Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bah Pembuka Tahun

Curah hujan ekstrem dan mandeknya proyek pengendalian banjir menyebabkan Jakarta dan sekitarnya terendam lagi. Diperparah oleh tidak siapnya pemerintah menangani bencana itu meski sudah diperingatkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.

4 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jakarta dan sekitarnya kembali dilanda banjir besar.

  • Menteri Basuki Hadimuljono dan Gubernur Anies Baswedan saling menyalahkan soal penyebab banjir.

  • Empat hari sebelum banjir, BMKG mengeluarkan peringatan.

DIAH Furina terjaga dari tidurnya sekitar pukul tiga dinihari pada Rabu, 1 Januari lalu. Hujan lebat di luar mendorongnya bangun dari tempat tidur. Begitu turun dari kasur, kakinya langsung terendam air setinggi lutut. Warga Kampung Baru, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, itu seketika panik. Di rumahnya tinggal ibunya, yang berusia 62 tahun, dan dua anak perempuannya, yang berumur 15 tahun dan 8 tahun. Suaminya tak di rumah karena sedang bekerja di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat.

Diah mencoba menyelamatkan barang-barang di rumahnya, seperti kulkas dan kasur. Tapi air yang terus meninggi membuat usahanya sia-sia. Hampir semua barang di lantai satu terendam. Adapun ibu dan anak-anaknya diungsikan ke lantai dua. Sekitar pukul tujuh pagi, listrik di rumahnya padam. Mereka terjebak di dalam rumah. Menjelang tengah hari, air makin naik. “Ketinggiannya sampai 1,5 meter,” ujar Diah pada Jumat, 3 Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah kendaraan usai diterjang banjir di Perumahan Pondok Gede Permai, Bekasi, Jawa Barat, 2 Januari lalu. TEMPO/Ahmad Tri Hawaari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diah dan keluarganya bertahan dengan kondisi menggigil dan lapar. Bekal mereka hanya air minum dalam botol dua liter, yang sempat diraih ketika mereka mengungsi ke lantai dua. Pada pukul tiga sore, suami Diah pulang dan menyelamatkan mereka.

Menurut Diah, banjir kali ini lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya. Pada 2016, rumahnya memang dihampiri banjir, tapi hanya setinggi betisnya dan cepat surut.

Banjir juga merendam sejumlah wilayah di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, jumlah pengungsi mencapai lebih dari 100 ribu jiwa dan korban tewas sedikitnya 30 orang. Banjir dipicu curah hujan yang ekstrem. Selama 17 jam, sejak Selasa sore, 31 Desember, hujan lebat mengguyur wilayah Jakarta dan sekitarnya.


Kepala Pusat Meteorologi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Fachri Rajab mengatakan curah hujan di wilayah Jakarta pada 31 Desember sampai 1 Januari lalu lebih tinggi dibanding di wilayah hulu. “Hujan di Jakarta masuk kategori sangat lebat hingga ekstrem,” ujar Fachri. Curah hujan harian tertinggi terukur di sekitar Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, yakni 377 milimeter. Bandara itu sempat tak beroperasi karena landasan pacu pesawat terendam banjir.

Menurut Fachri, angka tersebut merupakan yang tertinggi selama beberapa tahun terakhir. Adapun hujan di wilayah Bogor masuk kategori lebat dengan curah hujan 60 milimeter. Meski hujannya tak selebat di Jakarta, air dari Bogor turut menyebabkan banjir di Ibu Kota. Belasan sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta berhulu di kawasan Bogor.

Peta dampak banjir di kawasan Jabodetabek

Setelah meninjau titik banjir dengan helikopter bersama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono menyampaikan unek-uneknya ihwal proyek pelebaran Sungai Ciliwung. Basoeki mengeluhkan masih adanya wilayah yang terendam banjir karena proyek tersebut mandek. Menurut Basoeki, banjir di Jakarta semestinya dapat diatasi bila pelebaran Sungai Ciliwung tuntas. “Mohon maaf, Bapak Gubernur. Selama penyusuran Kali Ciliwung, ternyata dari 33 kilometer itu yang sudah dinormalisasi baru 16 kilometer. Yang belum dinormalisasi tergenang,” ujar Basoeki, Rabu, 1 Januari lalu.

Bagian Ciliwung yang sudah dinormalkan itu merupakan proyek pemerintah pusat. Penormalan dilakukan dengan melebarkan sungai menjadi 35-50 meter, memperkuat tebing, dan membangun tanggul. Menurut Basoeki, proyek tersebut terhambat oleh pembebasan lahan yang menjadi tugas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Presiden Joko Widodo menyebutkan pembebasan lahan berhenti sejak 2017.

Pengungsi banjir di Halte Transjakarta Jembatan Baru, Daan Mogot, Jakarta Barat, 2 Januari lalu. ANTARA/Indrianto Eko Suwarso

Pada 2018, Anies menyatakan menolak konsep “normalisasi” sungai dengan memasang beton alias sheet pile, apalagi sampai menggusur rumah di bantaran. Anies mengusulkan konsep “naturalisasi”, pelebaran sungai tanpa menurap tebingnya.

Disindir Basoeki, Anies balik menuding. Menurut dia, “normalisasi” sungai tak ampuh mencegah banjir. Dia menyebutkan wilayah Kampung Pulo, Jakarta Timur, tetap terendam sekalipun bantaran Sungai Ciliwung di sekitar wilayah itu sudah mengalami “normalisasi”. Anies justru menyoroti program pembangunan bendungan ataupun embung di wilayah hulu oleh pemerintah pusat. Jika proyek itu tuntas, menurut Anies, volume air di hilir bisa dikendalikan. “Jadi kami lihat nanti pemerintah pusat,” ujarnya, “karena di Jakarta fokus kami adalah memastikan keselamatan warga.”

Potensi pemicu banjir

Anies tak sepenuhnya benar. Erna Susati, warga Kebon Baru, Jakarta Selatan, mengatakan rumahnya sangat jarang kebanjiran setelah bantaran Kali Ciliwung di lingkungannya dinormalkan pada 2014. Rumah Erna berada di Jalan F Gang C, RT 17 RW 04. Menurut perempuan 29 tahun ini, sebelum ada “normalisasi”, ketinggian air di rumahnya saat banjir bisa mencapai empat meter. Tahun ini, limpahan air berkurang banyak—meski tetap kebanjiran. Ketinggian air di rumah Erna “hanya” sepinggang orang dewasa.

Ahmad Nasohi, warga Kampung Baru yang juga petugas pompa air di Suku Dinas Sumber Daya Air Jakarta Selatan, membenarkan info bahwa sebelum Ciliwung dinormalkan, banjir di daerahnya cenderung tinggi. Setelah proyek itu rampung, genangan lebih rendah.

•••

TIGA hari sebelum banjir merendam Jakarta dan sekitarnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika meramalkan bakal terjadi hujan lebat dan angin kencang di sejumlah daerah, termasuk DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Peringatan itu disampaikan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dinas pekerjaan umum, dan badan penanggulangan bencana provinsi melalui melalui grup percakapan WhatsApp. BMKG juga merilis hal itu di situsnya dan media sosial.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan peringatan terus diperbarui menjelang pergantian tahun. “Yang pasti, informasi tentang peristiwa selalu kami berikan sebelumnya agar ada antisipasi atau pencegahan,” ujar Dwikorita.

Pasukan Paskhas TNI AU mengevakuasi warga dari rumah yang mengalami kebanjiran di Kawasan Halim Perdadana Kusuma Jakarta Timur, 1 Januari 2020. TEMPO/Amston Probel

Nyatanya, sekalipun telah ada peringatan dini, pemerintah tak sigap dalam menanggulangi air bah. Di sejumlah titik, bantuan logistik dan perahu karet untuk mengevakuasi korban banjir terlambat datang. Sri Kendari, 55 tahun, lebih dari 13 jam terjebak di atap rumah kakaknya di Kemang Melati 7 Blok Q Nomor 24, Bekasi. Perempuan 55 tahun ini beserta kakak dan kemenakannya sempat kedinginan dan keroncongan. “Arusnya deras dan tinggi air di luar mencapai dada orang dewasa,” kata Sri.

Sebelum banjir datang, Sri tak mendapat pemberitahuan apa pun dari pemerintah setempat. Setelah banjir, nomor telepon darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana serta tim Pencarian dan Pertolongan (SAR) yang dia hubungi untuk meminta evakuasi tak memberikan respons serius. Sri baru bisa mengungsi setelah air surut pada pukul lima pagi, Kamis, 2 Januari lalu. “Mereka bilang suruh share location. Sudah saya kirim, tapi sampai air surut mereka enggak datang,” ujar Sri.

Warga membawa bungkusan berisi makanan saat banjir di Jakarta, 2 Januari lalu. REUTERS/Willy Kurniawan

Korban banjir yang mengungsi di lapangan futsal di Jalan Juanda, Margahayu, Kota Bekasi, juga tak mendapat bantuan selama 36 jam pertama. Di lokasi itu, ada sekitar 30 orang, dari anak-anak di bawah lima tahun hingga orang dewasa. "Yang paling dibutuhkan adalah susu dan makanan siap saji," ujar Deni, salah seorang korban.

Penyebab kematian saat banjir 1 Januari 2020

Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi tak memungkiri bahwa proses evakuasi berjalan lamban. Adapun Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan evakuasi lelet lantaran akses menuju lokasi terhalang kemacetan lalu lintas. Akibatnya, sejumlah bantuan, seperti perahu karet, dari luar Bekasi tak bisa segera sampai ke tujuan. “Menuju titik sana, kami juga repot,” ujar Ridwan di Bekasi pada Kamis, 2 Januari lalu.

DEVY ERNIS, IMAM HAMDI, FIKRI ARIGI, ADI WARSONO (BEKASI)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus