Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Hasil survei Alvara Research Centre menyimpulkan sebanyak  89,6 persen responden dari kelompok pemilih pemula, yakni berusia 17-21 tahun, menyatakan akan menggunakan hak pilihnya dalam pemungutan suara 17 April mendatang. Sisanya, sekitar 10,4 persen, menyatakan belum tahu apakah akan datang ke tempat pemungutan suara atau tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Utama Alvara Research Centre, Hasanuddin Ali, berujar, riset ini dilakukan pada 22 Februari hingga 2 Maret lalu dengan menggunakan 1.200 responden yang terdiri atas 202 responden generasi Z (17-21 tahun), 543 milenial (22-37 tahun), 324 generasi X (38-53 tahun), dan 131 baby boomers (di atas 53 tahun).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski tingkat partisipasi generasi Z terlihat tinggi, Hasanuddin mengimbuhkan, persentase pemilih pemula yang datang ke TPS masih lebih rendah ketimbang pemilih milenial ke atas yang rata-rata 91,6 persen. "Ini pekerjaan rumah buat Komisi Pemilihan Umum, karena di pemilih muda keinginan untuk datang ke TPS lebih rendah dibanding generasi di atasnya," kata dia, kemarin.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, berpendapat berbeda. Ia menilai, adanya 89,6 persen responden pemula yang menyatakan bersedia datang ke TPS sebagai kabar baik. Data KPU menyebutkan, jumlah pemilih berusia 17-35 tahun sebesar 85 juta dari 192,8 juta pemilih atau sekitar 44 persen.
"Jadi, wajar kalau anak muda dianggap seksi dalam pemilu tahun ini. Kalau bisa menyapu bersih pemilih muda, siapa saja bisa menang," tuturnya.
Adi mengungkapkan, kecenderungan pemilih muda (generasi Z dan milenial) adalah memilih berdasarkan pertimbangan rasional dan visi-misi calon. Mereka menganggap, kata dia, program kerja dan visi-misi jauh lebih penting daripada identitas. Namun, problemnya, anak-anak muda ini cenderung labil. "Misalnya, hari ini menyatakan ingin ke TPS, tapi besok bisa tidak datang."
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Alwan Ola, mengatakan tingginya keinginan anak muda datang ke TPS berbanding lurus dengan kampanye-kampanye di media sosial. Dia menilai hal ini menjadi salah satu indikator keberhasilan penyelenggara dan peserta pemilihan umum.
Namun, menurut Alwan, partisipasi masyarakat seharusnya tidak dianggap selesai dengan mendatangi TPS dan mencoblos surat suara. Dia mengungkapkan, partisipasi yang lebih diharapkan adalah sejauh mana masyarakat sadar untuk memantau dan melapor jika menemukan pelanggaran dalam proses pemungutan suara.
Hasanuddin Ali menimpali, potensi pemilih muda yang tidak menggunakan hak suaranya alias "golput" juga perlu diantisipasi oleh kedua pasangan calon presiden-wakil presiden. Dia menuturkan, berdasarkan survei, terdapat tiga jenis kelompok golput. Jenis pertama adalah golput ideologis yang secara sadar tidak menggunakan hak pilihnya karena melihat kedua kandidat tidak sesuai dengan ekspektasi.
Jenis kedua adalah golput teknis yang dipicu oleh ketidaktahuan pemilik suara mengenai hari pemungutan suara atau keengganan mengurus persyaratan mencoblos, seperti e-KTP dan dokumen lain. "Mereka menganggap ribet, jadi malas datang ke tempat pemungutan suara," ujar Hasanuddin.
Sedangkan jenis ketiga adalah golput apatis yang tidak tertarik terhadap proses politik. Golput yang apatis ini, Hasanuddin menyebutkan, didominasi oleh pemilih generasi Z dan milenial. "Tingginya potensi golput menjadi pekerjaan rumah bagi KPU mengajak pemilih muda mendatangi TPS," ucapnya.
REZKI ALVIONITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo