Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kantor Staf Presiden membenarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) ihwal peringkat Indonesia yang merosot dalam Indeks Demokrasi 2020.
Pemerintah berkomitmen merawat dan menjaga demokrasi di Indonesia.
Amnesty mempertanyakan sikap pemerintah yang menyebut penegakan hukum dilakukan untuk meredam intoleransi.
JAKARTA — Kantor Staf Presiden mengklaim berkomitmen menegakkan demokrasi dan pemberantasan korupsi. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Donny Gahral Adian, menyatakan dua hal ini harus dilakukan demi memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia. “Pemerintah perlu menjamin hak-hak warga agar tidak terampas, sehingga demokrasi dapat berjalan dengan baik,” ujar Donny kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kantor Staf Presiden membenarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) ihwal peringkat Indonesia yang merosot dalam Indeks Demokrasi 2020. Pemerintah menganggap penurunan ini berhubungan dengan anjloknya peringkat Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Donny menyatakan indeks demokrasi dan indeks persepsi korupsi berhubungan. Sebab, korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang merugikan publik. "Artinya, ada hak-hak publik yang terkesampingkan. Tentu saja ini berhubungan dengan indeks demokrasi," ujar dia.
Hal ini bermula dari EIU yang menerbitkan laporan Indeks Demokrasi 2020. Laporan tersebut dibuat berdasarkan indeks demokrasi di ratusan negara, termasuk Indonesia. Indonesia berada di posisi ke-64 atau tidak bergerak dibanding pada tahun sebelumnya. Skor Indonesia anjlok dari 6,48 menjadi 6,30 atau dikategorikan negara dengan demokrasi yang cacat. Posisi Indonesia di bawah Timor Leste yang memiliki skor 7,06 dan Filipina dengan skor 6,56.
Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia juga anjlok. Transparency International Indonesia (TII) merilis IPK Indonesia pada 2020. Peringkat Indonesia turun dari sebelumnya berada di posisi ke-85 melorot menjadi ke-102 dunia. Indeks ini menempatkan Indonesia di bawah Timor Leste.
Donny Gahral Adian. Tempo/M. Taufan Rengganis
Donny mengatakan ada beberapa indikator yang membuat skor Indonesia menurun. Di antaranya indikator proses pemilihan umum dan pluralisme dengan skor 7,92; fungsi dan kinerja pemerintah skor 7,50; partisipasi politik skor 6,11; budaya politik skor 4,38; dan kebebasan sipil skor 5,59. Donny tak menampik indeks kebebasan sipil dan budaya politik di Indonesia menurun. "Itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk memperbaikinya," ucap dia.
Dia menegaskan bahwa penurunan indeks ini dapat diperbaiki melalui penegakan hukum yang tidak tebang pilih. Artinya, semua warga negara diperlakukan sama di mata hukum tanpa memandang mayoritas dan minoritas. Selain itu, kata Donny, pemerintah berupaya menghentikan kriminalisasi demi menghargai kebebasan berpendapat.
Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodharwardani, menambahkan, pemerintah berkomitmen merawat dan menjaga demokrasi di Indonesia. "Terlepas dari angka indeks demokrasi (laporan) EIU, pemerintah berkomitmen menyelamatkan negara dan Indonesia yang plural," ujar Jaleswari.
Dia mengatakan pemerintah terus berupaya menjaga agar indeks demokrasi tidak merosot. Menurut dia, pemerintah memperjuangkan agar Indonesia menjadi negara yang menganut sistem demokrasi secara penuh.
Jaleswari menyatakan angka indeks demokrasi di Indonesia sebenarnya menunjukkan titik terang atau membaik sejak 2017. Kala itu, Indonesia mendapat poin 6,39 atau selisih 0,09 dibanding pada tahun ini. Penurunan ini karena aktifnya pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap aksi intoleransi yang membahayakan ideologi negara. Di satu sisi, indeks demokrasi bersifat global tanpa mempertimbangkan situasi internal negara.
Pemerintah, dia melanjutkan, justru berupaya merawat demokrasi dengan mencegah menguatnya intoleransi di Indonesia. Caranya, dengan menegakkan hukum. Menurut Jaleswari, pemerintah tidak ingin intoleransi berkembang di tengah masyarakat dan membahayakan negara. "Pemerintah justru berupaya agar demokrasi tetap hidup dan keluar dari situasi sulit yang dihadapi."
Adapun Media and Campaign Manager Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, justru mempertanyakan pernyataan Jaleswari yang menyebut penegakan hukum dilakukan untuk meredam intoleransi di Indonesia. Nurina mempertanyakan tindakan penegak hukum yang menangkapi ratusan orang pada tahun lalu karena mengkritik kinerja pemerintah. "Kalau menyebut yang diadili kelompok intoleransi, itu cakupannya apa? Apakah mengandung unsur kriminal?"
Data Amnesty International Indonesia menyebutkan pada tahun lalu terdapat 132 kasus penangkapan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dari data tersebut, sebanyak 156 orang ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka terbanyak berada di Jawa Timur dengan jumlah 25 orang.
Pemerintah disebut-sebut juga membungkam kebebasan berpendapat di Papua. Menurut Nurina, banyak orang yang berdemonstrasi di Papua dituduh makar dan dianggap meresahkan. "Kenyataannya kebebasan berpendapat di sana terbelenggu," kata Nurina.
AVIT HIDAYAT | ANT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo