Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pakar hukum mengkritik Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019. Mereka menyoroti pelibatan militer untuk mendisiplinkan masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan di masa pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, dengan pelibatan TNI seperti tertuang dalam instruksi presiden itu, seolah-olah pemerintah hendak menerapkan kebijakan darurat sipil. Sebab, pemerintah sudah menurunkan militer untuk kegiatan-kegiatan sipil.
"Ini seperti penerapan darurat sipil dengan cara menurunkan militer ke sipil untuk menegakkan aturan," kata Feri, kemarin.
Menurut Feri, pelibatan TNI di ranah sipil ini berpotensi disalahgunakan. Apalagi militer tidak hanya terlibat mengawasi penerapan protokol kesehatan, tapi mereka sekaligus terlibat dalam pelaksanaan penerapan sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan.
Dua hari lalu, Presiden Jokowi menerbitkan Inpres tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Inpres ini berisi perintah kepada para kepala daerah; Panglima TNI; Kepala Kepolisian RI; Menteri Dalam Negeri; Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana; serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Ada tiga perintah Presiden kepada Panglima TNI. Ketiga instruksi itu adalah untuk menggerakkan kekuatan TNI dalam mengawasi pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat, menggiatkan patroli penerapan protokol kesehatan di masyarakat, serta membina masyarakat untuk berpartisipasi dalam pencegahan dan pengendalian Covid-19.
Satu perintah Presiden kepada kepala daerah juga ikut melibatkan TNI, yaitu mengenai penerapan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Di sini kepala daerah diinstruksikan agar berkoordinasi dengan lembaga terkait, TNI, dan Polri dalam melaksanakan penerapan sanksi atas peraturan daerah.
Wakil Ketua Bidan Akademik dan Penelitian pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan pelibatan militer dalam kegiatan sipil ini bertentangan dengan Undang-Undang TNI.
“Ada masalah di poin keempat mengenai TNI, karena soal ini bukan kewenangan TNI," kata Bivitri. Poin keempat yang dimaksud Bivitri adalah tiga instruksi presiden kepada Panglima TNI.
Menurut Bivitri, sesuai dengan Undang-Undang TNI, militer berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan. Mereka menjalankan tugas berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. "Pendekatan pertahanan pasti sangat berbeda. Kalau untuk mendisiplinkan warga negara, pendekatannya adalah keamanan," ujarnya.
Ia menyesalkan upaya pemerintah yang terkesan hendak menarik militer ke dalam urusan sipil. Upaya itu dianggapnya mencederai cita-cita Reformasi dan upaya masyarakat sipil untuk mendorong pemisahan antara urusan keamanan di kepolisian dan pertahanan oleh TNI. "Tapi kali ini Presiden justru membuka peluang untuk masuknya TNI ke ranah sipil," katanya.
Bivitri juga menyoroti kategori fasilitas umum yang diatur dalam instruksi presiden tersebut. Inpres ini mengkategorikan kendaraan pribadi sebagai fasilitas umum. “Meskipun keliru, tapi kalau melihat ketentuan di atasnya, bukan persoalan berat dan signifikan,” katanya.
Juru bicara Presiden, Fajroel Rachman, maupun Kepala Staf Presiden, Moeldoko, belum merespons konfirmasi Tempo soal ini. Lewat akun Twitter-nya, Fajroel membenarkan bahwa pemerintah telah menerbitkan inpres tersebut. “Payung hukumnya, peraturan gubernur, peraturan bupati, peraturan wali kota menerapkan sanksi terhadap pelanggaran,” katanya.
AVIT HIDAYAT | DEWI NURITA | RUSMAN PARAQBUEQ
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo