Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah diminta segera menyelesaikan revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif dan bertindak tegas kepada para menteri sebagai pembantu presiden yang menolak proses revisi ini. Desakan untuk segera merevisi PP 109/2012 ini lantaran peraturan pemerintah ini dianggap belum mampu melindungi anak-anak dari paparan iklan rokok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Faktanya, ada beberapa kementerian seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan yang menolak revisi PP 109 ini,” kata Nafsiah Mboi, mantan Menteri Kesehatan yang kini menjadi Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau dalam konferensi pers yang digelar secara webinar pada Selasa, 22 Juni 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Nafsiah menuturkan, saat ini, Indonesia mengalami epidemi ganda yang mengancam jiwa rakyat Indonesia, yakni epidemi karena penggunaan tembakau dan epidemi Covid-19. Epidemi ini, karena menambah risiko penularan dan mempercepat kematian bila terinfeksi COVID-19. Oleh sebab itu, menurut Nafsiah, Presiden bersama para menteri harus bersatu untuk melindungi masyarakat, sesuai perintah UU No. 36/2009 tentang Kesehatan.
“Tidak masuk akal jika ada menteri yang sekarang masih menolak dan menunda-menunda revisi PP 109/2021, apalagi, karena fokus pemerintah kita sekarang mengurangi risiko penularan dan kematian karena Covid 19," ujarnya.
data
Sudibyo Markus, Dewan Penasihat Indonesia Institute for Social Development (IISD) menyatakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2020-2024 adalah elaborasi dari visi dan misi Presiden 2020-2024. Karenanya, kata dia, harus diikuti oleh seluruh Kementerian sesuai arahan Presiden.
Menurut Sudibyo, penolakan terhadap penyelesaian Revisi PP 109/2012, bisa dikategorikan sebagai sikap tidak patuh terhadap Presiden. “Demi rakyat Indonesia, kami mendesak Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo untuk segera menyelesaikan revisi PP109/2012 dan menertibkan jajarannya dalam menyukseskan upaya ini,” kata dia.
Memperkuat pernyataan Sudibyo, Tulus Abadi, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesi menegaskan, “Pemerintah tidak boleh terus menggantung Revisi PP Pengamanan Zat Adiktif, karena prosesnya sudah terlalu lama dan tidak ada kepastian hukum, sementara korban terus berjatuhan dan dampak pandemi COVID-19 semakin terpuruk."
Pada pertengahan Maret 2021 lalu, dalam sebuah webinar yang berlangsung di Jakarta, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin berkomitmen melanjutkan penyelesaian Revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Pernyataan Menkes sempat memberikan secercah harapan bahwa pemerintah memang bertekad melindungi masyarakat, khususnya perlindungan masyarakat dari bahaya rokok dan target pemasaran industri rokok.
Ratusan pelajar berkampanye menolak menjadi target iklan rokok di depan Istana Presiden, Sabtu, 25 Februari 2017. TEMPO/Danang Firmanto
Tapi hingga hari ini, upaya Kementerian Kesehatan untuk merevisi regulasi itu dijegal beberapa kementerian, anggota DPR, DPD, kelompok yang mengatasnamakan petani, asosiasi pengusaha rokok, pengusaha periklanan, hingga Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kemeterian Perindustrian. Alasan penolakan itu, petani tembakau dan buruh pabrik rokok akan menjadi pihak yang paliung menderita bila revisi PP Pengamanan Zat Adiktif tetap dijalankan.
Istanto, seorang petani dari Desa Candisari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menyatakan hidupnya menjadi lebih sejahtera setelah menjadi petani multikultur. “Justru setelah tidak lagi bertani tembakau kehidupan saya menjadi lebih baik,” ujarnya.
Dulu, kata Istanto, sebagai petani tembakau yang menanam secara turun menurun, tidak adanya peraturan tembakau itu membuat mereka banyak merugi. “Pola perdagangan tembakau dikuasai tengkulak sehingga merugikan petani tembakau karena dijual berlapis-lapis pintunya, sedangkan menjual ubi, begitu mobil datang, uang langsung dari pembeli tanpa ada perantara,” kata petani ubi jalar dan kopi ini.
Direktur Eksekutif Yayasan Lentera Anak Indonesia Lisda Sundari mengatakan pemerintah sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Dengan meratifikasi konvensi itu, seharusnya semua pihak berkewajiban melindungi anak, salah satunya memenuhi hak kesehatan anak termasuk hak melindungi anak dan rokok.
"Revisi PP 109 ini untuk melindungi anak-anak. Tidak ada bukti bahwa dengan revisi PP ini semua petani mati. Sangat tidak elok kementerian yang tidak mendukung ini, seperti Kementerian Pertanian," ucapnya.
Ia menegaskan, jika revisi PP itu dianggap mematikan petani tembakau terutama setelah Pandemi Covid-19, alasan ini dengan gampang bisa dipatahkan. Faktanya, revisi PP 109 sudah dimulai sejak 2018, sebelum pandemi terjadi.
"Melindungi anak itu tugas kementerian karena PP 109/2012 tidak cukup kuat melindungi anak lantaran tetap membolehkan iklan rokok di mana-mana," tuturnya.