Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pernyataan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy yang mendukung mahasiswa membayar Uang Kuliah Tunggal atau UKT dengan menggunakan pinjaman online (pinjol) menuai sejumlah kritikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansah menilai, dukungan pemerintah terhadap pinjol untuk biaya pendidikan bisa menimbulkan beban atau masalah baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Tentu tidak tepat karena memaksa mahasiswa untuk menjadi nasabah pinjol. Padahal mahasiswa ini adalah orang yang dihadapkan untuk generasi pemimpin berikutnya," kata Trubus, Senin, 8 Juli 2024, seperti dikutip dari Tempo.
Trubus mengatakan, permasalahan pembiayaan kuliah seharusnya dapat diatasi pemerintah. Pelibatan mahasiswa dalam konteks pembayaran UKT menggunakan pinjol dinilai berbahaya karena akan memunculkan penyimpangan. Meski, sudah dibuat kebijakan peminjaman hanya untuk biaya kuliah, menurut Trubus, nanti akan banyak penyimpangan karena berpotensi dipakai untuk hal lain.
"Penyimpangan terutama pada pengguna itu sendiri karena tidak ada yang mengontrol dan mengawasi. Jadi atas nama uang kuliah nanti pinjam digunakan hal lain seperti foya-foya lah atau kepentingan pribadi," ujarnya.
Selain itu, beban meminjam uang di pinjol juga akan menyusahkan orang tua ketika anaknya tidak bisa membayar tagihan. Apalagi saat orang tua tidak mampu berpotensi menjual barang demi bayar pinjaman anaknya.
"Jadi konteksnya tidak ke pendidikan, tapi lebih ke transaksi ekonomi," ujarnya.
Melihat pernyataan Muhadjir, Trubus mengira itu sebagai bentuk kebingungan dan upaya pemerintah lari dari tanggung jawab dalam menyediakan akses pendidikan yang terjangkau. "Layaknya masyarakat menggugat kalau itu (pinjol) jadi kebijakan nanti karena mengabaikan konstitusi," ucapnya.
Trubus menduga kalau nanti kebijakan pembayaran UKT pakai pinjol diterapkan, pemerintah akan bekerjasama dengan bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Jadi berasal dari uang negara APBN juga. Ini bentuk potensi korupsi dan penyimpangan menutupi kedok akhir masa jabatan," ujarnya.
Kebijakan bayar UKT pakai pinjol juga berpotensi menyebabkan nasabahnya mangkir sehingga membuat kerugian uang negara.
"Memang itu potensi nunggaknya sangat tinggi ujung-ujungnya APBN juga nanti (rugi)," ujarnya.
Trubus lebih menyarankan penambahan beasiswa bagi masyarakat yang kurang mampu dibandingkan dengan kebijakan pinjol. Dia mencontohkan pembentukan ikatan alumni masing-masing universitas yang dimanfaatkan untuk menggalang dana beasiswa.
Pemerintah seperti lepas tangan
Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNNES) Edi Subkhan sebelumnya juga tak sepakat dengan pernyataan Muhadjir. Dukungan itu, kata Edi, seolah menunjukkan bahwa permasalahan UKT hanyalah tanggung jawab individu atau orang tua, bukan urusan negara.
“Kalau menyerahkan ke pinjol, artinya pemerintah lepas tangan,” kata Edi, Sabtu, 6 Juni 2024, seperti dikutip dari Tempo.
Edi menilai, pemerintah tak seharusnya menanggapi persoalan pendidikan tinggi dengan ideologi pasar bebas. Ideologi itu melihat pendidikan sebagai masalah individu semata (private goods), bukan barang publik (public goods).
Ia menuturkan, mahasiswa yang menggunakan pinjol seperti memiliki beban ganda. Ketika tagihan pinjol harus dibayar sebelum lulus kuliah, ia akan berusaha mencari uang dengan bekerja sambil belajar.
Risiko terburuknya, kata Edi, mahasiswa itu tidak bisa fokus dengan kuliahnya dan berujung pada drop out. “Kalau ditagih setelah lulus, ia terbebani ketiadaan kepastian memperoleh kerja serta beban kebutuhan pribadi. Misalnya menikah, biaya hidup sehari-hari, pendidikan anak, asuransi kesehatan, dan lain-lain,” ujarnya.
Edi mengatakan, pemerintah dapat memberikan tambahan subsidi untuk menurunkan biaya UKT maupun iuran pengembangan institusi atau IPI. Lalu, memperbanyak beasiswa. Sehingga, persoalan ini tidak lagi menjadi masalah individu.
Sebelumnya, Menko PMK Muhadjir mendukung opsi pembayaran UKT mennggunakan pinjol. Ia menyebut cara itu bagus bagi mahasiswa agar memiliki fighting spirit, bertanggung jawab, dan berani ambil risiko.
“Bahwa dia ketika kekurangan dana, dia harus berusaha, tidak hanya minta tolong termasuk orang tuanya, apalagi kalau dia mengambil jurusan-jurusan yang prospektif, kenapa tidak? Kalau itu nanti pembayarannya bisa ditunda setelah dia nanti berpenghasilan ya kan. Jadi maksudnya, kita harus lakukan kerja-kerja kreatif,” kata Muhadjir di Gedung Kementerian Koordinator PMK pada Rabu, 3 Juli 2024.
Ketika mahasiswa itu kekurangan dana misalnya, lanjut Mudhajir, dia tidak hanya minta tolong ke orang tuanya. Namun, ia menegaskan pinjol yang digunakan harus resmi agar tidak terjadi penipuan.
“Dengan catatan, lembaga pinjolnya harus resmi, transparan, dan dengan pengawasan instansi atau institusi negara yang resmi untuk memastikan bahwa itu tidak terjadi fraud," ujarnya di Gedung Kementerian Koordinator PMK pada Rabu, 3 Juli 2024.
Menurut Muhadjir, sistem pinjol kerap disalahartikan sebagai sistem yang negatif. Persepsi itu muncul karena banyaknya penipuan atau pihak yang memanfaatkan pinjol demi keuntungan pribadi. Padahal, ada juga kampus yang sudah menerapkan mekanisme tersebut dan terbukti efektif.
AISYAH AMIRA WAKANG | DESTY LUTHFIANI