Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Pieter Cornelis Feith: ”Malik Mahmud Mesti Tinggal di Aceh”

11 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jumat pekan ini, tugasnya selesai, tapi perhatian Pieter Cornelis Feith, kepala misi tim pemantau kesepakatan damai Aceh atau Aceh Monitoring Mission, masih terus terpaku pada daerah itu. Ada yang mengusik perhatiannya: dinamika internal dalam tubuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Adanya dua kubu kandidat calon Gubernur, kelompok Humam-Hasbi dan Irwandi-Nazar yang berujung pada serangkaian konflik internal di GAM. Dikhawatirkan, efeknya bisa merembes hingga rakyat jelata.

Masa perlucutan senjata selesai pada Desember tahun lalu. Sejak itu, misi Pieter dan timnya adalah mengawasi hal lain dalam perjanjian seperti proses reintegrasi. Berbagai laporan mesti dirampungkan. Kardus berisi dokumen dikemas. Ruang-ruang kampus di Universitas Syiah Kuala, yang digunakan sebagai markas pusat lembaga ini selama 1,5 tahun ini, mulai dikosongkan.

Meski tetap optimistis perdamaian tak akan terganggu, diplomat senior Uni Eropa ini punya pesan penting bagi Perdana Menteri GAM Malik Mahmud. ”Mestinya ia lebih banyak menghabiskan waktu di Aceh,” kata Pieter kepada wartawan Tempo, Kurie Suditomo, Farida Sendjaja, dan Maimun Saleh di kantornya, 1 Desember lalu.

Bagaimana Anda melihat implementasi AMM setelah masa perlucutan senjata selesai?

Sebagai kepala misi saya berkepentingan agar proses perdamaian berjalan terus. Sekarang sudah positif. Kedua pihak, pemerintah RI dan GAM, mulai berkomunikasi langsung tanpa melalui kami.

Indonesia dan GAM sudah saling kontak? Dalam bentuk apa?

Pertemuan langsung di Jakarta dan di Aceh. Indonesia punya menteri yang khusus menangani Aceh seperti Sofyan Djalil dan Hamid Awaludin. Hanya sekarang ada masalah kecil di dalam GAM sendiri karena ada dua kubu yang berbeda di dalam tubuh mereka. Sulit untuk mengetahui siapa berbicara mewakili kepentingan apa.

Adakah Anda komunikasikan ihwal perbedaan pendapat dalam tubuh GAM dalam pilkada ini kepada KPA (Komite Peralihan Aceh, wadah sayap militer GAM kini) dan mengingatkan bahayanya pada perdamaian?

Tugas kami di AMM terbatas. Bila ada perpecahan di GAM, tentu saya akan memperhatikan isu ini terus dan apa implikasinya. Tapi kami netral dan harus terus berusaha begitu. Yang terjadi adalah masalah internal GAM. Ini tantangan kepada Malik Mahmud dan menjadi ujian kepemimpinannya.

Apa yang harus dilakukannya?

Memang, ini adalah masa yang sulit dan saya terus merekomendasikannya untuk pulang ke Indonesia. Sangat sulit menjadi pemimpin kalau ia tidak berada di sini. Kalau ia bersedia menetap di Aceh, mungkin banyak hal yang bisa dihindari.

Tapi tidak ada yang bisa memaksanya mengganti kewarganegaraan, bukan?

Iya, tapi kan tak mungkin mengendalikan suatu negeri dari jarak 2.000 mil lebih (Malik tinggal di Swedia). Tapi, bagaimanapun, saya serahkan padanya. Dia seorang yang sangat berwibawa. Bagi kami, ia tetap sebagai orang yang menandatangani perjanjian damai itu. Akan sangat baik kalau dia ada di sini dan mau menghabiskan lebih banyak waktu untuk Aceh.

Apa pesan Anda pada GAM?

Saya terus mengatakan kepada Malik bahwa GAM harus mengubah diri masuk ke dalam sistem politik. Ini demokrasi dan di dalam demokrasi ada sistem politik. Perjuangan bersenjata tak diperkenankan. Anda bisa membentuk partai politik sendiri; punya kelompok-kelompok sendiri yang berafiliasi di bawahnya; menggunakan simbol sendiri.

Tapi bukankah itu belum terjadi hingga sekarang?

Ya, memang belum. Saya bilang pada Malik bahwa dia masih punya waktu dua minggu lagi—hingga habis masa tugas AMM. Dia selalu mengiyakan GAM akan berubah menjadi partai politik lokal, tapi kapannya itu terserah dia. Sekarang yang ingin kita ketahui adalah soal waktu itu.

(Sehari kemudian, dalam pertemuan pengaturan komisi keamanan (COSA), Pieter Feith mengumumkan keyakinannya GAM akan menjadi partai lokal enam bulan setelah aturan pemerintah tentang hal itu diundangkan. Dalam kesempatan yang sama, Malik menolak menyebut tenggat).

Bagaimana kalau dia bilang, GAM toh sudah berubah nama menjadi KPA?

Itu tidak cukup karena KPA hanya versi sipil dari sayap militer GAM dan tidak meliputi para pemimpin yang ada di Swedia yang menandatangani perjanjian damai. Ini juga termasuk simbol-simbol yang mereka gunakan sebagai Gerakan Aceh Merdeka. Misalnya, bagaimana dengan situs web mereka? Situs mereka masih terus mencanangkan tujuan akhirnya, yakni kemerdekaan bangsa Aceh. Ini tidak koheren dengan perjanjian damai.

Anda baru bertemu dengan KPA. Anda berbicara tentang dana reintegrasi?

Ya. Saya menyaksikan penyerahan 3.000 cek dari pemerintah Indonesia kepada para panglimanya. Setiap orang Rp 25 juta, totalnya Rp 750 miliar. Ini luar biasa karena jarang terjadi di daerah konflik lain. Penyerahannya sempat terhambat karena KPA terlambat me-nyetor nama dan alamat mereka. Tapi bisa dipahami, mereka masih takut menyerahkan nama-nama itu.

Tapi apa benar prajurit GAM hanya 3.000 seperti tertera dalam perjanjian Helsinki? Seorang bekas komandan di Pidie mengatakan ada 14 ribu gerilyawan yang turun gunung di wilayahnya?

Saya menyangsikan jumlah yang disebut itu. Senjata yang diserahkan saja hanya 800-an. Kalau benar sejumlah itu, tak mungkin senjatanya hanya segitu? Mungkin ada orang lain yang mendukung para prajurit aktif itu yang kini menjadi tanggungan KPA. Tapi saya hanya melakukan apa yang tersurat dalam perjanjian Helsinki, 3.000 orang.

Apakah AMM punya program pengawasan agar uang itu sampai ke tangan 3.000 orang itu?

Sayang, kita tidak punya mekanisme apa pun untuk mengecek itu. Kami yakin para panglima akan menyerahkannya dengan niat baik ke para prajuritnya, tapi memang kami tidak bisa mengontrol.

Bagaimana rakyat Aceh sejak berakhirnya AMM di sana?

Sudah jelas mayoritas penduduk Aceh menerima untuk berada dalam wilayah Republik Indonesia. Mereka menerima otonomi spesial. Dari jajak pendapat, sekarang mereka lebih banyak bicara masalah ekonomi dan pekerjaan. Tak usah khawatir, setiap konflik pada akhirnya akan berakhir. Demikian juga Aceh.

Mekanisme apa yang kurang-lebih bisa menggantikan tugas AMM?

Ada dua mekanisme yang ada: satu Forum Bersama di bawah Gubernur yang terus mengawasi reintegrasi. Andai terjadi kemunduran serius, bisa juga dibentuk satu wadah. Isinya 9-11 orang yang bersedia memberikan konsultasi.

Semacam tim penasihat?

Ini bahkan bukan tim. Saya punya pekerjaan lain setelah dari sini. Demikian juga Mr. Martti Ahtisaari (promotor perjanjian damai). Tapi saya bersedia dilibatkan seandainya ada kemunduran.

Bagaimana Anda melihat kekerasan yang terjadi belakangan ini?

Saya tidak terkejut sama sekali. Memang ada peristiwa pemukulan kandidat Humam Hamid di Bireuen, tapi menurut saya tak perlu dianggap besar karena tak berpengaruh signifikan terhadap perjanjian damai.

Jadi, kalau diukur dalam skala, situasi ini masih belum apa-apa?

Ibarat skala Richter, ini masih di bawah 1.

Apakah Anda melihat kemungkinan timbulnya kekerasan di GAM sendiri?

Ini semua tergantung dari kepemim-pinan Malik Mahmud. Memang tidak istimewa bagi suatu gerakan separatis untuk kesulitan mengubah dirinya menjadi sistem politik yang legal dan kembali mengangkat senjata, tapi kekuatan demokrasi akan berjalan dengan sendirinya. Mereka akan kesulitan menuai dukungan. Rakyat lebih menginginkan perdamaian. Saya percaya pada kedewasaan rakyat Aceh untuk memulai hidup baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus