Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
MAKI dan LP3HI mengajukan uji materi terhadap kewenangan kejaksaan menyidik kasus korupsi ke Mahkamah Konstitusi.
Permohonan uji materi ini merupakan intervensi sekaligus meminta agar kewenangan kejaksaan dalam menyidik kasus korupsi ditambah.
Keberadaan lembaga lain, tidak terkecuali Kejaksaan, tetap penting, mengingat masih masifnya korupsi.
JAKARTA – Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) bersama Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) mengajukan uji materi terhadap kewenangan kejaksaan menyidik kasus korupsi ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan uji materi itu merupakan intervensi oleh dua pegiat ini terhadap gugatan serupa ke Mahkamah Konstitusi untuk menghilangkan kewenangan kejaksaan dalam menyidik kasus korupsi. ”Uji materi sudah kami ajukan secara resmi kemarin,” ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman saat dihubungi pada Selasa, 13 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permohonan uji materi terhadap kewenangan kejaksaan menjadi penyidik kasus korupsi yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Kejaksaan sebelumnya digugat ke Mahkamah oleh advokat M. Yasin Djamaludin. Dalam uji materi yang diajukan, Yasin mengatakan, Pasal 30 membuat Kejaksaan memiliki kuasa bertindak sewenang-wenang dalam proses penyidikan. Sebab, penuntutan atas penyidikan juga dilakukan oleh jaksa sehingga dinilai tidak ada kontrol dari lembaga lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demikian juga kewenangan jaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 39 serta Pasal 44 ayat 4 dan ayat 5 sepanjang frasa 'atau kejaksaan' di Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Yasin menilai pasal itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Adapun MAKI dan LP3HI justru meminta agar kewenangan kejaksaan dalam menyidik kasus korupsi ditambah. MAKI meminta agar Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan diubah menjadi berbunyi, "Kejaksaan mempunyai tugas dan berwenang melakukan penyidikan perkara korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN."
Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melakukan aksi teatrikal sebagai tanda darurat di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi,Jakarta, 2021. TEMPO/Imam Sukamto
Dalam permohonan uji materi tersebut, MAKI mengajukan 23 alasan memohon agar kewenangan kejaksaan dalam menyidik kasus korupsi ditambah. Salah satu alasannya, MAKI menganggap kewenangan penyidikan yang dimiliki Kejaksaan berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan sesuai dengan hak dan kepentingan konstitusional pemohon. Apalagi jika kewenangan itu ditambah dengan menyidik KKN, sehingga korban dari kasus KKN akan mendapatkan hak perlakukan dan jaminan pelindungan kepastian hukum.
MAKI juga menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara hukum sudah sepatutnya memberikan jaminan dan pelindungan serta kepastian hukum bagi warga negaranya. Hal itu termasuk memberikan kewenangan jaksa untuk menyidik kasus korupsi.
MAKI menilai, pemberian kekuasaan penyidikan kepada kejaksaan tidak bertentangan dengan proses hukum demi mencapai sistem peradilan di Indonesia. MAKI menganggap fungsi ganda kejaksaan sebagai penyidik sekaligus penuntut memastikan terjadinya sistem pengawasan yang baik dalam penyidikan kasus korupsi.
MAKI juga menganggap kejaksaan memiliki kinerja yang bagus dalam penanganan kasus korupsi. Sebagai contoh, MAKI menyebutkan, kejaksaan mampu merumuskan kerugian ekonomi negara dalam kasus impor tekstil di Batan dan perkara kelangkaan minyak goreng.
Dihubungi secara terpisah, Ketua LP3HI Arif Sahudi menilai koalisi masyarakat sipil mendaftarkan uji materi sebagai pihak intervensi yang justru ingin memperkuat kewenangan kejaksaan. “Sebagai orang peduli dan aktif mengamati korupsi, kami harus peduli dan memastikan kewenangan itu tetap ada di kejaksaan,” ujar Arif.
Perihal Pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan yang disebut kewenangan jaksa berlebihan dalam penyidikan dan penuntutan, Arif menilai, ini adalah persepsi yang keliru. Menurut dia, sebagai lembaga hukum yang telah lama diberi wewenang menyidik kasus korupsi, kejaksaan justru menunjukkan taringnya. Ia membandingkan dengan dua lembaga yang juga menangani korupsi, yakni kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Arif, kejaksaan kini dinilai justru menunjukkan kinerja yang moncer. Hal itu bisa dilihat dari data jumlah perkara yang diselesaikan.
Baca: Gugatan Remisi Para Koruptor Ditolak
Kejaksaan Paling Banyak Menangani Kasus Korupsi
Dalam berkas permohonan uji materi, MAKI dan LP3HI menunjukkan bahwa kejaksaan sebagai lembaga hukum yang paling banyak menangani kasus korupsi. Pada 2022, ada 1.689 perkara korupsi di tingkat penyidikan yang ditangani kejaksaan. Sedangkan kepolisian 130 perkara, lalu disusul KPK 120 perkara.
Dari sisi kerugian keuangan negara yang muncul akibat kasus korupsi, kejaksaan menangani perkara dengan total kerugian keuangan negara mencapai Rp 23,4 triliun pada 2022. Sedangkan KPK Rp 2,2 triliun dan kepolisian 1,3 triliun. “Kalau kewenangan kejaksaan dicabut, jelas melemahkan pemberantasan korupsi,” dia menjelaskan.
Menurut Arif, semakin banyak lembaga yang berperan menangani korupsi, hal itu akan makin baik. Ia juga mengkritik bagaimana pemimpin lembaga KPK yang akhir-akhir ini terjerat pelanggaran etik. “Itu artinya kinerja KPK kini tidak sempurna. Gerak KPK beda dengan dulu,” ujarnya.
Aksi yang tergabung dalam Komunitas Aktivis Muda Indonesia mendesak dan menuntut Ketua KPK Firli Bahuri agar dicopot, di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 11 April 2023. TEMPO/Imam Sukamto
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan, adanya lebih dari satu lembaga yang menangani kasus korupsi justru mempercepat penanganan kasus korupsi itu sendiri. "Penegakan hukum berjalan bisa powerful. Prosesnya bisa cepat dan tepat waktu, baik dari sisi pengembalian uang kerugian negara atau penanganan perkara,” ujar Ketut.
Perihal sudah ada lembaga yang khusus menangani kasus korupsi seperti KPK, menurut Ketut, keberadaan lembaga lain, tidak terkecuali kejaksaan, tetap penting, mengingat masifnya tindak korupsi di Indonesia. Kejaksaan mengapresiasi koalisi masyarakat sipil yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sebagai pemohon intervensi untuk memperkuat posisi kejaksaan.
Ketut enggan berkomentar lebih lanjut perihal uji materi yang diajukan Yasin. Dia mengatakan, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada MK perihal proses uji materi yang sedang berjalan.
Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, mengatakan bahwa kewenangan penyidikan oleh kejaksaan masih sangat diperlukan. Dia menilai, jika hal itu dicabut, dikhawatirkan akan mereduksi upaya pemberantasan korupsi.
Menurut Diky, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih tinggi. Jika menengok pada data Transparency International, Indonesia merosot empat poin, dari 38 pada 2021 menjadi 34 pada 2022. Hasil ini membuat peringkat Indonesia turun dari posisi 96 menjadi 110. Di kawasan Asia Tenggara saja, Indonesia berada di bawah Singapura, Vietnam, dan Malaysia.
M. ROSSENO AJI | JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo