Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seorang mahasiswa tewas saat polisi membubarkan unjuk rasa di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Demonstran memblokade Jalan Trans Sulawesi untuk menyuarakan penolakan tambang emas.
Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah meminta maaf kepada keluarga korban.
JAKARTA — Erfaldi, 21 tahun, tumbang selepas sebutir peluru tajam melubangi dada kirinya, kemarin dinihari. Tergabung dalam Koalisi Tolak Tambang, mahasiswa itu berunjuk rasa menentang penambangan emas oleh PT Trio Kencana di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Bersama sekitar 700 demonstran, Erfaldi sempat memblokade Jalan Trans Sulawesi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kematian Erfaldi terekam kamera ponsel sesama pengunjuk rasa. Kejadiannya pukul 01.15 Wita. Tubuh tambunnya tertelungkup tak bergerak di aspal disertai genangan darah. Seorang rekan yang hendak menolong berteriak peluru masih bersarang di badan korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Azmi Sirajuddin, menyatakan penembakan terjadi ketika polisi membubarkan demonstrasi. Hingga tadi malam, Walhi bersama jaringan aktivis lain masih mengumpulkan bukti dan keterangan seputar peristiwa tersebut. "Untuk mendapatkan kronologi lengkap," kata Azmi, kemarin.
Erfaldi Erwin Lahadado. Istimewa
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, unjuk rasa diikuti warga dari tiga kecamatan yang terkena dampak aktivitas pertambangan emas PT Trio Kencana, yaitu Kecamatan Kasimbar, Toribulu, dan Tinombo Selatan. Pada Sabtu, pukul 09.00 Wita, massa berkumpul di Desa Khatulistiwa, Kecamatan Tinombo Selatan.
Mereka menggelar unjuk rasa di Jalan Trans Sulawesi untuk menagih janji Gubernur Rusdy Mastura mendatangi warga dan mencabut izin usaha pertambangan (IUP) yang sempat diberikan kepada PT Trio Kencana. Setelah 2,5 jam menunggu tanpa hasil, massa memblokade akses jalan raya. Mereka berorasi sembari membacakan puisi.
Pada pukul 15.20 Wita, polisi mulai berdatangan. Petugas juga mencoba menangkap koordinator aksi, tapi gagal. Ketika malam tiba, massa menggelar salat isya berjemaah di jalan raya. Pada pukul 22.30 Wita, polisi yang telah mendapat tenaga baru dari pasukan tambahan membubarkan paksa demonstrasi tersebut dengan gas air mata. Sebagian pengunjuk rasa ditangkap.
Direktur Walhi Sulawesi Tengah, Sunardi Katili, mengatakan unjuk rasa awalnya berlangsung damai. Massa memilih memblokade jalan dengan harapan menggugah Gubernur Rusdy untuk mau menemui mereka. "Dan mengabulkan tuntutan warga agar mencabut izin tambang PT Trio Kencana," kata dia.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan kepolisian tidak hanya membunuh Erfaldi, tapi juga menangkap sedikitnya 70 pengunjuk rasa. “Mereka memblokade Jalan Trans Sulawesi dalam rangka mengekspresikan penolakan mereka terhadap tambang emas yang beroperasi di daerah tersebut,” ujar dia.
Menurut Usman, unjuk rasa dijamin dan dilindungi oleh hukum internasional. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) secara eksplisit menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi. Perlindungan itu dinyatakan dalam Pasal 19, sedangkan hak untuk berkumpul secara damai diatur dalam Pasal 21.
Instrumen ICCPR, Usman melanjutkan, mengikat semua negara yang meratifikasinya, termasuk Indonesia. Merujuk pada kovenan ini, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen hak asasi manusia internasional. Dia juga mengkritik penggunaan senjata api yang mengakibatkan Erfaldi meninggal dan hal itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Manajer Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Melky Nahar, mengatakan warga menolak tambang PT Trio Kencana lantaran area konsesi perusahaan seluas 15.725 hektare itu mengokupasi lahan dan permukiman mereka. "Penolakan tambang emas ini sudah berlangsung lama. Berbagai aksi penolakan sudah kami lakukan," kata Melky.
Warga pertama kali berunjuk rasa pada 31 Desember 2019. Kemudian mereka kembali turun ke jalan pada 17 Januari 2020. Dua tahun berselang, pada 7 Februari lalu, masyarakat kembali berdemonstrasi. Peserta terbanyak terbentuk pada Sabtu lalu, saat 700 orang turun ke jalan untuk mendesak Gubernur Rusdy mencabut izin usaha pertambangan PT Trio Kencana. Melky meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia turun dan mendesak kepolisian menangkap para pelaku penembakan terhadap Erfaldi.
Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Inspektur Jenderal Rudy Sufahriadi, meminta maaf kepada keluarga Erfaldi. "Kami akan melakukan langkah profesional terhadap siapa pun yang melakukan pelanggaran," kata dia.
Rudy berjanji menangkap polisi pelaku penembakan di Kabupaten Parigi Moutong. Dia diduga melanggar Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Prosedur Penggunaan Senjata Api. Sebaliknya, Rudy mengatakan petugas bakal menindak puluhan demonstran yang memblokade jalan umum. Apalagi petugas telah meminta massa untuk membubarkan diri sebanyak empat kali sebelum menggunakan kekuatan fisik.
AVIT HIDAYAT | ALFARIZI M. KHORY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo