Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA -- Perang kabar bohong diprediksi kembali meramaikan pesta demokrasi. Produksi hoaks diperkirakan lebih masif mengingat Pemilihan Umum 2024 digelar serentak untuk memilih anggota legislatif dan pasangan calon presiden-wakil presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Pusat Media dan Demokrasi pada Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto mengatakan suasana pemilihan presiden 2024 tak akan jauh berbeda dengan pilpres 2019. Setiap pasangan calon membentuk tim siber untuk menggiring opini publik di ruang-ruang digital.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, belajar dari pengalaman sebelumnya, pasukan siber tersebut diduga turut serta dalam memproduksi dan menyebarkan informasi palsu. Tujuannya tak hanya untuk menyerang lawan, tapi juga memoles citra kandidat yang mereka usung. Keadaan ini merusak demokrasi lantaran meminggirkan isu-isu substantif yang penting untuk publik.
“Sebab, pasukan siber akan menghasilkan pacuan kuda atau keriuhan yang dangkal," kata Wijayanto kepada Tempo, kemarin. "Mereka saling serang, tapi menyerang personal, bukan gagasan atau program."
Pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. saat penetapan nomor urut capres dan cawapres di kantor KPU, Jakarta, 14 November 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis
LP3ES, KTILV Leiden, dan Universitas Amsterdam tengah meneliti penggunaan pasukan siber dalam Pemilu 2024. Dalam penelitian ini, tim juga mewawancarai anggota pasukan siber ketiga pasangan calon. Temuan sementara riset ini menunjukkan, tim siber tersebut diduga telah menyiapkan berbagai konten untuk pemenangan calon mereka. “Mereka juga mulai bekerja memproduksi hoaks," kata Wijayanto.
Wijayanto belum bisa membeberkan secara detail temuan dalam kolaborasi riset tersebut. Dia hanya mengatakan pasukan siber dalam kontestasi Pemilu 2024 berisi kumpulan orang profesional, terutama di bidang teknologi informasi. Sebagian di antara mereka juga terlibat dalam kampanye digital pada Pemilu 2019.
Karena itu, Wijayanto waswas gejala pada pesta demokrasi lima tahun lalu berulang. Kala itu, kata dia, pasukan siber memproduksi hoaks, terutama berisi ujaran kebencian yang mengarah pada narasi agama dan politik identitas.
Berdasarkan hasil penelitian LP3ES pada pilpres 2019, Wijayanto menjelaskan, pasukan siber pada tim pemenangan kontestan memiliki struktur yang terdiri atas koordinator, pembuat konten, pendengung (buzzer), dan figur pengguna media sosial dengan jumlah pengikut amat banyak (influencer). Mereka berkerja secara berjejaring dengan tugas yang berbeda-beda.
Sejumlah pendukung memotret calon presiden Ganjar Pranowo setelah memberikan pidato di acara rakornas relawan se-Jawa di Jakarta, 27 November 2023. TEMPO/Febri Angga Palguna
Seorang koordinator bekerja memimpin jaringan tersebut. Koordinator ini pulalah yang berhubungan dengan tim sukses pasangan calon, termasuk dalam urusan bayaran yang akan dibagikan ke pembuat konten, pendengung, ataupun pemengaruh. Buzzer dan influencer punya karakteristik berbeda. Para pendengung biasanya menggunakan akun palsu atau samaran untuk menyebarkan disinformasi. Sedangkan influencer, dengan akun asli yang diikuti banyak pengguna media sosial, menyebarkan narasi yang lebih bersifat lunak. "Influencer-influencer ini bayarannya terkadang berbeda. Tak melulu berbentuk uang, tapi juga jabatan," kata Wijayanto.
Masih dari riset 2019, menurut Wijayanto, kabar bohong yang disebarkan selama pemilu terdiri atas dua tipe, yaitu hoaks yang seutuhnya dan hoaks yang tak tampak. Hoaks kategori pertama dilakukan secara frontal, sengaja menyebarkan fitnah, seperti menyebarkan konten tentang preferensi seksual hingga paham ideologi. Sedangkan hoaks yang tak tampak hanya menggunakan sedikit kebenaran, tapi bertujuan mengajak masyarakat berpikir tentang hal yang sama. "Hoaks tak tampak saat itu seperti tagar 2019 ganti presiden," kata Wijayanto.
Apa pun bentuknya, Wijayanto menilai disinformasi berbahaya lantaran masyarakat tidak diajak untuk menilai gagasan para kontestan sehingga berpotensi salah dalam memilih calon pemimpin di masa mendatang. Kondisi ini mengkhawatirkan karena pemilu semestinya upaya untuk mencapai demokrasi, yakni memastikan hak asasi warga negara, seperti hak sipil, hak politik, serta hak ekonomi, terpenuhi. "Kampanye pemilu seharusnya menjadi ajang kandidat untuk beradu gagasan dan program mengatasi masalah-masalah tersebut," ujarnya.
Sejumlah relawan mengacungkan dua jari saat konsolidasi TKD Prabowo-Gibran Provinsi Jawa Barat di The House Convention Hall, Bandung, Jawa Barat, 25 November 2023. ANTARA/M. Agung Rajasa
Hoaks Bukan Satu-satunya Ancaman
Presidium Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Anita Wahid juga mencermati potensi berlanjutnya produksi dan distribusi hoaks dalam pemilu mendatang. Namun, merujuk pada risetnya, Anita menilai hoaks tak lagi punya daya mengubah pilihan masyarakat seperti yang terjadi dalam pemilihan presiden 2014.
Menurut Anita, saat pertama kali muncul secara masif pada pilpres 2014, hoaks efektif menurunkan elektabilitas kandidat yang menjadi sasaran tembak. Ketika itu, dia mencontohkan, Joko Widodo kerap jadi korban serangan hoaks. Hasilnya, elektabilitas Jokowi yang semula tinggi pada masa pencalonan terbukti merosot tajam saat pencoblosan.
Kondisinya berbeda pada pilpres 2019. Anita menilai penyebaran hoaks saat itu tak lagi menjadi senjata yang efektif untuk menambah atau mengurangi elektabilitas. Pasalnya, masyarakat kadung terpolarisasi akibat perang hoaks yang amat masif dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur DKI Jakarta, dua tahun sebelum pemilu. "Hoaks saat itu tidak lagi berdaya, tidak mampu mengubah seseorang untuk berpaling dari pilihan kandidat A ke kandidat B," kata Anita.
Baca juga:
Karena itu, Anita menangkap gejala perubahan pola kampanye digital pada Pemilu 2024. Fenomena tarian "gemoy" Prabowo Subianto yang belakangan ini viral mengingatkan Anita pada pola propaganda media sosial Bongbong Marcos Jr. dalam pemilihan presiden Filipina tahun lalu. Bongbong menang karena merebut suara pemilih muda yang terpikat gaya pop culture putra bekas diktator korup Filipina, Ferdinand Marcos, tersebut.
"Anak-anak muda yang menjadi ceruk suara Bongbong tidak mengetahui bagaimana latar belakang Bongbong dan ayahnya saat memerintah Filipina," kata Anita.
Menurut Anita, propaganda serupa tak sulit dilakoni Prabowo yang berpasangan dengan anak muda yang juga putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. "Anak muda saat ini atau generasi milenial kan tidak mengetahui bagaimana latar belakang Prabowo," katanya. "Ditambah lagi jajarannya juga terus menggaungkan kata gemoy."
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengingatkan dampak hoaks sangat berbahaya karena bisa menyesatkan pemilih. Hoaks juga berpotensi memicu konflik di ruang publik sehingga harus dicegah dan dilawan. “Beberapa negara justru terjerambap dalam kemunduran demokrasi karena maraknya hoaks. Karena itu, hoaks harus dilawan,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Simpatisan capres nomor urut 1 Anies Baswedan berswafoto dengan mock-up Anies-Imin saat kampanye di GOR Ciracas di Jakarta Timur, 28 November 2023. ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Perlu Wasit yang Jujur
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta sependapat dengan Fadli. Ancaman hoaks sangat nyata di tengah banyaknya jumlah pengguna media digital di Indonesia. Semua kalangan, terutama pemilih muda, berpotensi terpapar informasi yang menyesatkan selama pemilu kali ini "Sehingga preferensi pemilih bisa berubah,” kata Kaka kepada Tempo, kemarin.
Masalahnya, dia menilai, pemerintah yang bertugas mengawasi dan menindak hoaks juga berpotensi menjadi pelaku. Pemerintah memiliki sumber daya yang amat kuat untuk melakukan kecurangan pemilu. “Bahkan sudah ditengarai melakukan kecurangan baik dari sisi regulator, konstitusi, maupun kecurangan operasional,” kata Kaka.
Dia berharap pemerintah menjadi regulator yang adil sehingga penegakan hukum dilakukan secara jujur. Kecurangan, Kaka mengingatkan, bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap pemilu sehingga hasilnya kelak tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat. “Kalau itu terjadi, hoaks menjadi bagian untuk merusak demokrasi,” kata Kaka.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menegaskan pemerintah berkomitmen memberantas hoaks, ujaran kebencian, dan penyerangan karakter selama masa kampanye pilpres 2024. Salah satu cara mengatasi hoaks adalah melakukan stempel hoaks di suatu konten.
“Tak perlu takedown biar masyarakat yang menilai. Ini kan ruang demokrasi,” kata Budi Arie dalam konferensi pers di gedung Kominfo, kemarin.
Menurut dia, Kementerian Kominfo juga bekerja sama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Kepolisian RI mengawasi ruang digital. Ketiga lembaga tersebut telah membentuk satuan tugas untuk mencegah, mengawasi, dan menindak penyebaran konten yang bertentangan dengan aturan pemilu.
Anggota Bawaslu Lolly Suhenti mengatakan hal serupa. Dia menegaskan lembaganya akan menjalankan tugas sebagai pengawas pemilu secara bertanggung jawab. “Kami berkomitmen mengatasinya,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.
HENDRIK YAPUTRA | ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo