Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perang Digital Membela Palestina

Ribuan warganet rutin menghujat tentara Israel lewat media sosial. Dikenal dengan Julid Anti-Israel atau Julid Fisabilillah.

27 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ribuan warganet Indonesia secara rutin menghujat tentara Israel lewat media sosial.

  • Serangan digital tersebut terstruktur lewat gerakan yang disebut Julid Anti-Israel atau Julid Fisabilillah yang diprakarsai Erlangga Greschinov.

  • Ismail Fahmi dari Drone Emprit menyebutkan fenomena ini sebagai perang digital dan penyeimbang disinformasi yang disebarkan Israel.

Genosida yang dilakukan Israel terhadap warga sipil di Jalur Gaza, Palestina, membuat Eva Sri Diana Chaniago stres. "Berat badan saya sampai turun 5 kilogram karena menangis setiap kali melihat berita Palestina," kata Eva kepada Tempo, Jumat, 24 November 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sela wawancara, dia sempat menangis saat mengingat dokter Palestina yang terpaksa mengamputasi kaki anaknya sendiri setelah dihantam bom Israel dan bayi-bayi yang meninggal akibat inkubator tak berfungsi karena aliran listrik mati. Namun dokter spesialis paru yang rajin mengkritik kebijakan kesehatan pemerintah ini tak mau tenggelam dalam kesedihan. Eva menyalurkan kemarahannya lewat hujatan di media sosial, termasuk di depan 19.800 pengikutnya di X alias Twitter. Hujatan itu terstruktur, sistematis, dan masif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akun @EvaSriDiana_Dr masuk barisan Satuan Khusus Netizen Julid Anti-Israel—juga dikenal dengan Julid Fisabilillah. Ini adalah gerakan sukarela warganet Indonesia yang beramai-ramai menggeruduk akun media sosial tentara Israel atau IDF. "Ini gerakan kita yang antipenjajahan," kata dokter Eva.

Hastag Julid Fisabilillah di salah satu media sosial. TEMPO/Ijar Karim

Gerakan "julid"—berkomentar menyudutkan—massal ini diprakarsai Erlangga Greschinov, 30 tahun. Pendiri kursus bahasa asing ini sebelumnya dikenal sebagai "selebtwit" yang menyuarakan kehidupan anak muda yang kadang galau. Pada tahun lalu, misalnya, dia menyebar CV untuk mencari jodoh di Twitter.

Sejak Israel mulai melancarkan genosida di Jalur Gaza—setelah serangan Hamas pada 7 Oktober lalu—Erlangga rajin mencuit seputar Palestina dan zionisme. Dimulai dari kedatangan bangsa Yahudi dari Eropa setelah menjadi korban Nazi Jerman di Perang Dunia II sampai status Hamas yang dicap teroris oleh Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa.

Mulai pertengahan bulan ini, Erlangga kerap terlibat "twitwar" dengan akun anggota IDF. Sebagian pengikutnya membela dan menghujat tentara zionis tersebut. Semakin lama, jumlahnya semakin banyak. Pada 16 November, akun @Greshinov mulai mengajak netizen Indonesia menyerang akun-akun anggota IDF. Erlangga mengistilahkannya dengan "silaturahmi".

Tujuannya adalah menjatuhkan mental atau minimal memecah konsentrasi para tentara Israel. Tempo mencoba menghubungi Erlangga lewat X dan Instagram sejak pekan lalu, tapi belum dibalas. Dalam wawancara TvOne, Erlangga mengatakan kebanyakan tentara IDF merupakan anak muda yang, seperti di Indonesia, keranjingan media sosial. "Ketika buka TikTok, Instagram, melihat banyak hujatan, mereka akan menyadari bahwa mereka yang jadi biang kekacauan yang terjadi di Timur Tengah saat ini," ujarnya.

Cara kerja Julid Anti-Israel ini sederhana. Erlangga mencari dan membagikan nama-nama akun milik tentara Israel kepada pengikutnya, kini sekitar 243 ribu pengikut di X. Mereka dianggap ikut andil dalam pembantaian sekitar 15 ribu warga sipil, termasuk bayi dan anak-anak di Jalur Gaza. "Lalu kita ikut berkomentar di akun itu," kata dokter Eva.

Dia sampai membuat akun kedua di TikTok, khusus untuk menghujat para tentara zionis. Sebab, akun utamanya kebanyakan dia gunakan untuk sosialisasi kesehatan. "Secara umum, tentara IDF lebih aktif di TikTok dan Instagram ketimbang Twitter," kata Eva.

Airin, 29 tahun, juga ikut dalam barisan Julid Anti-Israel. Awalnya, dia penasaran mendapati @Greschinov membagikan daftar akun anggota IDF. "Ternyata untuk diserang lewat komentar supaya mereka kehilangan fokus di medan pertempuran," kata karyawan swasta di Purwakarta ini.

Dia mengaku tak pernah berinteraksi dengan orang asing di media sosial. Namun kerikuhan tersebut dia terabas demi melakukan hal yang nyata untuk Palestina. "Kita kan enggak bisa ikut perang di sana, ya. Jadi, membantu dengan cara ini, juga dengan donasi," kata Airin.

Komentar-komentar yang dia layangkan lewat akun bayangan tersebut seputar kecaman terhadap agresi Israel. Airin kadang merasa terintimidasi karena banyak juga pendukung Israel yang balik menghujat, termasuk mengatainya sebagai teroris. Namun dia jalan terus. "Saya ingin berkontribusi."

Hasilnya tak main-main. Seorang anggota IDF yang jadi sasaran julid warganet Indonesia—belakangan menyebar ke Malaysia—mengeluh kebanjiran hingga 40 ribu pesan di WhatsApp dan 20 ribu pesan di Instagram.

Instagram Erlangga Greschinov. TEMPO/Ijar Karim

Agar serangan lebih terarah, Erlangga menyebar pesan lewat X agar komentar tidak membawa narasi anti-Semit, termasuk soal holocaust, Nazi Jerman, dan sebagainya. Dia juga menekankan bahwa lawan mereka adalah zionisme dan kekejaman Israel, bukan bangsa Yahudi.

Pendiri Drone Emprit—sistem pemantau percakapan di media sosial—Ismail Fahmi, mengatakan Julid Fisabilillah meluas dengan cepat karena isu Palestina menyentuh banyak orang. Penggunaan kata "julid" pun dia nilai relevan karena "khas" Indonesia.

Fahmi mengatakan gerakan ini juga muncul sebagai reaksi publik yang melihat diplomasi negara, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa tak berdaya menghentikan pembunuhan massal yang dilakukan Israel. “Gerakan ini sangat berdampak secara digital sebagai perang informasi. Karena banyak hoaks digulirkan,” ujarnya.

Menurut dia, Julid Anti-Israel bisa menjadi upaya penyeimbang atas propaganda Israel yang secara terstruktur kerap menyebarkan informasi salah perihal Palestina. Misalnya soal terowongan Hamas di bawah rumah sakit di Gaza.

Fahmi tak mempersoalkan tudingan yang menyebut gerakan ini sebagai persekusi massal. Sebab, para pendukung Israel juga melakukan hal yang sama kepada orang-orang yang pro-Palestina. Dia menyebut fenomena ini sebagai perang digital yang bisa melibatkan siapa saja. Lantas, bagaimana efektivitasnya? "Efektif. Terbukti banyak dari mereka, anggota IDF, yang tutup akun," kata Fahmi.

Pengamat siber Doni Ismanto Darwin mengatakan Julid Anti-Israel menunjukkan masifnya pengguna media sosial Indonesia. "Mayoritas dari mereka memiliki kepedulian kepada nasib Palestina," ujar pendiri IndoTelko Forum ini. Meski menilai gerakan ini positif, Doni mengatakan, para pegiat perlu mewaspadai ancaman hoaks dan disinformasi yang sangat mungkin menyusup dalam aksi mereka.

JIHAN RISTIYANTI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus