Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Karena Tak Loyal kepada Dewan

Penggantian Aswanto sebagai hakim Mahkamah Konstitusi sepenuhnya adalah keputusan politik. Aswanto dinilai tidak mengakomodasi produk hukum yang dibuat DPR.

1 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTAMahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mengganti hakim konstitusi Aswanto dengan Guntur Hamzah. Aswanto, yang merupakan perwakilan parlemen, dinilai gagal mengakomodasi kepentingan DPR dalam memproduksi undang-undang. Apalagi dia turut menganulir pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Bersama empat hakim konstitusi lainnya, ia memutuskan undang-undang tersebut cacat formal sehingga harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Komisi Hukum DPR Bambang Wuryanto menyebutkan penggantian Aswanto adalah keputusan politik yang harus diambil. Kinerja Aswanto sebagai hakim konstitusi perwakilan DPR dinilai mengecewakan. “Tentu mengecewakan dong. Ya, gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia. Dia kan wakil dari DPR,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bambang juga menyebutkan penggantian Aswanto merujuk pada surat pimpinan Mahkamah Konstitusi Nomor 3010/KP.10/07/2022. Surat tersebut berhubungan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi hakim konstitusi. Namun Mahkamah membutuhkan penegasan DPR ihwal tiga hakim konstitusi yang sebelumnya diusulkan Dewan.

Berdasarkan surat yang diteken oleh ketua Mahkamah Konstitusi pada 21 Juli 2022 itu, Mahkamah mencantumkan nama Arief Hidayat yang menjabat sejak 1 April 2013 hingga 3 Februari 2026. Kemudian hakim Aswanto yang menjabat sejak 21 Maret 2014 hingga 21 Maret 2029. Hakim ketiga adalah Wahidudin Adams yang menjabat sebagai hakim konstitusi sejak 21 Maret 2014 hingga 17 Januari 2024.

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Aswanto, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, 2017. Dokumentasi TEMPO/Eko Siswono Toyudho


Proses penggantian Aswanto dimulai pada Kamis lalu, dalam rapat paripurna ke-7 DPR pada masa sidang pertama 2022-2023. Penghentian Aswanto diambil setelah Komisi Hukum DPR menggelar rapat pembahasan. Berdasarkan laman Dpr.go.id, dalam rapat itu, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menanyakan kepada peserta rapat tentang persetujuan untuk tidak memperpanjang masa jabatan Aswanto. Dasco juga menyebutkan nama Guntur Hamzah sebagai pengganti Aswanto di Mahkamah Konstitusi.

Peserta rapat tidak ada yang memberikan penolakan. Apalagi penggantian Aswanto itu sebelumnya sudah diputuskan dalam rapat Komisi III pada hari yang sama. Dalam rapat internal Komisi Hukum tersebut, lima fraksi menyetujui penggantian Aswanto dengan Guntur Hamzah, satu fraksi menyetujui dengan catatan, satu fraksi menolak, dan dua fraksi tidak hadir.

Ibarat sebuah perusahaan, Bambang menganalogikan, Aswanto merupakan anggota direksi yang ditunjuk oleh pemilik perusahaan. “Kami sebagai owner,” katanya. Aswanto seharusnya membuat kebijakan yang membela kepentingan pemilik perusahaan. Namun keputusan yang dia ambil justru sebaliknya, tidak memihak kepada perusahaan. “Kalau enggak komitmen dengan kami, ya, mohon maaflah, kami punya hak (mengganti).”

Menurut Bambang, penggantian hakim konstitusi sebelum berakhir periode masa jabatan Aswanto ini baru pertama kali terjadi. Apalagi Mahkamah Konstitusi juga telah membuat keputusan tentang penghapusan periodisasi hakim konstitusi. Bambang menjelaskan bahwa Dewan belum pernah memanggil Aswanto ihwal keputusan penggantian tersebut. “Semua keputusan tertuang, bisa dibaca semua,” kata Bambang.


Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, enggan memberi tanggapan atas penggantian Aswanto. Dia sempat memberi penjelasan tentang beberapa hal, tapi tidak bersedia penjelasannya itu ditulis. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi membuat putusan nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada 20 Juni 2022. Di dalamnya berisi pengujian materiil Pasal 87 huruf a dan Pasal 87 huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu, terdapat perubahan masa jabatan hakim konstitusi tidak mengenal adanya periodisasi jabatan.

Dasco menolak menjelaskan ihwal keputusan parlemen tentang penggantian Aswanto. Dia menganjurkan Tempo menghubungi pimpinan dan anggota Komisi III. “Ke Pak Arsul Sani atau Habiburokhman,” kata Dasco.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, menjelaskan, pihaknya tidak ikut dalam rapat internal keputusan penggantian Aswanto. “Tapi memang saya berpikir waktu itu DPR melakukan konsultasi perihal akan berakhirnya jabatan hakim di MK yang merupakan usulan DPR,” ucap Nasir.

Menurut dia, lazimnya hakim Mahkamah Konstitusi usulan DPR harus ditunjuk dan disampaikan ke publik untuk mendapatkan masukan. Namun belakangan, Nasir mendapat informasi perihal Mahkamah Konstitusi berupa surat tentang pemberlakuan aturan baru ihwal tidak berlakunya periodisasi jabatan hakim konstitusi. Menurut dia, hal itu merupakan kesalahpahaman DPR dan patut dievaluasi.

Anggota Komisi III Fraksi Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, juga memprotes kebijakan pimpinannya. Melalui cuitan di akun Twitter-nya, Benny menyebutkan Mahkamah Konstitusi dibentuk karena tuntutan reformasi untuk mencegah tirani mayoritas dalam demokrasi. “Mencegah kekuatan mayoritas di DPR bertindak sewenang-wenang meng-impeach presiden dan membuat undang-undang,” katanya. “Untuk itu, kita butuh MK serta hakim-hakim konstitusi yang kuat dan independen.”

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menyebutkan keputusan parlemen mengganti Aswanto semestinya tidak boleh dijalankan. Bivitri menilai keputusan DPR memberhentikan hakim di tengah masa jabatannya tidak ada dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi. "Independensi peradilan itu prinsip penting secara global, hakim tidak boleh 'dievaluasi' di tengah masa jabatannya secara politik oleh lembaga politik berdasarkan putusannya," kata Bivitri.

AVIT HIDAYAT | IMA DINI SHAFIRA | HELMALIA PUTRI (MAGANG) | GADIS OKTAVIANI (MAGANG)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus