Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Kasus peretasan terhadap puluhan awak redaksi Narasi yang terjadi baru-baru ini disebut sebagai peristiwa peretasan terbesar yang pernah dialami awak media nasional. Dewan Pers mendesak polisi segera menyelidiki kasus tersebut. “Dan segera menemukan pelakunya," kata Wakil Ketua Dewan Pers, M. Agung Dharmajaya, Rabu, 28 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Pers mengecam tindakan peretasan, termasuk terhadap jurnalis. Perbuatan melawan hukum itu mengganggu kerja-kerja jurnalistik dan kemerdekaan pers. Dia mengingatkan bahwa menjaga kemerdekaan pers merupakan tanggung jawab semua pihak. “Baik perusahaan pers, publik atau masyarakat luas, pemerintah, maupun aparat penegak hukum," kata Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peretasan terhadap awak redaksi Narasi teridentifikasi pertama kali pada Sabtu, 24 September lalu. Akbar Wijaya, produser Narasi, menerima pesan WhatsApp berisi sejumlah tautan. Setelah membaca pesan tersebut, Akbar kehilangan kendali atas akun dan nomor teleponnya.
Setelah Akbar, satu per satu anggota redaksi Narasi lainnya melaporkan mengalami peretasan. Peretas berupaya mengambil alih akun media sosial, seperti Facebook, Instagram, Telegram, dan WhatsApp, milik redaksi Narasi. Jumlah korbannya pun terus bertambah. Hingga saat ini, tercatat 37 awak redaksi Narasi yang menjadi korban upaya peretasan.
Peretasan seperti ini bukan serangan digital pertama terhadap jurnalis. Pada Februari lalu, akun WhatsApp, Instagram, Facebook, dan nomor seluler Sasmito Madrim, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), juga dibajak. Peretasan pun disertai dengan perundungan yang menyasar Sasmito di media sosial.
Sebelumnya, pada Oktober 2021, situs web media nonprofit Project Multatuli juga sempat tak bisa diakses oleh publik akibat serangan distributed denial-of-service (DDoS). Serangan bertubi-tubi ke server untuk menutup layanan tersebut juga pernah dialami Tirto, Tempo, dan Magdalene. Adapun Konde pernah mengalami upaya pengambilalihan akun Twitter. Sampai saat ini, pelaku dan motif serangan siber tersebut belum terungkap.
Warga membuka kanal youtube Narasi TV. Tempo/Bintari Rahmanita
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), lembaga yang terdiri atas 10 organisasi pers dan kelompok masyarakat sipil, menilai peretasan ini mengancam kebebasan pers yang dijamin kemerdekaannya oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kegagalan aparat penegak hukum untuk menemukan pelaku serta mencegah peristiwa tersebut berulang disinyalir sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers. "Serangan-serangan ini selalu terjadi saat jurnalis atau media menunjukkan sikap kritis terhadap tindakan atau kebijakan pihak yang berkuasa," kata Koordinator KKJ, Erick Tanjung, kemarin.
Jika hal itu terus dibiarkan, Erick khawatir intimidasi lewat serangan siber akan membuat jurnalis ataupun media massa berpikir dua kali ketika hendak melaporkan produk jurnalistik yang kritis atau sensitif. "Ini juga akan mengurangi akses masyarakat terhadap informasi yang penting, yang meminta akuntabilitas pihak berkuasa," ujarnya.
Erick mengingatkan bahwa berbagai instrumen hukum telah menjamin perlindungan atas hak kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi. Dalam lingkup internasional, jaminan perlindungan tersebut telah dipayungi oleh Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum Nomor 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak-hak tersebut juga secara tegas dijamin oleh konstitusi, yaitu pada Pasal 28E dan 28F Undang-Undang Dasar 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herlambang P. Wiratraman, menilai peretasan terhadap jurnalis terus berulang karena kasus serangan digital selama ini tak pernah dimintai pertanggungjawaban hukum. "Sebaliknya, negara lepas tangan dan terkesan membiarkan hak dasar warga negaranya dilanggar secara sistematis," ujarnya.
Gedung Dewan Pers, Jakarta. Dok Tempo/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Berkaca pada situasi tersebut, Herlambang menilai negara telah gagal mengurus tata kelola keamanan digital. "Bagaimana mau mengurus perlindungan hak digital kalau ruang kebebasan sipil makin hari makin dilemahkan," tuturnya. "Ini bentuk nyata pemerintah Joko Widodo tak serius mengatasi kejahatan digital.”
Direktur Laboratorium Pendidikan Demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI), Ainun Dwiyanti, juga menyatakan peretasan yang dialami oleh awak media Narasi telah menunjukkan adanya gejala makin berkembangnya ancaman terhadap kebebasan media di Indonesia. "Peretasan ini menjadi kenyataan berbahaya bagi kebebasan dan kehidupan demokrasi di ranah digital," kata Ainun.
Pembiaran terhadap pelaku telah menambah contoh buruk, tak hanya bagi perlindungan jurnalis, tapi juga semua pengguna jasa telekomunikasi di Indonesia. "Pemerintah dan kepolisian harus segera mengusut praktik-praktik kekerasan digital semacam ini," ujarnya.
Sepanjang Januari hingga September 2022, PVRI mencatat sedikitnya 13 laporan kasus peretasan terhadap jurnalis. Serangan digital menjadi bentuk kekerasan terbanyak kedua yang dialami oleh pekerja pers. Pengusutan secara tuntas kasus-kasus tersebut dinilai penting untuk memberikan efek jera bagi para pelaku. “Dan menjadi contoh baik terhadap perlindungan dan pendidikan demokrasi di Indonesia,” kata Ainun.
Menurut Ainun, selain negara, penyelenggara jasa telekomunikasi semestinya berkewajiban ikut mendorong kebebasan pers. Perkembangan teknologi digital, kata dia, seharusnya membuka peluang besar bagi jurnalis untuk melahirkan terobosan berupa peliputan investigasi, kolaborasi lintas batas, pengecekan fakta, dan akses atas kekayaan sumber data. “Bukan malah menjadi medium untuk mengekang serta memperluas ancaman terhadap jurnalis dan warga yang kritis," tuturnya.
DEWI NURITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo