Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 5 September 1945, terjadi peristiwa yang secara resmi menandai kesatuan Kasultanan Yogyakarta dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terdapat sebuah Maklumat yang dikenal dengan "Amanat 5 September 1945" menjadikan Yogyakarta sebagai salah satu wilayah integral dari Republik Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah awal dari perjalanan yang mempertemukan budaya dan tradisi yang kaya dari Kasultanan Yogyakarta dengan semangat dan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bergabungnya Kesultanan Yogyakarta dengan RI
Dilansir dari situs Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY, Sultan Hamengkubuwono IX mengirim ucapan selamat kepada proklamator pada 17 Agustus 1945, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Peristiwa ini dilanjut pada 5 September 1945 ketika Sultan bersama Paku Alam VIII mengeluarkan maklumat "Amanat 5 September 1945" yang menetapkan daerah Yogyakarta sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia.
Esoknya, pemerintah pusat lalu mengeluarkan "Piagam 19 Agustus 1945" sebagai penghargaan atas bergabungnya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Republik Indonesia. Yogyakarta menjadi kerajaan pertama yang resmi bergabung dengan Republik Indonesia.
Walaupun Yogyakarta awalnya merupakan daerah vassal dengan otonomi khusus selama masa penjajahan, status ini menjadi polemik setelah kemerdekaan karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang diinginkan oleh pemerintah pusat.
Meskipun begitu, pemerintah pusat akhirnya memutuskan untuk mempertahankan status quo hingga undang-undang mengenai pemerintahan daerah dibentuk.
Sebelum Bergabung
Menurut Hukum.jogjakota.go.id, Yogyakarta berakar dari Perjanjian Gianti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755 oleh Kompeni Belanda. Perjanjian ini mengakibatkan pembagian wilayah Negara Mataram menjadi dua bagian, dengan setengah wilayah menjadi Hak Pangeran Mangkubumi.
Daerah ini kemudian dinamai Ngayogyakarta Hadiningrat pada 13 Maret 1755, dan ibu kotanya adalah Ngayogyakarta, atau lebih dikenal sebagai Yogyakarta.
Pangeran Mangkubumi yang dikenal sebagai Sultan Hamengku Buwono I awalnya menempati Pesanggrahan Ambarketawang di Gamping yang mulai dikerjakan. Pada 9 Oktober 1755, pesanggrahan ini resmi ditempati olehnya.
Namun, pada 7 Oktober 1756 terjadi peresmian keraton yang baru. Hal ini menandai berdirinya Kota Yogyakarta, atau dalam namanya yang lebih lengkap, Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Keraton yang baru ini menjadi pusat pemerintahan dan kebudayaan, yang menjadi inti dari Kota Yogyakarta yang kita kenal saat ini.
Kota Yogyakarta yang mencakup wilayah Kasultanan, Pakualaman, Kotagede, dan Umbulharjo, diberikan status sebagai Kota Praja atau Kota Otonomi melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947. Meski demikian, walikota pertamanya, Ir. Moh Enoh mengalami kendala karena wilayah tersebut masih tergabung dalam Daerah Istimewa Yogyakarta.
Setelah itu, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 menetapkan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II. Pada masa ini, Mr. Soedarisman Poerwokusumo menjadi walikota kedua dan juga Badan Pemerintah Harian, serta merangkap sebagai Pimpinan Legislatif DPR-GR dengan anggota sebanyak 25 orang.
Kemudian, DPRD Kota Yogyakarta dibentuk pada 5 Mei 1958 dengan 20 anggota setelah hasil Pemilu 1955. Perubahan berikutnya terjadi ketika Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, yang mengubah sebutan Kota Praja menjadi Kotamadya Yogyakarta.
Perkembangan selanjutnya terjadi melalui Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966, yang menghasilkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang mengatur DIY sebagai Provinsi dan Daerah Tingkat I. Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan.
Pada akhirnya, Kota Yogyakarta mengalami perubahan nama sesuai dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah.
M RAFI AZHARI | IDRIS BOUFAKAR