Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
WHO menyatakan virus Marburg berpotensi menjadi pandemi.
Tingkat kematian akibat Marburg mencapai 88 persen.
Pemerintah memitigasi penyebaran virus Marburg dengan pemeriksaan whole genome sequencing.
JAKARTA - Pemerintah mewaspadai potensi penularan virus Marburg, yang telah menyebar di sejumlah wilayah di Afrika. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pemerintah telah memitigasi penyebaran virus Marburg dengan pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) atau pengurutan genom individu yang mempunyai ciri-ciri terinfeksi virus tersebut. "Salah satu cirinya, demam tinggi. Jadi, setiap yang demam masuk rumah sakit, 10 persennya akan kami lakukan tes WGS," kata Nadia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyakit Marburg disebabkan oleh virus yang masih satu golongan dengan virus Ebola, yaitu filovirus atau filoridae. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengadakan pertemuan darurat dan memanggil para ahli dari seluruh dunia untuk membahas virus Marburg pada 15 Februari 2023.
Marburg dilaporkan menyebabkan sepuluh orang meninggal di Guinea, Afrika Barat. Lebih dari 200 orang saat ini sedang menjalani karantina. Tingkat kematian akibat penyakit Marburg mencapai 88 persen. Nadia mengatakan pemerintah belum menemukan virus tersebut di Indonesia.
Sejumlah warga Uige berduka atas kematian seorang tersangka korban virus Marburg di Angola utara, 19 April 2005. Reuters
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Nadia, kemungkinan virus ini masuk ke Indonesia sangat kecil. Alasannya, penderita dominan tertular virus melalui hewan. "Setahu kami, masih berstatus zoonosis penularan (hewan ke manusia), belum ada penularan secara langsung antarmanusia," ujarnya.
Meski begitu, pemerintah tetap mewaspadai potensi penyebaran penyakit ini. Apalagi WHO telah menetapkan virus Marburg berpotensi menjadi pandemi. Pemerintah memasukkan genom dari virus Marburg dalam tes WGS bagi warga yang mengalami ciri-ciri terinfeksi virus. "Pemeriksaan genom ini juga untuk mengantisipasi penyebaran virus Covid-19 dari luar," ujarnya.
Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, mengatakan virus Marburg sebenarnya bukan penyakit yang baru muncul. Penularan penyakit ini harus diwaspadai, sebab angka kematian penderita berkisar 25-80 persen. "Penyakit ini berbahaya karena belum ada vaksin dan obatnya," ujar dia.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu mengatakan gejala orang yang terinfeksi Marburg mirip dengan terinfeksi Ebola dan bisa menyebabkan terjadinya perdarahan hebat. Karena itu, penyakit ini sering disebut juga Marburg hemorrhagic fever, mirip dengan nama Ebola hemorrhagic fever. Gejala lain yang banyak terjadi adalah demam dan diare cair hebat, nyeri perut hebat, dan kelemahan.
"Perdarahan dapat terjadi muntah darah, berak darah, perdarahan dari hidung, mulut, bahkan vagina," ucapnya. Penyakit ini disebabkan oleh penularan virus dari monyet Afrika atau African green monkeys. Selain itu, penyakit Marburg dihubungkan dengan kelelawar jenis Old World fruit bat.
Sejauh ini potensi untuk menyebar keluar dari Guinea Ekuatorial, tempat penyebaran Marburg saat ini, belumlah besar. Sebelum temuan di Guinea Ekuatorial, kata Tjandra, penyakit ini sudah beberapa kali dilaporkan di beberapa negara. "Tapi tidak pernah berkembang luas," ucapnya.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengatakan potensi Marburg menjadi pandemi masih kecil. Namun potensi ini bisa berbalik menjadi ancaman jika strategi penanganannya lemah. "Sudah saatnya dunia dan Indonesia menerapkan pendekatan One Health, pengembangan vaksin dan obat mandiri serta penguatan program kesehatan masyarakat," ujarnya. "Suatu hal yang memang tidak mudah dilakukan dan tidak murah.”
Dicky terlibat langsung dalam memantau persebaran Marburg bersama pusat riset kesehatan di dunia. Saat ini muncul sejumlah kekhawatiran. Sebab, pada dua kasus baru di Kamerun, terdapat dua pasien yang justru tidak memiliki riwayat kontak dengan hewan atau penderita Marburg.
Ptugas Organisasi Kesehatan Dunia WHO memeriksa rumah seorang tersangka korban virus Marburg di kota Uige, Angola utara, 19 April 2005. Reuters
Kasus di Kamerun mencuatkan dugaan bahwa terjadi penularan antarmanusia. Sebab, masa inkubasi virus berkisar 2-21 hari. Pada rentang waktu itu, orang yang terinfeksi tidak menyadari sehingga virus berpotensi menyebar ke individu lain. "Adanya kasus belum ditemukan riwayat kontak ini membuktikan ada sebaran yang tidak terdeteksi,” kata Dicky. “Artinya, ini masalah serius yang bisa berpotensi menyebar lebih jauh."
Pemerintah Indonesia pelu meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi masuknya virus ini. Apalagi virus ini sangat mirip dengan Ebola, yang juga bisa menyebar antarmanusia, tidak hanya melalui hewan. "Ebola pun bisa menyebar ke Amerika, Inggris, dan negara lain,” katanya. “Hal yang sama berpotensi terjadi pada virus Marburg."
Jangkauan persebaran virus Marburg, kata Dicky, bisa empat hingga lima kali lipat Ebola. Jadi, pemerintah tidak boleh menganggap enteng. "Potensi tetap ada, meski tidak besar. Sebagai kewaspadaan dini, mencegah lebih baik," ucapnya.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo