengan di Pelni terjadi karena gaji yang
kurang. Misalnya ABK menyewakan kamarnya atau menyelundupkan
penumpang gelap ke kapal.
Seorang pejabat Pelni menganggap, mereka yang bekerja di laut
perlu memperoleh penghasilan yang lebih besar. Sebagai
perbandingan ia menyebut contoh: di Djakarta Lloyd gaji
tertinggi (nakoda) Rp 560.000 dan yang terendah Rp 90.000 di
Bahtera Adhiguna tertinggi Rp 658.000 dan terendah Rp 65.000.
Sedang di Pelni yang tertinggi hanya Rp 224.000 dan terendah
Rp 34.000. Semuanya itu pendapatan secara keseluruhan.
SEORANG pejabat lain menyebut kekurangan Pelni yang lain
kurang adanya sanksi. "Peraturan perusahaan sebenarnya sudah
baik. Tapi kurang bisa jalan karena tak disertai sanksi.
Seharusnya orang bekerja di Pelni mesti diberi pecut dan roti,"
katanya. Maksudnya kalau ada yang menyeleweng "pecut" yang
harus digunakan.
"Soal gaji itu relatif," bantah Husseyn Umar. ABK Pelni katanya
selain gaji menerima berbagai premi, misalnya premi mil laut.
Perbaikan gaji di Pelni menurut dia dilakukan dengan pengarahan
pemerintah. "Tahun lalu ada kenaikan gaji 20%. Mudah-mudahan
tahun ini ada kenaikan lagi," janjinya. Penindakan pada karyawan
yang menyeleweng menurut Husseyn juga telah dilakukan, tapi dia
menolak menyebut angka.
Betapa pun, prospek Pelni -- yang asset-nya saat ini sekitar Rp
50 milyar -- tampaknya cukup cerah. Makin lajunya pembangunan
mendorong mobilitas penduduk yang meninggi, disertai pertumbuhan
angkutan muatan antara 10-11% /tahun.
Sekalipun persaingan di bidang angkutan laut belakangan makin
seru, Pelni ternyata tak dianggap saingan oleh para perusahaan
pelayaran lain. "Pelni merupakan big brother perusahaan
pelayaran swasta," ujar Rosihan Nuch Bajumi, Direktur PT
Sriwijaya Raya Lines. Perusahaan ini dengan 14 kapal berbobot
17.865 DWT merupakan perusahaan pelayaran Nusantara terbesar
setelah Pelni.
Alasan Rosihan volume barang dan penumpang saat ini belum bisa
dilayani Pelni sendiri. "Artinya tanpa Pelni perusahaan swasta
lainnya akan benar-benar repot," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo