Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim tetap berkomitmen mengurangi penggundulan hutan dengan berbagai langkah yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution.
Rencana NDC itu mengacu pada Perjanjian Paris tentang pengurangan emisi.
Pegiat lingkungan menganggap upaya penghijauan pemerintah bukan angka sebenarnya karena menghitung penanaman di area hutan tanaman industri.
JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim tetap berkomitmen mengurangi penggundulan hutan atau deforestasi dengan berbagai langkah. Berbagai upaya tersebut tertuang dalam kebijakan Nationally Determined Contribution (NDC) atau Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Semua rencana kami ada di dokumen NDC,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Kehutanan, Nunu Anugrah, kemarin.
Nunu tak merinci berbagai upaya pemerintah yang tertuang dalam dokumen NDC tersebut. Ia meminta agar mencarinya sendiri di mesin pencarian Google. “Bisa di-googling,” katanya.
Dokumen NDC yang dimaksudkan Nunu diteken oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pada Juli 2017. Dokumen itu merupakan tindak lanjut dari Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan iklim, atau lebih dikenal dengan sebutan Persetujuan Paris, dua tahun sebelumnya. Persetujuan Paris berisi kesepakatan antarnegara di dunia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.
Dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca dengan kemampuan sendiri sebesar 29 persen hingga 2030. Lalu Indonesia menargetkan bisa menurunkan emisi sampai 41 persen hingga 2030 jika mendapat dukungan internasional. Ada lima sektor yang menjadi perhatian pemerintah untuk mencapai target tersebut, yaitu kehutanan, energi, pertanian, industri, dan limbah.
Target ini rencananya diimplementasikan dalam tiga tahap. Pertama, tahap persiapan, yang akan berlangsung dari 2017 hingga 2020. Fase ini terdiri atas beberapa kegiatan, seperti pengembangan ownership dan komitmen, pengembangan kapasitas, penyusunan kerangka kerja, penyusunan kebijakan, dan penyusunan pedoman implementasi NDC.
Tahap kedua, masa implementasi yang akan berlangsung selama sepuluh tahun, dari 2020 hingga 2030. Lalu tahap ketiga, masa pemantauan dan evaluasi terhadap NDC.
Lereng pegunungan meratus yang tampak longsor di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, 24 Januari 2021. ANTARA/Bayu Pratama S.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi sorotan setelah banjir dan tanah longsor yang terjadi di berbagai daerah pada awal tahun ini. Banjir terparah terjadi di Kalimantan Selatan, pekan lalu. Banjir ini merendam sepuluh kabupaten. Pegiat lingkungan hidup menduga penyebab banjir besar adalah penggundulan hutan di daerah aliran Sungai (DAS) Barito. Salah satu pemicu deforestasi adalah sikap pemerintah yang dianggap masif memberikan izin pinjam-pakai kawasan hutan di area DAS Barito. Sebagian besar izin pinjam-pakai kawasan hutan itu diberikan kepada perusahaan tambang.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya membantah tuduhan tersebut. Lewat akun Twitter miliknya, Siti berdalih bahwa penyebab banjir besar di Kalimantan Selatan adalah anomali cuaca. Ia mengatakan selama lima hari, pada 9-13 Januari lalu, terjadi peningkatan curah hujan hingga sembilan kali lipat dari biasanya. “Air yang masuk ke Sungai Barito sebanyak 2,08 miliar meter kubik, di mana normalnya 238 juta meter kubik," kata Siti.
Ia menguatkan bantahannya dengan menggunakan data tutupan hutan pada 2019. Siti mengatakan sebesar 83,3 persen hulu DAS Barito tertutup hutan alam. Sisanya, sebesar 1,3 persen adalah hutan tanaman. “Hulu daerah aliran Sungai Barito masih terjaga baik,” katanya.
Sebelumnya, Siti juga mengklaim bahwa angka deforestasi di Indonesia menurun tajam di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kesimpulan itu berpatokan pada perhitungan wilayah lewat citra satelit. Pemerintah juga mengklaim berhasil menekan emisi gas rumah kaca.
Klaim keberhasilan tersebut yang diduga dijadikan penawaran dalam jual-beli karbon atau kredit karbon dengan pemerintah Norwegia pada pertengahan 2020. Sesuai dengan Perjanjian Paris, negara yang mampu mengurangi emisi akan mendapat uang kompensasi dari negara yang emisinya justru meningkat. Lalu Indonesia diproyeksikan mendapat uang kompensasi senilai US$ 56 juta atau sekitar Rp 840 miliar dari Norwegia.
"Ini merupakan pembayaran pertama kalinya atas prestasi penurunan emisi karbon dari kehutanan pada 2016-2017," kata Siti, Mei tahun lalu.
Menurut Siti, dana tersebut akan diberikan kepada Indonesia melalui Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup. Dana itu akan digunakan untuk program pemulihan lingkungan berbasis masyarakat.
Dua hari lalu, Siti kembali mengungkap upayanya mereboisasi lahan kritis. Lewat akun Twitter miliknya, Siti mengunggah dua video mengenai upaya pemulihan lahan di Pantai Batu Ampar, Merawang, Bangka Belitung. Kedua video itu masih-masing berdurasi 2 menit 20 detik dan 1 menit 30 detik. Kedua video ini berisi kegiatan para relawan yang menanam mangrove di bekas galian tambang timah seluas 10 hektare. Ada 33 ribu bibit mangrove berumur tiga bulan ditanam di lahan tersebut.
Siti juga menjelaskan isi video itu. Kader Partai NasDem ini mengatakan aksi rehabilitasi bekas tambang tersebut merupakan usaha penghijauan kembali yang dilakukan pemerintah dan masyarakat. Ia mengatakan rehabilitasi mangrove merupakan salah satu kegiatan prioritas pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. "Dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia dan akan terus konsisten dilakukan seiring dengan langkah-langkah pemulihan lingkungan lainnya," kata Siti.
Kerusakan lingkungan akibat tambang batubara di Kalimantan Selatan, 2010. Dok Tempo/Arif Zulkifli
Pengkampanye hutan dari Greenpeace, Syahrul Fitra, mengatakan pemerintah menggunakan dua indikator dalam penghitungan deforestasi, yakni neto atau bersih dan bruto atau kotor. Penghitungan bruto meliputi seluruh wilayah berhutan atau bukan hanya kawasan hutan alami. Adapun deforestasi neto adalah angka hasil pengurangan deforestasi bruto dengan reforestasi di kawasan hutan, seperti reboisasi di hutan tanaman industri (HTI).
"Jadi, upaya penanaman area terbuka HTI itu dihitung sebagai reforestasi oleh pemerintah. Jadi, hitungan neto itu bukan angka deforestasi yang sebenarnya," kata Syahrul.
Ia justru khawatir deforestasi Indonesia akan meningkat dalam beberapa tahun mendatang. Kekhawatiran ini mengacu pada program pemerintah yang akan mengkonversi 1,5 juta hektare hutan di Papua menjadi kebun kelapa sawit dan program food estate seluas tiga juta hektare di Kalimantan dan Papua.
"Konversi hutan alam untuk sawit pasti akan terus terjadi. Moratorium sawit tidak benar-benar berjalan," ujar Syahrul.
AVIT HIDAYAT | INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo