Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Penyerahan Jabatan

Rektor IAIN Jakarta, menyerahkan jabatannya kepada penggantinya, Ahmad Sadali. (ag)

31 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang layak dicatat di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta. Penggantian rektor, dari Prof. Dr. Harun Nasution kepada Drs. Ahmad Sadali, dua pekan lalu, tidak hanya berarti perginya tokoh yang sudah 11 tahun menduduki jabatan itu dan datangnya tokoh yang lebih muda. Tapi juga berarti selesainya satu tahapan dalam proyek menjadikan IAIN sebagai "persimpangan jalan", katakanlah. Harun, yang lahir dan tumbuh di Pematangsiantar, Sumatera Utara, dan menerima pendidikan di Universitas Al-Azhar dan Universitas Amerika, dua-duanya di Kairo, serta McGill University di Montreal, Kanada, selama ini sering dianggap sebagai salah satu eksponen pembaru. Ia dikenal sangat memujikan "peranan akal dalam agama", dan dikritik sebagai "terlalu liberal". Misalnya dalam kasus kecil mengenai Dr. Karel A. Steenbrink, sarjana Perbandingan Agama dari Universitas Katolik Nijmegen, Belanda, yang diberinya tugas mengajar di program pascasarjana. Karena Steenbrink, 40 tahun waktu itu, pernah menyatakan secara terbuka bahwa dirinya tidak mempercayai Quran sebagai wahyu, begitulah kira-kira, ada seorang tokoh yang menulis surat kepada Menteri Agama - dua tahun lalu. Katanya, benarkah sarjana jenis Steenbrink itu perlu diberi tempat di IAIN? Sikap terbuka Harun Nasution bahkan lebih bisa disimak lewat dua jilid bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya 1974, yang oleh kepala Direktorat Perguruan Tinggi Departemen Agama waktu itu, Dr. Muljanto Sumardi, dipujikan untuk mata kuliah wajib Penantar Ilmu Agama Islam di seluruh IAIN. Untuk karya itu bahkan Prof. Dr. H.M. Rasjidi merasa perlu menulis buku "koreksi" - seperti yang dulu diperbuatnya dalam menghadapi eksponen pembaruan yang lebih muda, Nurcholish Madjid. Keberatan Rasjidi terutama karena ia menganggap Harun mendekati Islam dengan "semangat orientalis". Dalam pemaparan tentang aspek politik Islam, misalnya, yang dituliskan - menurut Rasjidi - "bukan ajaran-ajaran Islam mengenai ketatanegaraan", tetapi halaman sejarah yang hitam dan merah karena tercampur dengan darah dan sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam". Rasjidi menuntut sebuah sikap, sebuah judgement, terhadap berbagai aliran dan gejala yang dipaparkan Harun. Tapi judgement seperti itulah yang tak akan ada dari Harun. Kecuali satu: pembenaran kepada sikap terbuka. "Saya sebenarnya tidak pernah berfatwa," kata putra Kadli Kepala Pematangsiantar itu. Berbicara di rumahnya di Ciputat, Jakarta Selatan, diselang-selingi dering telepon yang diterima istrinya (wanita Mesir, yang memanggil suaminya "abang", sementara berbicara dalam bahasa Arab dan Indonesia), bekas rektor ini menyatakan lega atas apa yang sudah berjalan di IAIN Jakarta. "Dulu," katanya, "orang takut kepada akal". "Tetapi kemudian ada pcrubahan." Dan perubahan itu, dengan metode seminar dan sistem kredit yang mulai diterapkan di IAIN Jakarta, 1975, dua tahun setelah ia memulai jabatannya memang banyak dianggap merangsang kreativitas pemikiran. Sebagai IAIN yang paling penuh melaksanakan metode seminar (dibanding IAIN Yogya, misalnya, yang bersama IAIN Jakarta merupakan dua yang paling bermutu). IAIN Syarief Hidayatullah ini bukan hanya "beruntung" mempunyai cukup banyak mahasiswa dan alumni yang dikenal sebagai intelektual muda atau penulis kolom, umpamanya dalam masalah sosial dan agama (achry Ali, misalnya saja). Tapi juga, seperti dikatakan Harun sendiri, IAIN memang sengaja membcntuk klim yang memungkinkan tenaga-tenaga seperti itu lahir. Memang, mereka itu juga "menggodok diri" lewat klub-klub diskusi nonfakultas di "sebelah dinding kampus". Tapi, seperti dikatakan Iqbal Abdurrauf Saimima, mahasiswa tingkat akhir yang juga redaktur majalah Panji Masyarakat, "di IAIN Jakarta iklim diskusi di luar itu bersambung dengan yang di dalam. " Di segi lain, di perguruan agama seperti IAIN, metode seminar itu punya arti lebih dari sekadar upaya peningkatan mutu pengajaran seperti di perguruan nonagama. Sebab, di IAIN, seminar bisa secara praktis berarti mempertanyakan suatu keyakinan atau aliran pemikiran atau pandangan. Dan untuk itu "dosen dibebaskan dari tugas menanamkan keyakinan," kata Harun. "la hanya harus melihat apakah argumen berjalan secara benar, dan mahasiswa boleh berbeda pendapat." Di situlah pengajaran tampak sebagai sebuah persimpangan: para mahasiswa dipersilakan memilih sikap. Aturan permainan, dikatakan Harun, hanya sebuah: jangan menyinggung hal-hal yang qath'i, yang sudah definitif dalam sumber ajaran. Maka diselenggarakanlah penataran para dosen. Di kalangan dosen sendiri terdapat tujuh kelompok diskusi, yang dulu digerakkan oleh Ahmad Sadali. Waktu itu Sadali (kelahiran Klaten, Jawa Tengah, kini 53 tahun) salah seorang wakil rektor. Ketika ia dipindahkan ke Ujungpandang - tiga tahun lalu kelompok-kelompok diskusi itu pun dicatat berjalan tersendat. Sadali kemudian dikembalikan ke Jakarta - tokoh yang lebih dikenal sebagai tenaga administrator. Barangkali saja, semua yang diusahakan itu sesuai dengan harapan Menteri Agama seperti yang diucapkan pada hari pelantikan rektor baru. Yakni: diperlukannya, dari para sarjana Islam, "pemikiran yang berani dan orisinil, bukan imitasi pendapat orang lain. Menteri juga mengharapkan, antara lain, "komitmen terhadap Islam dan integritas ilmiah." Dengan kata lain, agaknya, mereka bukan sekadar ilmuwan yang memandang Islam semata-mata sebagai ilmu. Tapi juga bukan sekadar pemberi tuntunan agama kepada umat. Tidak bisakah itu dianggap model pencapaian yang cukup penting, dalam perkembangan pemikiran Islam?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus