Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendapati sejumlah fakta dalam peristiwa kerusuhan di Jakarta dan Pontianak pada 21-23 Mei lalu. Salah satu fakta itu adalah pelaku penembakan yang menewaskan sembilan orang dalam kerusuhan Mei tersebut merupakan orang-orang terlatih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Penembakan terhadap sembilan warga sipil itu diduga dilakukan orang yang terlatih dan direncanakan jauh-jauh hari dengan memanfaatkan situasi chaos pada 22 Mei," kata Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM sekaligus Wakil Ketua Tim Pencari Fakta Kerusuhan Mei, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan korban tewas dalam kerusuhan Mei lalu di Jakarta dan Pontianak berjumlah 10 orang. Dari jumlah itu, sembilan orang tewas tertembak peluru tajam dan satu orang meninggal karena benturan benda tumpul di kepala. Beka menyebut pembunuhan terhadap warga sipil ini sebagai pembunuhan tanpa alasan hukum yang sah dan dikategorikan melanggar hukum. "Jatuhnya 10 korban jiwa, empat di antaranya anak-anak, merupakan tragedi," ujarnya.
Fakta lain yang ditemukan Komnas HAM, kata Beka, adalah anggota kepolisian melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil. Kesimpulan ini berdasarkan keterangan saksi dan korban. Seorang saksi berinisial BG, misalnya, mengaku dianiaya polisi dengan cara diseret di Jalan Kota Bambu Utara I, Jakarta Barat.
Komnas HAM juga menemukan seorang warga yang diduga dianiaya polisi di Kampung Bali, Jakarta Pusat, 23 Mei lalu. Polisi sempat menyebutkan nama korban adalah Andri Bibir. Namun temuan Komnas HAM berbeda. Komnas HAM menemukan bahwa korban bernama Markus Ali, yang hingga kini masih kritis. 
Atas temuan ini, Komnas HAM merekomendasikan kepada Presiden untuk memastikan kelanjutan proses hukum kasus kerusuhan Mei. Kepada Kepala Kepolisian RI, Komnas HAM juga merekomendasikan agar kepolisian mengungkap pelaku utama kerusuhan, melanjutkan penyelidikan tewasnya 10 orang, dan memberikan sanksi kepada polisi yang melakukan kekerasan.
Kerusuhan Mei lalu itu berawal dari unjuk rasa massa di depan kantor Badan Pengawas Pemilu, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Massa menolak hasil pemilu presiden yang memenangkan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Demonstrasi yang berujung anarkistis ini melebar ke kawasan Tanah Abang hingga Kemanggisan.
Polri belum dapat dimintai konfirmasi mengenai temuan Komnas HAM ini. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo serta Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisari Besar Asep Adi Saputra belum membalas permintaan konfirmasi Tempo.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, mengkritik sikap kepolisian terhadap peristiwa ini. Ia mengatakan, hingga sekarang, kepolisian belum membeberkan penyebab korban meninggal dan para pelakunya. "Berbulan-bulan tidak ada penjelasan. Mereka meninggal karena apa? Siapa pelakunya?" katanya. M. ROSSENO AJI | DEWI NURITA | AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo