Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kepolisian dituding kerap mengabaikan pengaduan peretasan dan kejahatan siber yang dialami aktivis.
Pola peretasan terjadi berulang dan sistematis.
Pemerintah mengklaim tak pernah terlibat dalam aksi peretasan akun aktivis.
JAKARTA — Pengusutan kasus peretasan akun aktivis prodemokrasi di kepolisian tak membuahkan hasil. Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan polisi sekali pun belum pernah menindaklanjuti serangan siber yang menimpa aktivis, jurnalis, lembaga media, maupun para mahasiswa. "Kalau disimpulkan, bisa memunculkan syak wasangka bahwa polisi tidak menindaklanjuti kejahatan peretasan karena korban sedang mengkritik pemerintah," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal kepolisian memiliki fungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pelayanan publik, dan menindak kejahatan. Peretasan merupakan satu di antara kejahatan siber yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian, Fickar melanjutkan, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia wajib menindaklanjuti setiap laporan kejahatan peretasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus kejahatan siber merebak ketika berbagai elemen masyarakat sipil mengkritik revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019. Sejak itu, aktivis, jurnalis, akademikus, pegiat antikorupsi, dan mahasiswa berulang kali mendapat serangan digital oleh pelaku yang tidak kunjung terungkap. Serangan dengan pola yang sama terjadi saat demonstrasi besar-besaran menolak pembentukan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti. TEMPO/Imam Sukamto
Kasus teranyar menimpa ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, yang kerap mengkritik gagasan Jokowi 3 periode. Serangan digital juga dialami 12 orang dari Aliansi Mahasiswa Indonesia, termasuk para pelajar yang tergabung dalam Blok Politik Pelajar. Peretasan berlangsung sejak 17 April lalu, ketika mereka giat menggelar demonstrasi mengkritik gagasan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo.
Menurut Fickar, peretasan terus terjadi berulang karena kepolisian tak tuntas menindaklanjuti aduan korban. Satu di antaranya kasus peretasan akun WhatsApp milik peneliti kebijakan publik, Ravio Patra, pada 2020. Ketika itu, Kepolisian Daerah Metro Jaya sempat memeriksa sejumlah saksi dan menjadikan perangkat elektronik milik peneliti kebijakan publik itu sebagai barang bukti. Namun, tepat dua tahun berlalu, kasusnya terus mandek dan pelakunya masih berkeliaran.
Fickar mengatakan kepolisian semestinya dapat memburu pelaku peretasan tanpa perlu menunggu aduan korban. Sebab, kejahatan siber merupakan tindak pidana umum. Jika polisi tidak bergerak, baru korban perlu melaporkan ke polisi. "Bila tidak ditindaklanjuti, polisi bisa diadukan terkait dengan pelanggaran disiplin atau kasusnya dipraperadilankan untuk menggugat kenapa penyidikannya mandek," kata dia.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto, menyatakan belum ada kasus kejahatan digital yang menimpa aktivis yang terungkap. "Laporan-laporan diadukan ke penegak hukum, tapi enggak ada yang diproses sampai sekarang," kata Damar.
Padahal sudah banyak kasus kejahatan siber yang diadukan ke polisi. Selain kasus peretasan Ravio Patra, ada hacking terhadap akun Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung, serta serangan terhadap situs web Tempo dan Tirto. Menurut Damar, polisi sebatas mengundang masyarakat untuk melapor atas kejahatan siber, tapi ketika dilaporkan, kasusnya mandek. "Bahkan aduan-aduan di daerah kabarnya ada yang ditolak polisi karena dinilai mengada-ada," ujar Damar.
SAFEnet sebelumnya menganalisis data peretasan dari berbagai korban, termasuk para mahasiswa. Menurut Damar, biasanya penyerang menyasar kelompok yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Mereka kemudian mengetahui konsolidasi gerakan mahasiswa di ruang pembicaraan terbuka tanpa proteksi atau enkripsi. Dari situ, pelaku peretasan mencari target nomor-nomor ponsel dari simpul-simpul mahasiswa yang kritis. Setelah itu, dilakukan serangan peretasan dengan mengambil alih akun WhatsApp dan Instagram para aktivis.
Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, menyarankan para korban peretasan agar melapor ke polisi. Dia mengatakan polisi akan bertindak ketika ada aduan. "Saya setuju ini terkait dengan hak asasi manusia yang dilanggar, cuma harus dilaporkan dulu biar penyidiknya paham bagaimana teknisnya," kata dia kepada Tempo.
Dedi menjamin setiap laporan bakal ditindaklanjuti oleh kepolisian. Apalagi Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri memiliki laboratorium teknologi informasi yang bisa mempelajari dan melacak kasus kejahatan siber.
Dedi membantah tudingan kasus peretasan yang dialami aktivis selalu mandek di tangan polisi. Dia mengklaim memiliki data pengungkapan kasus-kasus peretasan sepanjang 2020 dan 2021. Namun data tersebut dipegang Badan Reserse Kriminal.
Ahli hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menyatakan kepolisian seharusnya langsung memburu pelaku kejahatan digital tanpa perlu menunggu aduan. Apalagi kasus peretasan yang dia alami bukan menyangkut persoalan pribadi. "Ini pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis dan terstruktur," ujarnya.
Menurut Bivitri, kepolisian tidak bisa bersikap pasif menghadapi gelombang serangan siber, terutama peretasan akun aktivis. Sebab, kejahatan siber yang terus berulang sejak 2019 ini merupakan pelanggaran hak konstitusi warga negara yang mengancam demokrasi.
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo