Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kapal berisi seratusan pengungsi Rohingya mengalami kerusakan mesin di perairan Aceh.
Sebagian besar penumpang adalah perempuan dan anak-anak.
Sempat diberitakan akan diusir, pemerintah memutuskan sebaliknya dan mereka mendarat di Bireuen tadi malam.
ACEH BESAR – Badruddin Yunus berniat berleha-leha sejenak setelah salat asar sekitar pukul 17.00 WIB, Ahad lalu. Namun pesan di radio nelayan itu mengusir kantuknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada sebuah kapal asing bergerak lambat di perairan Aceh, sekitar 95 kilometer dari pantai Bireuen. Isinya penuh sesak oleh orang yang tak bisa berbahasa Aceh ataupun Indonesia. “Tapi perawakannya seperti orang kita. Ada yang pakai sarung, ada yang pakai jilbab, ada juga anak-anak,” kata Badruddin kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badruddin adalah Panglima Lao, semacam pemimpin adat untuk nelayan Aceh, di Kabupaten Bireuen–lebih-kurang lima jam perjalanan darat dari Banda Aceh. Kapal kayu tersebut pertama kali didapati tiga nelayan tuna dari Desa Blang Lancang. Menurut Badruddin, para nelayan langsung paham bahwa kapal itu berisi para pengungsi Rohingya dari Myanmar.
Semenjak militer Myanmar mengusir ratusan ribu muslim Rohingya dari kampung halamannya, banyak dari mereka yang kabur ke negara tetangga. Sebagian berjalan kaki ke Bangladesh, sebagian lain berlayar via laut ke selatan. Setidaknya sudah 13 kali kapal pengungsi Rohingya terdampar di perairan Aceh sejak 2015.
Pengungsi Rohingya di perairan Bireuen, Aceh, 27 Desember 2021. REUTERS/Aditya Setiawan
Kapal yang terlihat di perairan Aceh pada awal pekan ini tersebut membawa 11 laki-laki, 51 perempuan, dan 58 anak-anak Rohingya. Demikian hasil pendataan yang dilakukan Yayasan Geutanyoe, lembaga nirlaba yang membantu pengungsi Rohingya di Aceh. Badruddin ikut mendampingi para aktivis tersebut.
Dari atas kapal, para pelarian ini menggunakan bahasa isyarat kepada para nelayan. Mereka menyebutkan mesin kapalnya meleduk setelah berlayar selama 28 hari. Lewat bahasa tubuh, mereka juga mengisyaratkan kelaparan dan butuh air minum.
Para nelayan Bireuen itu lalu ramai-ramai ke laut membawa beras, air minum, dan pakaian. Namun mereka urung membawa kapal nahas itu ke darat. "Kami takut disalahkan," kata Badruddin. Pada pertengahan tahun ini, tiga nelayan Aceh dihukum lima tahun kurungan dengan tuduhan penyelundupan manusia dari Rohingya. Para nelayan itu lantas sepakat mengikat kapal asing tersebut di rumpon supaya tidak hanyut.
Badruddin lalu melapor ke polisi dan camat. Dari situ, berita menyebar hingga keesokan harinya banyak orang berseragam dari berbagai lembaga pemerintah tiba. Namun mereka tetap tak mau membawa para pengungsi itu ke darat. “Kami takut bagaimana mencegah penyebaran Covid-19,” kata Bupati Bireuen, Muzakkar Gani. “Kami tunggu arahan pemerintah pusat.”
Senin dan Selasa berlalu. Nelayan tetap memantau kondisi para pengungsi. Kepolisian perairan, kantor SAR Bireuen, dan TNI Angkatan Laut juga berpatroli di perairan itu. Badruddin mengatakan para pengungsi tak lagi lemah seperti saat pertama kali ditemukan. Beberapa penumpang kapal meminta bantuan lain, seperti obat-obatan dan perlengkapan bayi.
Hingga Selasa pagi lalu, kepolisian Aceh sempat menyebutkan akan meminta kapal Rohingya itu keluar dari perairan Indonesia setelah mesin mereka selesai diperbaiki. Juru bicara Kepolisian Daerah Aceh, Komisaris Besar Winardy, mengatakan rencana itu didasari permintaan para pengungsi yang hendak menuju Malaysia. "Kami hanya menuruti,” kata dia.
Belakangan, pernyataan itu menuai kritik, termasuk dari Amnesty International. Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi, UNHCR, juga mendesak Indonesia menampung dan menyelamatkan pelarian dari Rohingya tersebut.
Indonesia memang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB 1951 sehingga tak punya kewajiban menampung pengungsi. Namun Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri memungkinkan pemerintah menampung pengungsi untuk sementara dalam kondisi kritis dan darurat. Aturan ini, menurut Amnesty International, bisa digunakan untuk menyelamatkan kapal Rohingya tersebut.
Kabar baik datang pada Rabu malam. Pemerintah memutuskan menyelamatkan seisi kapal kayu itu. Para pengungsi akan ditampung sementara di Pidie dan Pidie Jaya. “Melihat kondisi darurat para pengungsi, kami memutuskan akan menarik kapal ke daratan,” kata Deputi Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Inspektur Jenderal Armed Wijaya, kemarin.
Menurut Armed, para pengungsi akan didata dan ditampung sementara di sebuah lokasi di Kabupaten Bireuen. Laporan Yayasan Geutanyoe menyatakan kapal itu mendarat sekitar pukul 19.00 WIB.
Reza Maulana dari Yayasan Geutanyoe mengatakan para pengungsi harus dipastikan menjalani pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh, termasuk tes Covid-19. Sebab, mereka telah berada di laut selama 28 hari. “Agar tidak ada penanganan yang terlambat yang berakibat fatal,” kata dia.
Badruddin lega para pengungsi tersebut tidak jadi diusir. Bersama rekan-rekannya, dia ingin membantu para warga Rohingya itu. Dia juga akan memastikan tak ada nelayan yang berurusan dengan hukum akibat membantu pengungsi seperti yang terjadi sebelumnya.
INDRI MAULIDAR (ACEH BESAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo