Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pendiri Difa Bike Sebut 3 Isu Penting Komisi Nasional Disabilitas

Pendiri Difa Bike, Triyono menyampaikan apa saja isu penting yang nantinya harus diperjuangkan oleh anggota Komisi Nasional Disabilitas.

11 Juli 2020 | 16.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 68 tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas. Kendati rencana pembentukan hingga mekanisme seleksi calon anggota Komisi Nasional Disabilitas ini masih menjadi polemik, ada pandangan yang menaruh harapan pada lembaga tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang tokoh difabel dari Yogyakarta, Triyono berharap Komisi Nasional Disabilitas menjadi lembaga yang lebih intens mengontrol isu pemerataan bagi aksesibilitas penyandang disabilitas. "Kami berharap Komisi Nasional Disabilitas bisa mengubah keadaan karena dengan posisinya sebagai komisi sehingga lebih didengar oleh pemerintah," kata Triyono kepada Tempo, Jumat 10 Juli 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Triyono adalah salah satu tokoh yang didapuk sejumlah organisasi disabilitas agar bersedia mengikuti seleksi anggota Komisi Nasional Disabilitas, sekaligus menjadi wakil dari DI Yogyakarta. Triyono adalah perintis ojek difabel atau Difa Bike di Yogyakarta.

Menurut dia, setidaknya ada tiga isu penting yang dihadapi penyandang disabilitas saat ini terkait kesetaraan kesejahteraan. Tiga isu itu mencakup pendidikan, ketenagakerjaan, dan organisasi. Di bidang ketenagakerjaan, Triyono menitikberatkan pada lowongan CPNS untuk difabel.

Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia DI Yogyakarta memilih pendiri Difa Bike, Triyono (bertopi) untuk maju dalam seleksi anggota Komisi Nasional Disabilitas, Jumat, 10 Juli 2020. TEMPO | Pribadi Wicaksono

Kendati pemerintah sudah membuka peluang bagi penyandang disabilitas untuk mengikuti seleksi CPNS, namun yang kerap terjadi adalah posisi yang ditawarkan jarang atau sama sekali tak dikuasai penyandang disabilitas. Akibatnya, kursi jatah CPNS untuk difabel itu nyaris selalu kosong.

Triyono mencontohkan saat ada lowongan CPNS difabel dari jurusan D3 Perpustakaan, D3 Sanitari, juga D3 Teknik Arsitektur. Padahal sumber daya difabel dengan latar pendidikan itu hampir tak ada. "Belum ada niat meneliti dulu sebenarnya apa saja latar belakang yang dimiliki oleh difabel di daerah," kata dia. Yang terjadi adalah, pemerintah asal membuka lowongan CPNS difabel untuk posisi tertentu. Dan pada akhirnya sia-sia karena tak ada yang memiliki latar pendidikan yang dibutuhkan.

Selama ini, menurut Triyono, tiada pihak yang mampu menegur langkah pemerintah dalam menyediakan kuota PNS bagi disabilitas itu. Lembaga swadaya masyarakat belum cukup kuat untuk memperbaiki keadaan.

Di sektor usaha swasta formal, Triyono melanjutkan, kuota untuk menyediakan lapangan kerja bagi difabel yang telah diatur tak pernah tercapai. Walau pemerintah terus mengkampanyekan perekrutan tenaga kerja penyandang disabilitas, tidak ada yang mengawasi apakah peraturan ini benar-benar diterapkan di lapangan. Akibatnya, pengusaha tak menggubris peraturan yang mensyaratkan dibukanya peluang bagi difabel untuk bekerja di sektor swasta.

Triyono, pendiri layanan ojek difabel, Difa Bike di Yogyakarta. TEMPO | Pribadi Wicaksono

Di DI Yogyakarta terdapat 780-an anak usia 15 sampai 18 tahun yang lulus dari sekolah luar biasa (SLB) SMA. Sebagian besar anak-anak itu menganggur setelah lulus. Hanya segelintir saja yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Triyono berharap, format pendidikan di SLB-SMA diubah menjadi SLB-SMK atau Sekolah Menengah Kejuruan. Dengan begitu, para siswa memiliki bekal keterampilan dan siap mandiri setelah lulus.

Dengan penjurusan sejak dini lewat SMK Luar Biasa itu, Triyono mengatakan, anak-anak juga bisa mendapatkan sertifikasi sesuai kemampuannya. Misalkan anak berkebutuhan khusus yang suka dengan mesin, maka mengambil jurusan SMK Luar Biasa teknik mesin. Saat lulus, dia sudah mengantongi sertifikasi itu untuk bekerja.

Triyono menuturkan 97 persen pelaku usaha disabilitas bergerak di bidang usaha kecil menangah. Namun sejauh ini belum ada organisasi atau asosiasi profesi yang menaungi kelompok tersebut. "Tak adanya organisasi atau asosiasi difabel ini menghambat akses dan peluang sektor usaha kecil untuk naik kelas," katanya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus