Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Laga Jakarta demi Hutan Adat Awyu

Masyarakat adat suku Awyu kembali memperjuangkan hutan adat mereka yang terancam konsesi sawit. Menuntut transparansi KLHK.

10 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masyarakat adat suku Awyu mengajukan permohonan sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta.

  • Suku Awyu khawatir hutan adat mereka kembali terancam.

  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan didesak melibatkan suku Awyu dalam penertiban izin hutan.

HENDRIKUS Woro kembali muncul mengenakan Toto, pakaian adat suku Awyu, di pelataran pengadilan. Kemarin siang, Selasa, 9 Mei 2023, pemimpin marga Woro--bagian dari suku yang menempati wilayah Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan--itu menari bersama tiga anggota masyarat adat Awyu di pelataran Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta di kawasan Cakung, Jakarta Timur. Belasan mahasiswa asal Papua mengikuti di belakang mereka sambil membentangkan poster bertulisan "Papua Bukan Tanah Kosong".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Itu tari puji-pujian. Harapan kami, pemerintah sebagai orang tua bisa melindungi tanah adat kami," kata Hendrikus.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tujuan lawatan Hendrikus dan rombongannya ke Jakarta serupa dengan saat mereka mendatangi PTUN Jayapura, medio Maret lalu. Mereka memperjuangkan tanah adat mereka yang diduduki konsesi perkebunan sawit.

Bedanya, kali ini mereka datang untuk melayangkan permohonan sebagai tergugat intervensi dalam perkara gugatan tata usaha negara yang diajukan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama. Dua perusahaan perkebunan sawit itu pada pertengahan Maret lalu menggugat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mencabut konsesi perseroan lewat penertiban dan penataan pemegang pelepasan kawasan hutan di Boven Digoel. 

Hendrikus bertekad ke Jakarta karena khawatir gugatan TUN yang dilayangkan kedua perseroan tersebut, apalagi jika dikabulkan oleh pengadilan, bakal membuat hutan adat suku Awyu kembali terancam. Pasalnya, konsesi kedua perseroan di Boven Digoel selama ini telah memakan hutan adat mereka. Setidaknya 8.828 hektare hutan adat telah dibabat di konsesi tersebut. Masyarakat adat suku Awyu kini berupaya mempertahankan tanah adat berupa hutan hujan asli seluas 65.415 hektare di konsesi yang sama. "Hutan itu adalah identitas sosial-budaya kami," kata Hendrikus.

Empat perwakilan suku adat Awyu mengenakan baju adat Boven Digoel, Toto, mengiringi pendaftaran pengajuan permohonan intervensi di PTUN Jakarta Timur, 9 Mei 2023. TEMPO/Hendrik Yaputra

Sebelumnya, pada 13 Maret lalu, masyarakat adat suku Awyu juga mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura atas izin lingkungan yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua pada PT Indo Asiana Lestari. Konsesi perusahaan seluas 39.190 hektare juga menduduki tanah adat suku Awyu di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi. 

Barbra Mukri, warga suku Awyu yang turut datang bersama Hendrikus, mengatakan masyarakat adat suku Awyu telah lama hidup dengan berburu dan meramu. Hutan yang terjaga membuat hewan buruan seakan-akan tak pernah habis. Hutan itu pula yang menjadi sumber obat-obatan suku Awyu. "Bagaimana bila hutan itu hancur?" kata Barbra. "Hutan itu adalah rekening abadi kami, masyarakat adat." 

Tempo berupaya meminta penjelasan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama dengan mengirim sejumlah pertanyaan ke alamat e-mail Pacific Inter-Link Sdn. Bhd. (PIL Group), induk kedua perseroan yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia. Namun, hingga berita ini diturunkan, PIL Group belum memberikan jawaban. 

Berharap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Transparan

Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menjelaskan izin sejumlah anak perusahaan PIL Group di wilayah adat suku Awyu sejak awal bermasalah. Belakangan, beberapa izin perusahaan tersebut dicabut oleh Pemerintah Provinsi Papua. 

Merujuk ke Sistem Informasi Penelusuran Perkara PTUN Jakarta, PT Megakarya Jaya Raya mempersoalkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1150/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT Megakarya Jaya Raya di Kabupaten Boven Digoel. Sedangkan PT Kartika Cipta Pratama menggugat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1157/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan atas Nama PT Kartika Cipta Pratama di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. 

Aksi dukungan terhadap empat perwakilan suku adat Awyu saat pendaftaran pengajuan permohonan intervensi di PTUN Jakarta Timur, 9 Mei 2023. TEMPO/Andi Adam F

Menurut Sekar, gugatan TUN yang dilayangkan kedua perseroan pada pertengahan Maret lalu itu telah membuka informasi bahwa KLHK telah menindaklanjuti Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Kawasan Hutan, yang terbit lebih awal. Dalam lapiran SK tersebut, nama izin atas nama PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama termasuk yang dicabut, masing-masing atas konsesi seluas 39.505 ribu hektare dan 39.338 ribu hektare.

"Masalahnya, tidak diketahui apakah tindak lanjut pencabutan izin ini telah memperhatikan hak dan kepentingan orang asli Papua sebagai masyarakat adat yang memiliki tanah dan hutan adat tersebut," kata Sekar, yang menjadi anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua. Koalisi ini beranggotakan sejumlah kelompok masyarakat sipil yang turut mendampingi perjuangan suku Awyu.

Tigor Gemdita Hutapea, advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua, berharap permohonan sebagai tergugat intervensi yang dilayangkan masyarakat adat suku Awyu dapat membuka informasi ihwal tindak lanjut pencabutan izin kedua perusahaan. Dengan keterlibatan masyarakat adat, pemerintah melalui KLHK seharusnya dapat bersikap terbuka. “KLHK mesti membuka akses informasi hingga melibatkan masyarakat adat dalam menentukan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, sesuai dengan pengetahuan lokal mereka," kata Tigor. "Masyarakat ingin sekali terlibat dalam gugatan itu karena mereka yang akan menjadi korban."

Selain itu, dengan adanya tergugat intervensi, dia berharap hakim bisa lebih obyektif memutus perkara TUN ini. "Karena jelas ada warga yang mendiami hutan di Papua," ujarnya.

Dihubungi Tempo, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong enggan menjelaskan soal isi keputusan Menteri LHK yang menertibkan dan menata pemegang pelepasan kawasan hutan atas nama PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama. Dia meminta agar pertanyaan tentang dua konsesi yang menduduki tanah adat suku Awyu itu dialamatkan kepada Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono. Setali tiga uang, Bambang belum menjawab pesan dan telepon Tempo.

HENDRIK YAPUTRA 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus