Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Penyelundupan Mobil Mewah Bea Cukai dan Polisi Berebut Mobil Mewah

Sejumlah mobil mewah disita polisi di Surabaya. Tapi ada sejumlah keanehan. Pihak Bea Cukai menilai mobil-mobil itu legal.

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPINTAS lalu, aparat kepolisian di Polda Jawa Timur seperti kaya semua. Lihatlah pemandangan luar biasa di halaman Gedung Tribrata, gedung Polda Jawa Timur itu. Tampak berjajar puluhan mobil mewah merek Mercedes, Jaguar, Lexus, Chrysler, Smart, dan Toyota RAV 4 keluaran tahun 2000. Semua mobil itu masih mulus dan baru, masing-masing bernilai sekitar Rp 2 miliar. Bukan main. Tapi tunggu dulu. Mobil-mobil mewah itu ternyata bukan punya Bapak Polisi. Ini adalah mobil hasil tangkapan Polda Jawa Timur dari sebuah gudang di Gempol, Pandaan. Hasil buruan dalam penggerebekan Senin pekan silam itu memang kelas kakap. Ada 33 mobil mewah dipergoki. Polisi telah menyelidiki peredaran mobil mewah di Jawa Timur selama sebulan. Mulanya, Kepolisian Resor Kota (Polresta) Surabaya Selatan menjaring dua Jaguar yang tidak dilengkapi dengan surat-surat resmi. Sejak saat itu, penugasan untuk mengawasi gelagat jual-beli mobil mewah diturunkan dari Polda Jawa Timur. Adapun gudang di Gempol (35 kilometer dari Surabaya) itu terdaftar sebagai properti milik PT Firmansyah. Di balik tembok, terdapat tiga bangunan yang digunakan untuk menyimpan puluhan mobil mewah, ratusan sepeda motor, barang-barang elektronik, dan ratusan gelondong kain, serta untuk kantor perusahaan. Tanah kosong di dalam area gudang itu masih cukup untuk dipakai truk tronton (truk pengangkut kontainer) berputar-putar. Kepala Polda Jawa Timur, Inspektur Jenderal Soetanto, yakin bahwa ada yang salah pada impor mobil-mobil mewah yang dilakukan oleh PT Catur Tunas Mekar. "Kalaupun disegel, mestinya kan disimpan di gudang pabean," kata Kepala Direktorat Reserse Polda Jawa Timur, Komisaris Besar Bambang Hendrarso Danuri. Dan menurut Soetanto, pihak Bea Cukai seharusnya memeriksa aparat mereka. "Jika ada yang terlibat, kami sikat," kata Soetanto dengan keras. Sementara itu, Direktur Bea Cukai, Permana Agung, menyatakan bahwa pihaknya memang melakukan penyegelan terhadap mobil-mobil itu karena barang-barang itu masih berada di bawah pemeriksaan Bea Cukai. "Selama segel terpasang, barang tidak boleh keluar gudang," kata Permana, yang langsung terbang ke Surabaya keesokan harinya, Selasa, 30 Januari 2001, setelah malam penggerebekan. Pihak Bea Cukai menganggap polisi salah tangkap. Masih menurut Permana, sebagian besar mobil yang berada di gudang Gempol sudah selesai diperiksa dan mendapat formulir A, sebagai bukti seluruh persyaratan kepabeanan telah terpenuhi. Dan menurut UU No. 10/1995, barang-barang impor memang diperbolehkan disimpan di luar wilayah pabean, senyampang tempat penyimpanan itu lebih memenuhi syarat dan seizin kepala pabean setempat. Singkatnya, Permana menolak tuduhan polisi bahwa Bea Cukai bersalah. "Justru polisi yang telah bertindak salah," katanya dalam jumpa pers. Alasannya, PT Catur Tunas Mekar memang tercatat di Bea Cukai Surabaya sebagai importir. Perusahaan itu juga mengantongi surat pemberitahuan impor barang (PIB), membayar bea masuk, dan menyetor pajak ke Bea Cukai sebesar?menurut Permana?Rp 6,44 miliar. Jadi, semua mobil dari gudang di Gempol itu legal. Malah, Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai Jawa Timur, Eddy Abdurrahman, mengancam akan menuntut Polda Jawa Timur karena telah mengeluarkan mobil dari gudang. "Tindakan itu bisa didenda Rp 150 juta," kata Eddy. Tapi, di luar semua perdebatan siapa yang benar, memang ada beberapa keanehan. Pada saat penggerebekan berlangsung, seorang laki-laki keturunan India bernama Ghofe Sindi?dikenal sebagai pengusaha ekspor-impor?datang ke rumah Kapolda Jawa Timur, Inspektur Jenderal Soetanto. Tapi Sindi tidak ditemui Kapolda. "Untuk apa saya temui? Paling juga soal mobil-mobil itu," kata Kapolda. Keanehan lain, PT Catur tercatat sebagai perusahaan yang bergerak di bidang garmen dan mainan anak. Lalu, perusahaan itu menambah izin usaha ke bidang elektronik dan percetakan. "Tidak pernah ada izin sebagai perusahaan importir mobil," kata Kaditserse Polda Jawa Timur. Anehnya, kantor PT Catur, yang terletak di Jalan Semolowaru Tengah VIII/4, hanyalah bangunan sederhana. Rumah itu tercatat milik Sarju Raharjo, Direktur Utama PT Catur. Sang Direktur sehari-hari hanya naik angkutan umum, tidak punya mobil, dan pekerjaannya adalah menagih iuran sampah. Tidak ada papan nama perusahaan dan?menurut para tetangga?tidak tampak kegiatan bisnis di rumah itu. Kepada polisi, Sarju mengakui, ia menjadi Direkrut PT Catur sejak pertengahan tahun lalu dan digaji Rp 750 ribu sebulan, mungkin sama dengan sebuah baut dari mobil mewah itu. Jadi, ini sebuah penyelundupan atau hanya "friksi" antara Bea Cukai dan kepolisian? Atau mungkin ini termasuk "dagelan reformasi"? Bina Bektiati, Rommy Fibri (Jakarta), Adi Sutarwijono (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus