Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pemuas Penat dari Sudut Indramayu

Sebuah desa di Indramayu menjadi pemasok wanita penghibur untuk Jakarta. Alasan klise, impitan hidup, dan sulitnya pekerjaan di desa.

6 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Jare mboke bocah... Aja medang ning Cangkingan Bokat dikemat kepelet Dadi kedanan..." Lagu berirama tarling dangdut dermayonan itu menjerit-jerit, bersaing dengan azan magrib dari surau seberang Rumah Minum Lestari. Tak ada yang beringsut untuk mengecilkan suara tape deck murahan itu di tengah ruangan. Juga Eti dan Sukeri. Dua gadis bar itu terlalu sibuk melayani empat orang tamunya minum. Atau boleh jadi mereka membiarkan, karena lagu tersebut bertutur tentang desa dan kehidupan yang mereka jalani. "Jangan singgah minum di Cangkingan. Nanti dijampi dan tergila-gila" Lagu itu terus mengalun dan rumah minum itu pun dipenuhi bunyi disharmoni: suara azan dari surau seberang jalan, suara lagu dari tape yang makin cempreng karena tambahan amplifier, serta tawa genit gadis-gadis bar bersama tamu-tamunya. Rumah Minum Lestari itu terletak di sudut Desa Cangkingan, Indramayu. Tidak seperti lazimnya di desa lain, Desa Cangkingan yang berpenduduk sekitar 7.000 jiwa dan masuk wilayah Kecamatan Karang Ampel ini justru hidup ketika matahari surup. Pagi dan siang seolah hanya menjadi ladang kerja laki-laki tua di sawah tadah hujan serta para pemuda pengojek. Di desa itu, pekerja siang ini tergolong "kaum yang kalah" dari segi materi, dibandingkan dengan penghasilan gadis-gadis tanggung yang melayani para tamu di rumah minum yang bertebaran di desa itu di malam hari. Menurut Dulhadi, warga Karang Ampel, warung minum mulai muncul di Cangkingan setelah tahun 1980. "Sejak saya masih belasan tahun," katanya. Namun jumlahnya meningkat pesat, setelah seretnya "ekspor" tenaga kerja wanita dari Indramayu akibat krisis ekonomi 1997. Akibatnya, para petani yang makin jatuh miskin di Cangkingan memilih membiarkan anak gadisnya bekerja di warung minum. Ketika hasilnya memuaskan, malahan mereka sendiri yang kemudian membuka warung minum. Gadis minum di Cangkingan itu kebanyakan warga desa tersebut. Tak jarang, orang tua yang punya gadis cantik mencari modal untuk sedikit memoles rumahnya menjadi warung. Urusan minuman dan sound system sederhana tinggal ia bicarakan dengan pemilik modal, juga warga desa setempat. Bisa dengan sistem bagi hasil dengan pemilik modal. Suasana itu menjadikan Cangkingan tempat favorit di Indramayu untuk urusan melepas lelah. Warga desa tak pernah mengutak-atik tempat hiburan itu, mungkin karena itu adalah sumber penghidupan bersama. Aparat keamanan pun tak pernah melakukan razia. Jadi, itu tempat yang aman untuk menghibur diri. Tak jarang, meskipun diam-diam, para petinggi di pantura (istilah untuk pantai utara Jawa) memilih tempat ini sebagai ajang rehat atau tempat menjamu relasi. Asyik memang. Apalagi ditambah merebaknya kaset lagu tarling dangdut Wedang Cangkingan yang dinyanyikan Neneng tadi. Dan Neneng ini pun adalah "artis" dari desa itu pula. Ketika azan magrib dan lagu Wedang Cangkinganitu selesai, Eti mengecilkan bunyi tape. "Tambah minumnya, Mas?" tanya gadis 16 tahun itu kepada tamunya. "Tambah terus," sang tamu berteriak. Dari lagaknya yang norak, tampaknya tamu tersebut adalah sopir truk yang baru melepas lelah. Sopir-sopir ini juga langganan di warung itu, selain para baron lokal?tengkulak mangga dan petani tambak udang. Tak tampak ada keraguan, sopir-sopir itu terus memesan bir hitam dan minuman suplemen sebagai oplosan. Botol bir hitam dan minuman suplemen bertebar di meja. Eti dan Sukeri sengaja membiarkannya bertebaran, agar tamu lain tergerak bersaing. Penghasilan Eti bergantung pada seberapa banyak tamu di sana minum. Dari sebotol minuman suplemen, Eti mendapat bagian Rp 1.000 dari pemilik warung. Dari sebotol bir, ia mendapat Rp 2.500. Setiap malam penghasilannya dari uang minuman saja sekitar Rp 15 ribu. Karena itulah, Eti harus pandai-pandai membujuk tamunya supaya terus-menerus minum. Bila perlu hingga teler. Jika tamu sudah teler, ada lagi penghasilan yang lebih besar diraup para gadis bar ini, yakni dari tips. Menurut Eti, jarang sekali ada tamu yang lupa memberinya tips selesai minum-minum. Janda muda ini bahkan punya kiat khusus agar tips yang masuk tergolong besar. "Bikin mabok aja," katanya tersenyum. "Paling tidak lima puluh ribu sih gampang," tambahnya. Uang yang masuk kantong Eti akan makin berlipat seandainya ia mau melakukan satu langkah selanjutnya: "layanan pascaminum". Apalagi kalau bukan layanan seksual. Tempatnya tak perlu jauh-jauh, losmen murah seharga Rp 20 ribuan banyak tersebar di pinggiran Jalan Karang Ampel. Bahkan ada beberapa rumah minum di Cangkingan yang langsung berfungsi sebagai "losmen". Dari layanan plus itu, gadis-gadis minum ini bisa mengembat uang tamu Rp 100 ribu. Nah, dari penghasilan itu gadis-gadis desa ini bisa hidup enak di sana. Beberapa gadis yang bekerja di warung itu mengakui, Cangkingan bisa disebut sebagai training center-nya pekerja seks asal Indramayu yang banyak mengisi tempat hiburan malam di Jakarta. Tak jarang, orang tua si gadis malah terlibat aktif dalam semua pendidikan, persiapan, dan aneka proses ritual dalam mengantar anak menjadi pekerja seks di Jakarta. Orang tualah yang memberikan persiapan spiritual-mistis, menghubungkan dengan seorang germo, serta memastikan bahwa penghasilan anaknya tidak untuk dihambur-hamburkan di Jakarta. Ketika si anak bekerja di tengah gemuruhnya Kota Jakarta, tak jarang orang tua mereka juga sibuk mengunjungi berbagai dukun untuk meminta doa dan sajian agar anaknya memperoleh tamu yang banyak. Simak saja pengakuan dua warga Cangkingan yang kini menghuni sebuah panti pijat di lantai dua sebuah hotel di Jakarta. Menurut Ani?begitu nama komersial gadis 16 tahun itu?paling tidak lebih dari 100 gadis sebayanya dari Cangkingan yang kini menjadi warga tempat-tempat hiburan malam di Jakarta. Sulit untuk menebak bahwa gadis-gadis tersebut berasal dari sebuah desa kecil di Indramayu, kecuali kita tahu dialek setempat, atau mereka mengakuinya terus-terang. Biasanya gadis-gadis ini diambil para germo dari Jakarta setelah memberikan sejumlah uang tertentu pada orang tua mereka. Kini mereka tersebar di berbagai tempat, dan tak jarang mengalami rotasi. Ani sendiri?yang sekilas mirip artis Ratna Listy?berangkat ke Jakarta setelah "mami"-nya memberi orang tuanya di Cangkingan "tanda jadi" Rp 6 juta. Oleh maminya, Ani diminta stand by di sebuah panti pijat di kawasan Kota. Meski mengaku capek, ia cukup puas dengan penghasilan selama ini. Dari seorang tamu, Ani akan mendapatkan Rp 165 ribu sekali ngamar. Dari jumlah tersebut, ia hanya mengantongi Rp 45 ribu untuk dirinya sendiri. Selebihnya diambil sang mami untuk biaya kamar, makan, cuci, dan pemeriksaan kesehatan. Hal yang terakhir mutlak perlu, karena di luar waktu libur haid, paling tidak Ani melayani lima tamu sehari. Dengan kerja sekeras itu, tak mengherankan jika ia mampu mengirim tak kurang dari Rp 4 juta sebulan buat orang tuanya. Tentu saja penghasilan Ani bertambah kalau ia berhasil membujuk tamunya untuk memberikan tips. Dan tips ini bebas dari "pajak mami". Tina, teman sekampung Ani, mengaku tidak betah bekerja di Jakarta. Ia mengakui pendapatannya lebih besar di Jakarta dibandingkan di desa. Yang menjadi masalah adalah kebebasan yang tak lagi diperolehnya. Tina menceritakan, pukul 17.00 ia sudah harus berada di ruang kaca untuk ditaksir tamu yang datang. Pekerjaan rutinnya itu baru kelar pukul 02.00 dini hari. Jadi, baru dini hari itulah Tina dan kawan-kawannya bisa menikmati istirahat dan tidur hingga tengah hari. Pukul 15.00, sang mami sudah datang untuk membawa mereka kembali bekerja. Tak ada waktu untuk keluar dari rumah kos di bilangan Mangga Besar yang berpagar tinggi dan dijaga satpam tersebut. Tina sebenarnya lebih suka begadang di Cangkingan. "Biar duitnya tipis, bisa menikmati hidup," paparnya. Di Cangkingan, ia bisa menolak tamu, atau minimal bisa memilih-milih jika kurang srek. Bayangkan, di Jakarta bahkan para gadis ini tak bisa keluar hanya untuk sekadar makan siang. Mereka dilayani, mereka tinggal minta apa saja, ada pekerja mami yang membereskan. "Makanya, walaupun tamunya jelek, mendingan di kamar bareng tamu daripada bengong di ruang kaca," katanya. Belum lagi kalau tamunya baik dan memberi tips besar. Adakah tamu yang luput memberi tips? "Kalau tamunya mahasiswa dan ganteng, dia minta nambah pun nggak akan kita minta uang tambahan," kata Ani. Alasan ekonomi memang paling sering dijadikan lagu pembenar para penjaja seks asal Indramayu. Pendapatan per kapita di Indramayu hanyalah Rp 120 ribu per bulan?tergolong termiskin di Jawa Barat. Tapi kenyataannya, rumah besar sangat mudah dijumpai di desa-desa itu. Rumah itu adalah milik orang tua para gadis pengadu nasib di Jakarta. Ke sanalah uang itu bermuara. Tetapi, ketika sang anak makin tua dan layu, tak jarang rumah itu terjual kembali. "Pendidikan masyarakat di sini memang masih rendah," kata Malik Usman, penanggung jawab Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan, sebuah proyek bersama Bappenas dan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, untuk wilayah Indramayu. Ia mencontohkan, dibandingkan dengan tingkat melek huruf Jawa Barat yang mencapai 89,7 persen, angka Indramayu masih 67 persen. Tak mengherankan bila masyarakatnya hidup tanpa "arah yang jelas": jika ada uang banyak, digunakan untuk pamer, sekalipun uang itu didapatkan dari menjajakan seks. Tak ada upaya "lebih terarah", misalnya uang yang diperoleh dari seks itu ditabung dan dipakai untuk modal kerja yang lebih baik di kemudian hari. Sekaligus sebagai sarana tobat. Darmawan Sepriyossa, Ivansyah (Indramayu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus