Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Brebes - Carlim, salah seorang penganut aliran kepercayaan yang menggugat kolom agama di KTP, masih belum puas dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Ia mengatakan tak semua penganut aliran kepercayaan puas dengan keputusan MK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi di kolom agama itu isinya titik dua ( : ) kepercayaan. Tidak jelas (dalam kolom di KTP) aliran kepercayaannya apa. Harusnya kan dicantumkan,” jelas Carlim saat ditemui di rumahnya, di Desa Ciampel, Kecamatan Kersana, Rabu, 11 November 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 dan UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi kependudukan yang mewajibkan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) harus diisi. Gugatan ini diajukan oleh sejumlah perwakilan penganut aliran kepercayaan di Indonesia. Dengan keputusan MK tersebut, aliran kepercayaan kini sudah bisa masuk dalam kolom agama pada KTP.
Carlim merupakan salah satu dari empat penganut kepercayaan yang mengajukan gugatan. Selain Carlim, penganut lainnya yakni Ngaay Mehang Tana (penganut kepercayaan Komunitas Marapu), Pagar Demanra Sirait (penganut Paralim), dan Arnol Purba (penganut Ugamo Bangsa Batak). Mereka mempersoalkan tidak dicantumkannya aliran kepercayaan dalam kolom KTP. Setelah menunggu selama satu tahun tiga bulan, mereka akhirnya memenangkan gugatan.
Menurut Carlim, keyakinan yang selama ini dianutnya membutuhkan pengakuan dari negara, termasuk di kartu identitas. Sebab, selama ini, mereka kerap mendapatkan diskriminasi dari sebagian besar masyarakat. Karena itu, dia khawatir, dengan tidak mencantumkan nama aliran kepercayaan dalam KTP, belum tentu menjamin bisa menghentikan diskriminasi itu. “Harusnya dicantumkan, misalnya kalau agama kan ada Islam, Kristen. Nah kalau aliran kepercayaan bisa disebutkan Sapta Darma, atau yang lainnya.”
Kendati demikian, dia menerima hasil keputusan MK tersebut. Dia berharap, keputusan ini bisa mengakhiri diskriminasi yang selama ini didapatkan kelompoknya. “Jadi yang tadinya mencari pekerjaan susah, jadi gampang. Dalam mengenyam pendidikan juga dipermudah. Termasuk dalam bersosialisasi dengan masyarakat kami tidak dicap macam-macam seperti dianggap PKI (Partai Komunis Indonesia) dan lainnya,” jelas dia.
Di Brebes sendiri, jumlah penganut aliran kepercayaan Sapta Darma mencapai 275 orang yang tersebar di sejumlah kecamatan. Selama ini, penganut aliran kepercayaan ini kerap kebingungan ketika ada anggota yang meninggal dunia. Sebab, warga setempat banyak yang menolak jenazah peganut kepercayaan dimakamkan di tempat pemakaman umum. “Kami memang sudah ada dua lokasi pemakaman khusus untuk anggota kami. Tapi kan itu tidak efektif,” ujar dia.
Saat ini, pihaknya sedang mengupayakan agar tempat pemakaman umum yang sejatinya milik negara bisa digunakan untuk mengebumikan penganut aliran kepercayaan Sapta Darma. “Kami sudah audiensi dengan Pemkab, mudah-mudahan bisa segera terlaksana,” pungkasnya.