Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berharap bahwa pemilihan legislatif (Pileg) 2029 dapat diadakan secara tertutup. Menurut Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep, langkah ini diperlukan untuk mengurangi praktik politik uang yang sering dilakukan oleh banyak calon anggota legislatif (caleg) demi memperoleh kursi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau sistem yang digunakan kayak kemarin 2024, (Pemilu) 2029 saya rasa amplopnya akan lebih tebal lagi, karena kan inflasi semua," kata Kaesang di Rumah Juang Relawan Jokowi (RJ2), Kemang, Jakarta Selatan, Jumat, 19 April 2024.
Kaesang menyatakan bahwa meskipun sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional tertutup mungkin tidak akan secara langsung mengurangi politik uang seperti yang terjadi pada pemilu 2024, namun menurutnya, caleg tidak akan lagi membuang-buang uang untuk memperoleh dukungan. Hal ini disebabkan oleh fokus pemilih pada partai politik daripada pada individu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa itu sistem pemilu proporsional tertutup?
Dilansir dari fahum.umsu.ac.id, sistem proporsional tertutup merupakan salah satu bentuk dari sistem representasi proporsional, di mana pemilih hanya diberikan opsi untuk memilih partai politik secara menyeluruh dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih kandidat secara langsung. Pada surat suara, hanya nama-nama partai politik yang tercantum dan pemilih memberikan suaranya melalui simbol atau lambang partai.
Dalam sistem ini, keputusan mengenai daftar calon dan calon yang terpilih sepenuhnya dipegang oleh partai politik. Sebagai contoh, apabila sebuah partai politik memperoleh 2 kursi di suatu daerah pemilihan (dapil), maka calon nomor urut 1 dan 2 dari partai tersebut yang akan terpilih. Namun, jika partai hanya memperoleh 1 kursi, maka hanya calon nomor urut 1 yang akan terpilih.
Dilansir dari mkri.id, pasca Pemilu 1999, pembentuk undang-undang memilih untuk mengubah format pemilihan anggota DPR dan DPRD dari sistem pemilu proporsional daftar tertutup menjadi sistem yang memungkinkan pemilih untuk secara langsung memilih calon anggota legislatif yang mereka pilih. Ini berarti dalam surat suara, selain nomor urut dan simbol partai politik, juga akan mencantumkan nomor urut dan nama calon anggota legislatif yang diusung oleh partai tersebut.
Namun, ketika Pemilu 2004 tiba dan disahkan UU No. 12 Tahun 2003, keputusan ini masih mempertahankan sistem yang disebut sebagai sistem proporsional terbuka yang relatif tertutup. Artinya, calon anggota legislatif akan mendapatkan kursi berdasarkan suara yang diterima, setara dengan jumlah kuota harga satu kursi yang ditentukan oleh bilangan pembagi pemilih (BPP).
Perbedaan sistem proporsional terbuka dengan sistem proporsional tertutup
Dikutip dari fisip.ui.ac.id, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih daftar nama calon legislatif. “Kelebihan dari sistem ini memang ada hubungan yang terbangun antara pemilih dengan calon legislatif (caleg) yang dipilih, lalu dalam sistem ini memang aspirasi pemilih lebih menentukan siapa yang terpilih, namun dalam sistem tertutup aspirasi elite partai yang menentukan,” ujar Dosen Ilmu Politik FISIP UI Sri Budi Eko Wardani.
Lebih lanjut ia menjelaskan, “sedangkan sistem proporsional tertutup secara teknis pemilih hanya dapat memilih tanda gambar partai saja, ini berlaku sejak masa orde baru dari 1971 sampai 1997 yang mana jumlah partai dibatasi hanya tiga saja, jadi daftar caleg tidak ada di surat suara hanya di umumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), nantinya yang terpilih berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh mekanisme internal partai.”
Sistem proporsional tertutup memiliki beberapa kelebihan di antaranya yaitu dapat menekan politik uang dan korupsi politik karena biaya yang lebih murah dibandingkan dengan sistem proporsional terbuka, menguatkan tanggung jawab partai politik dalam menentukan daftar calon dan calon terpilih, dan mempermudah masyarakat dalam menilai kinerja partai politik.
Namun, sistem tersebut juga memiliki kekurangan, yaitu mengandalkan oligarki dan nepotisme karena kekuasaan yang dimiliki oleh partai, tidak ada kedekatan calon dengan pemilih, calon yang cenderung kurang aspiratif, dan pendidikan partai politik dan kesadaran politik masyarakat dapat berkurang karena tidak terlibat langsung dalam pemilihan calon yang mereka yakini mewakili kepentingan mereka.