Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat berencana segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya. Namun rencana pemekaran Provinsi Papua Barat tersebut menuai kritik lantaran pembahasan RUU yang kilat dan tak menyentuh substansi permasalahan di Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR, yang membidangi pemerintahan, telah merampungkan pembahasan RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya pada Senin pekan lalu, 12 September 2022. Rencananya, RUU tersebut dibawa ke pembahasan tingkat II di rapat paripurna DPR sebelum masa sidang kali ini berakhir pada 4 Oktober nanti. "Sudah diserahkan kepada Badan Musyawarah DPR. Masih menunggu itu dulu," kata Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustofa, kemarin, Senin, 19 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya disetujui sebagai RUU inisiatif DPR pada 7 Juli lalu. Kala itu, pemerintah dan DPR baru sepekan mengesahkan RUU untuk pembentukan tiga daerah otonom baru hasil pemekaran Provinsi Papua, yaitu Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Selatan.
Rencananya, Provinsi Papua Barat Daya terdiri atas lima kabupaten dan satu kota yang sebelumnya berada di wilayah administrasi Provinsi Papua Barat, yakni Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Raja Ampat, Tambrauw, Maybrat, dan Kota Sorong. Pusat pemerintahan provinsi baru tersebut akan berada di Kota Sorong. Adapun Kabupaten Manokwari tetap menjadi ibu kota Provinsi Papua Barat.
Rencana pemekaran Provinsi Papua Barat lewat RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya
Pembahasan RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya, yang dimulai setelah Panja Komisi II dibentuk pada 29 Agustus lalu, memang kilat. Komisi II mengulang pola pembahasan RUU Pembentukan Provinsi Papua Tengah, RUU Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan, dan RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan pada April hingga Juni lalu. Saat itu, Panja hanya membahas substansi draf RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan. Sedangkan draf RUU Papua Pegunungan dan Papua Tengah dibahas seadanya karena dianggap punya kesamaan substansi, hanya berbeda pada sisi cakupan wilayah dan ibu kota.
Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia, menyatakan berulangnya pembahasan semacam itu pada RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya tak menjadi masalah. "Kan polanya sudah sama. Perbedaannya hanya beberapa, termasuk cakupan wilayah dan ibu kota. Jadi, enggak membutuhkan waktu yang lama juga," kata Doli, kemarin.
Namun, bagi Gabriel Lele, Ketua Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada, pembahasan RUU yang ngebut itu justru menjadi kelemahan pada pemekaran Papua, termasuk dalam pembentukan Provinsi Papua Barat Daya. "Seharusnya pembahasan secara khusus dilakukan satu per satu. Karena setting dari lahirnya pemekaran di setiap daerah itu berbeda-beda," kata lulusan program doktoral bidang kebijakan publik di Australian National University ini, kemarin.
Gabriel mencontohkan pembentukan Provinsi Papua Selatan. Sejak awal, usulan pemekaran di selatan Papua ini didasarkan pada adanya rentang kendali yang sangat jauh dengan Provinsi Papua induk yang berpusat di Jayapura. Masyarakat di wilayah selatan Papua merasa kepentingan dan kebutuhan mereka kerap tak terakomodasi karena pejabat di Jayapura minim berasal dari Merauke dan sekitarnya.
Sedangkan gagasan pembentukan Provinsi Papua Barat Daya, kata dia, lebih didasari semangat percepatan pemerataan pembangunan. Pembahasan substansial dari alasan pentingnya pemekaran Provinsi Papua Barat Daya itulah yang dinilai luput. "Suara yang tak ditangkap secara memadai oleh pusat," ucap Gabriel. "Semata-mata pusat itu mengejar dua hal (untuk pemekaran). Pertama, agar anggarannya segera diamankan. Kedua, berkaitan dengan persiapan pelaksanaan Pemilu 2024 karena ini akan berpengaruh pada daerah pemilihan dan sisi penganggaran."
Aksi mahasiswa mengecam pembentukan tiga provinsi baru Papua di monumen Bola Dunia Asia Afrika, Bandung, Jawa Barat, 14 Juli 2022. TEMPO/Prima Mulia
Menurut Gabriel, Gugus Tugas Papua UGM semula dilibatkan dalam perumusan naskah akademik pada empat rancangan undang-undang yang berhubungan dengan pemekaran Papua. Namun, dalam perjalanannya, kata dia, tim tersebut tak lagi dilibatkan dalam pembahasan. Ia menilai tiga undang-undang yang telah disahkan serta RUU Pembentukan Provinsi Barat Daya tak menampung beberapa tujuan substansial dari rencana pemekaran. "Kalau dilihat substansinya, undang-undang itu merefleksikan urgensi pembentukan provinsi baru di Papua," kata Gabriel.
Ia menjelaskan, baik undang-undang tiga provinsi yang telah disahkan maupun RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya tidak mengakomodasi penegasan terhadap peran adat dan lembaga keagamaan—terutama gereja—dalam konteks Papua.
Aturan pemekaran tersebut juga tak mengatur lebih detail soal penggunaan hak tanah ulayat dan migrasi ke tanah Papua. Padahal, menurut Gabriel, banyak kekhawatiran bahwa pemekaran akan memperbesar ruang migrasi, baik di sektor pemerintahan, politik, maupun ekonomi. "Usulan yang banyak disuarakan untuk menghadirkan provinsi baru itu sebenarnya bagaimana mendekatkan pemerintah, mengakselerasi pembangunan, serta memperkuat rekognisi dan afirmasi," kata Gabriel. "Urgensi itu yang tak terefleksi dalam RUU."
Ahmad Doli Kurnia menegaskan, RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya serta tiga undang-undang daerah otonom baru Papua yang telah disahkan sudah mengakomodasi adanya jaminan bagi kepentingan orang asli Papua. Namun Doli mengakui sejumlah ketentuan yang mendetail belum diatur di dalamnya. "Kalau rincian soal teknis pembangunan, pasti ada (aturan) turunan berikutnya. (Draf RUU) ini hal-hal prinsip saja. Yang penting di sana tidak mengganggu ekstensi orang asli Papua dan wilayah adat Papua," kata politikus Partai Golkar tersebut.
Pemekaran Papua Dianggap Bukan Solusi
Dosen dari Universitas Papua, Agus Sumule, menilai pemekaran sebenarnya bukanlah solusi untuk berbagai permasalahan di Papua. Ia justru melihat pemekaran berpotensi besar memperburuk kesejahteraan dan ketimpangan di Bumi Cenderawasih. "Akan terjadi ketimpangan distribusi akibat pemanfaatan sumber daya alam," kata Agus, kemarin.
Agus mencontohkan, Provinsi Papua induk jelas akan kehilangan pendapatan daerah yang bersumber dari aktivitas pertambangan PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika, yang saat ini masuk ke wilayah Provinsi Papua Tengah. Selama ini, pemasukan berupa bagi hasil juga mengalir ke sejumlah kabupaten, yang kini justru berada di wilayah administrasi Papua Pegunungan dan Papua Selatan.
Dia memperkirakan hal serupa terjadi setelah pembentukan Provinsi Papua Barat Daya. Provinsi tersebut tak akan punya akses terhadap dana bagi hasil (DBH) dari wilayah minyak dan gas bumi di Teluk Bintuni yang masuk wilayah Provinsi Papua Barat. Menurut Agus, dana bagi hasil selama ini menyumbangkan pendapatan terbesar bagi Papua Barat, yang total anggaran pendidikannya pada tahun ini mencapai Rp 1,2 triliun. "Mengapa anggaran Papua Barat tinggi, karena dia ada DBH migas yang berasal dari Teluk Bintuni. Dana itu tidak mengalir ke Papua," kata Agus. "Sekarang, ketika bikin Papua Barat Daya, bagaimana itu bisa mengalir ke provinsi baru tersebut. Itu semua tak diatur di RUU ini."
Konsekuensi buruk pemekaran juga dikhawatirkan dialami oleh masyarakat di Papua Pegunungan. Provinsi baru ini belum memiliki rumah sakit rujukan, perguruan tinggi negeri, hingga infrastruktur jalan darat ke daerah pesisir. "Industri yang benar-benar fungsional juga tak ada. Apalagi mereka juga tak akan mendapat tambahan dana pembangunan, misalnya dari Freeport," kata Agus. Ia khawatir keterbatasan akses tersebut akan membuat harga barang kebutuhan pokok tetap mahal. "Masyarakat akan tetap sulit memasarkan hasil tani mereka."
Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 29 Agustus 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia, menyatakan pemekaran adalah sebuah keniscayaan. Pertumbuhan jumlah penduduk, kata dia, akan membuat bertambahnya kepentingan dan kebutuhan. Walhasil, institusi pelayanan untuk pengelolaan kepentingan dan kebutuhan juga harus ditambah.
Menurut dia, pemekaran Papua akan memperpendek rentang kendali atau mendekatkan masyarakat dengan institusi yang mereka anggap bisa menyelesaikan dinamika di daerah setempat. "Jadi, sebetulnya tak bisa ditentang pemekaran ini. Kalau menghambat pemekaran, kita mengingkari Indonesia tumbuh," kata Doli. Ia mengingatkan bahwa wacana pemekaran Papua sudah muncul sejak otonomi khusus diberlakukan pada dua dekade lalu.
Otonomi khusus di Papua bermula pada 2001, saat pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Awal tahun lalu, pemerintah dan DPR merevisi undang-undang tersebut dalam pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Revisi ini pula, kata Doli, yang menjadi dasar dilakukannya pemekaran di Papua. "Pemerintah mengevaluasi selama 20 tahun, bagaimana penerapan dana otsus ini. Ternyata tak terlalu efektif," kata Doli. "Masalahnya soal rentang kendali dan macam-macam. Karena itu, perlu dibuat lagi jaringan yang lebih merata (melalui pemekaran)."
Namun revisi undang-undang tersebut, yang disebut sebagai UU Otonomi Khusus Papua Jilid II, juga dinilai janggal oleh sejumlah kalangan. Pasalnya, revisi ini justru mengubah sejumlah tatanan yang dianggap merugikan hak orang asli Papua (OAP). Peran Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), misalnya, dikebiri.
Awal tahun ini, MRP sempat mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Otsus Papua jilid II. Belum juga persidangan kelar, pemerintah dan DPR lebih dulu mengesahkan pembentukan tiga provinsi baru di Papua dengan argumen amanat Otsus Papua Jilid II.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, menilai langkah pemerintah merevisi UU Otsus Papua jelas merupakan bentuk resentralisasi pemerintahan. Kendali yang awalnya bersifat otonom—oleh pemerintah dan parlemen Papua—menjadi kembali ke tangan pemerintah pusat. "Ini punya implikasi yang cukup serius ke depan, termasuk soal pengelolaan sumber daya alam," kata Emanuel. "Kami khawatir konflik legislasi, kebijakan, dan senjata di tingkat bawah adalah sesuatu yang semakin saling berhubungan."
EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo