Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perayaan Tahun Baru terasa kelabu bagi Yohanes G. Bonay, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua. Tiga hari menjelang pergantian tahun, istri, anak, dan satu orang kerabatnya ditembaki oleh orang tak dikenal di pos perbatasan Wutung, pintu ke Papua Nugini, sekitar 20 kilometer arah timur Jayapura.
Hari itu Elsje Rumbiak, 35 tahun?istri John, begitu Bonay dipanggil?dan anak mereka, Maryolin Bonay, 15 tahun, dengan ditemani kerabat mereka, Yeni Ireuw Meraudje, 35 tahun, hendak menjenguk keluarga mereka di Vanimo, provinsi di perbatasan di Papua Nugini. Sebelas orang keluarga Bonay?tanpa dirinya?berangkat ke Vanimo dengan minibus milik Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Papua. Mungkin karena masih pagi, sekitar pukul 08.30 waktu Papua, pintu gerbang pos Wutung masih tertutup. Sang sopir, Wempi Hanasbey, kemudian putar balik ke kanan untuk meminta kunci gerbang ke pos penjaga. Saat itulah terdengar rentetan tembakan.
Menurut Maryolin Bonay, tembakan datang dari sisi kiri mobil. Arahnya dari semak-semak dan hutan. "Saya mencoba melihat, tapi semua orang disuruh tunduk," katanya. Ia dan adiknya lalu bersembunyi di bawah jok mobil yang terus melaju masuk ke kantor imigrasi. Begitu tiba, semua orang berlari masuk. "Tapi tembakan masih terus," tuturnya. Maryolin mengaku sangat takut. "Apalagi Mama dan Tante Yeni berdarah. Termasuk lengan kiri saya," ujarnya. Menurut saksi lain, Albert Meraudje, penyerang diperkirakan berjumlah 10 orang, tapi hanya 3 orang yang bersenjata. "Jarak mereka dengan kami hanya sekitar 50 meter," katanya.
Tembakan terus beruntun. Dua peluru di antaranya menembus bodi mobil dan melaju mengenai paha kanan Else hingga tembus ke paha kiri. Sementara itu, anaknya, Mariana, terserempet peluru di bagian pundak. Sedangkan Yeni terkena tembakan di tempurung lutut kiri dan kanan. Pengemudi mobil langsung melarikan kendaraan ke pos perbatasan TNI, sekitar 200 meter dari lokasi. Ketiga korban kemudian dikawal oleh anggota TNI ke Rumah Sakit Angkatan Darat Martin Indey di Jayapura.
Insiden penembakan itu amat mencolok, tiga mobil yang mendahului mereka aman-aman saja. Celakanya lagi, menurut Wakil Direktur Elsham Aloy Renwarin?seorang staf dekat Bonay?tak satu pun rombongan keluarga Bonay yang sempat mengenali para penembak karena tertutup belukar tinggi. "Tak sempat diketahui ciri penembaknya entah dari baju atau senjatanya," katanya. Bonay sendiri, sejak penembakan terjadi, memilih tutup mulut.
Karena tak ada saksi mata langsung, kasus ini segera memarakkan beragam tudingan. Kepala Staf Kodam Trikora, Brigjen Nurdin Zainal, menyatakan pelaku penembakan adalah kelompok separatis bersenjata Papua (OPM) di bawah Mathias Wenda, yang "berkuasa" di Wutung. Tudingan itu berdasarkan pada surat edaran terbaru Wenda yang berisi perintah untuk menyerang pos-pos TNI/Polri. "Dokumen" itu sempat ditunjukkannya kepada para wartawan. Selain itu, pertengahan Desember lalu juga terjadi penyerangan terhadap anggota Batalion 132 Bima Sakti yang sedang mengawal Duta Besar Indonesia untuk Papua Nugini, J.R.G. Jopari, oleh pasukan OPM di tempat yang sama. "Saya mendapat informasi ada anggota OPM yang tertembak," katanya. Dari TNI, dua orang prajurit TNI turut terluka.
Menurut Nurdin, bila ada rekannya yang terluka, anggota OPM akan membalas. "Ini sudah kebiasaan mereka," kata pria yang juga pernah bertugas di perbatasan Papua semasa berpangkat letnan hingga kapten ini. "Lihat saja, sebelumnya taksi pelat kuning nongkrong enggak diapa-apain. Giliran pelat merah, nomor Jakarta lagi, ditembaki," ujarnya. Minibus milik PU yang ditumpangi Elsje memang berpelat merah dengan letter B (Jakarta).
Mathias Wenda sendiri, dalam wawancara dengan www.westpapua.net, menolak tudingan itu. "Tentara kami tidak dilengkapi senjata modern. Hanya senjata tradisional," demikian ia membantah. "Kami tak mungkin menyerang sesama orang Papua yang justru kami bela," tuturnya lagi. Insiden penembakan di Wutung, kata dia, hanya akal-akalan TNI untuk membuat konflik di perbatasan.
Pihak Elsham juga lebih curiga aparat berada di belakang penembakan. Menurut Aloy, pekan lalu ban mobil John digembosi orang saat menghadiri pemakaman kerabatnya. Kabel telepon rumahnya diputus orang tak dikenal. "Ada benang merah antara kejadian itu dan kasus penembakan karyawan Freeport Agustus lalu yang kami tangani," demikian ia menduga. Elsham menuding TNI terlibat dalam kasus penembakan karyawan Freeport yang menyebabkan dua warga Amerika dan seorang warga Indonesia tewas itu.
Polisi mencoba menyidik perkara ini dengan melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP), sehari setelah penembakan Elsje. Olah TKP kedua, pada 1 Januari lalu, gagal dilakukan karena rombongan ditembaki. Kali itu seorang prajurit TNI terluka. Dari hasil penyisiran di lapangan, ditemukan proyektil dan puluhan selongsong peluru, tombak, busur dan anak panah, tas pakaian hitam dan loreng. Di dalamnya ada beberapa potong baju, senter, uang kertas, kina, obat-obatan, kondom, kartu pengobatan, palu, parang, meteran, dan benang. Dari selongsong peluru dan proyektil yang tertancap di tiang kayu, setidaknya ada sembilan jenis senjata yang dipergunakan. Di antaranya jenis FF 479, Winchester 12 GA, FNB, dan beberapa jenis lagi. Cuma, kata Kepala Polres Jayapura, AKBP Totok Kusmiarto, bukti-bukti itu belum "bersuara" banyak. "Karena masih harus dipilah antara bukti kasus penembakan pertama dan kedua," tuturnya. Rupanya, jalan masih panjang.
Arif A. Kuswardono, Cunding Levi (Jayapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo