Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banyak selebritas menjadi korban body shaming.
Body shaming berkaitan dengan standar kecantikan.
Body shaming bisa dilawan dengan body positivity.
JAKARTA – Body shaming membidik semua orang. Entah pelajar, mahasiswa, pekerja, atau selebritas pernah menjadi korban. Penyanyi Tiara Andini, misalnya, baru-baru ini mengaku mengalami body shaming dan dirundung di media sosial. Begitu juga Kamasean Matthews, yang sama-sama jebolan Indonesian Idol, yang memiliki pengalaman pahit di sekolah dasar karena terus diejek soal rambutnya. Bahkan anak pedangdut Lesti Kejora, yang belum genap berusia 6 bulan, mendapat ejekan soal fisik dari pengguna Instagram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Body shaming adalah menjelek-jelekkan fisik seseorang. Bentuknya tak harus ejekan, melainkan juga komentar seputar tubuh, termasuk ukuran perut, warna kulit, kondisi wajah, bentuk rambut, dan lainnya. Dampak bagi korban adalah ancaman gangguan kesehatan jiwa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Body shaming sangat berkaitan dengan standar kecantikan. Menurut psikolog klinis Ratih Ibrahim, pola pikir seseorang ihwal kecantikan bisa mendorongnya menghina fisik orang lain yang ia anggap tak sesuai dengan standarnya. Psikolog dari Universitas Indonesia ini mengatakan penghinaan fisik cenderung didasari keinginan pelaku untuk berada di atas orang lain. Biasanya, tindakan ini merupakan upaya mencari kompensasi atas kekurangan pelaku. “Dia sendiri merasa jelek. Jadi, dia ngerendahin orang lain,” kata Ratih kepada Tempo, kemarin.
Masalahnya, standar kecantikan selalu berubah dan dibentuk oleh industri. Pendiri lembaga psikologi Personal Growth di Kembangan, Jakarta Barat, itu mengatakan, pada era 1980-an, orang disebut cantik jika memiliki tulang pipi tinggi dan tubuh kurus tinggi langsing ala supermodel Claudia Schiffer. Sekarang, tren itu bergeser jauh ke wajah tirus dan tubuh mungil seperti para bintang K-Pop. “Tren diciptakan ahli marketing yang membangun gambaran kecantikan yang ideal,” ujar Ratih, yang juga memiliki gelar master ilmu marketing dari Universitas Prasetiya Mulya, Tangerang.
Ilustrasi body shaming. Shutterstock
Hal senada diungkapkan Sari Monik Agustin, sosiolog media dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Tangerang. Dia mengatakan standar kecantikan sangat dipengaruhi oleh media. Hingga 1990-an, media hanya memiliki satu kiblat, yaitu Barat. Kini, media bisa juga berkiblat ke arah lain, seperti Korea. “Dari dramanya, produk-produknya, sampai K-Pop-nya. Kemudian menyelip wujud kecantikan Asia,” kata dia.
Mereka yang berada di luar standar kecantikan bentukan media itu rentan menjadi korban body shaming. Monik mengatakan body shaming merupakan upaya seseorang atau sekelompok orang untuk “menindak” orang atau sekelompok orang lain yang mereka anggap tidak sesuai dengan standar kecantikan tersebut. “Ada semacam kontrol sosial supaya anggota masyarakat itu balik dalam koridor,” ujarnya. Jika gagal mencapai standar tersebut, mereka akan dikucilkan.
Meski kerap menjadi ajang perundungan dan serangan body shaming, Monik melanjutkan, media sosial juga membuka jalan untuk melawannya. Sebab, media sosial merupakan sarana yang ampuh untuk menyebarkan gerakan baru, termasuk body positivity. Body positivity merupakan gerakan sosial yang mengajak setiap orang menerima diri apa adanya, terlepas dari bentuk fisik. Dengan demikian, setiap orang cantik lewat cara tersendiri. “Tidak bisa lagi bilang ada standar kecantikan yang monopolistik,” kata Monik.
ANGGI ROPININTA PANGARIBUAN (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo