Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Tim hukum pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno harus bekerja keras membuktikan tudingannya di Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa telah terjadi kecurangan kuantitatif dalam pemilihan presiden 2019. Tim hukum harus memiliki bukti kuat yang berdampak signifikan, sehingga mengubah hasil pemilihan presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengatakan tim hukum Prabowo mesti meyakinkan hakim MK dengan dalil-dalil kecurangan disertai alat bukti yang kuat. "Jika pembuktian lemah, kecil kemungkinan Prabowo-Sandiaga bakal memenangi gugatan di MK," kata Fadli kepada Tempo di Jakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam permohonan gugatannya di MK, tim hukum Prabowo-Sandi menyatakan dalam pemilihan presiden 2019 telah terjadi tiga kecurangan yang bersifat kuantitatif, yakni daftar pemilih tetap (DPT), Sistem Informasi Perhitungan Penghitungan Suara (Situng), dan dokumen C7 yang berfungsi mengkonfirmasi jumlah pemilih yang hadir di suatu tempat pemungutan suara.
Dalam soal DPT, tim hukum Prabowo-Sandi menyatakan di antaranya terdapat 17,5 juta yang tak masuk akal. DPT yang tidak masuk akal itu dibagi dalam tiga kelompok, yakni data kelahiran 1 Juli sebanyak 9.817.003 orang, kelahiran 31 Desember sebanyak 5.377.401 orang, dan kelahiran 1 Januari 2.359.304 orang.
Tim hukum Prabowo-Sandi juga menyebutkan klaim banyaknya kesalahan input data pada Situng yang menyebabkan ketidaksesuaian informasi dengan data C1 yang dipindai KPU dari 34 provinsi. Tim mencontohkan adanya studi kasus kekacauan Situng di Jawa Timur. Tim Prabowo-Sandiaga juga menyebutkan banyak dokumen C7 yang sengaja dihilangkan, salah satunya di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Prabowo-Sandi mengajukan gugatan ke MK setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai pemenang dalam pemilihan presiden pada 21 Mei lalu. Prabowo-Sandiaga meraup suara 44,5 persen atau sekitar 68,6 juta suara. Sedangkan Jokowi-Ma'ruf mendapatkan 85,6 juta suara atau 55,5 persen. Selisih suara dua pasangan ini adalah 16,9 juta suara atau 11 persen.
Fadli mengatakan MK akan memverifikasi semua dokumen untuk melihat relevansi dan signifikansinya. "Kalau DPT-nya dianggap bermasalah, harus dibuktikan apa problemnya. Kalau mereka mendalilkan persoalan daftar pemilih, harus diteliti lagi problemnya seperti apa," kata Fadli. Ia menyatakan, bisa saja terjadi kecurangan dalam proses penghitungan suara. Tapi, kata dia, jumlahnya belum tentu signifikan mempengaruhi hasil pemilu.
Anggota tim hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Denny Indrayana, mengatakan belum bisa menyampaikan argumentasi atau dalil hukum yang akan dibeberkan dalam persidangan di MK mendatang. "Bagi kami, apa argumentasi hukum yang akan kami sampaikan, silakan ditunggu pada saat persidangan dimulai pada 14 Juni mendatang. Pada saat itu, akan ada pemeriksaan pendahuluan," kata Denny.
Ketua tim hukum Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf, Yusril Ihza Mahendra, bersama anggotanya-Arsul Sani, Ade Irfan Pulungan, dan Juri Ardiantoro mendatangi gedung MK di Jakarta, kemarin. Tim hukum Jokowi-Ma’ruf itu berkonsultasi dengan panitera MK mengenai teknis permohonan menjadi pihak terkait dalam perkara perselisihan hasil pemilihan presiden 2019. "Kami bertanya agar tidak terjadi kesalahpahaman," kata Yusri. FRISKI RIANA | AVIT HIDAYAT
Meminta Jokowi-Ma'ruf Didiskualifikasi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo