Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua polisi mendatangi kegiatan diskusi tentang Wadas di Semarang.
Pemilik kafe tempat diskusi mendapat ancaman dari polisi.
Kepolisian membantah jika disebut berusaha membubarkan diskusi tentang Wadas di Semarang.
JAKARTA – Kepolisian diduga terus mengintimidasi kelompok penentang tambang batu andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Intimidasi terbaru adalah personel dari Kepolisian Resor Kota Semarang dan Kepolisian Daerah Jawa Tengah membubarkan diskusi publik yang diselenggarakan kelompok masyarakat sipil bersama warga Wadas di Semarang, kemarin, 18 Februari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembubaran diskusi berlangsung ketika panitia dari organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta mengundang tujuh orang yang terkena dampak pelbagai proyek pembangunan pemerintah dengan paradigma penggusuran. Mereka adalah warga dari Wadas, Purworejo; Kedungombo, Kabupaten Grobogan; Sukoronto, Kabupaten Kendal; Kabupaten Sukoharjo; Kabupaten Batang; Dieng, Kabupaten Wonosobo; dan Tambakrejo, Semarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diskusi tersebut merupakan bagian dari pameran seni rupa bertajuk "Kepada Tanah: Hidup dan Masa Depan Wadas". Walhi mengagendakan diskusi ini digelar pada pukul 15.00 WIB, Jumat, 18 Februari 2022. Tapi pada pagi hari, dua orang berpakaian sipil mendatangi lokasi diskusi. Keduanya mengaku dari Polres Kota Semarang. Keduanya melarang penyelenggaraan diskusi tersebut.
Panitia kegiatan Walhi Yogyakarta, Viky Arthiando, bercerita bahwa kedua polisi itu meminta pemilik kafe tempat diskusi membatalkan kegiatan tersebut. Alasan kepolisian adalah diskusi itu dapat memicu kegaduhan. Viky lantas memindahkan diskusi ke lokasi lain karena alasan keamanan. "Diskusi tetap lanjut untuk lingkup internal jaringan," kata dia, kemarin.
Viky mengatakan kedua polisi itu sempat mengancam bakal menyegel kafe tempat diskusi jika si pemilik tetap melanjutkan acara tersebut. Padahal diskusi itu hanya membahas situasi Wadas saat ini dan menggelar pemutaran film dokumenter tentang desa tersebut. Panitia juga mengundang mahasiswa, pencinta kopi, dan jaringan aktivis sebagai peserta yang berasal dari sejumlah kota lain.
Aliansi Mahasiswa Semarang Raya mengikuti aksi Kamisan Solidaritas Untuk Warga Wadas di depan Mapolda Jateng, Semarang, Jawa Tengah, 10 Febaruari 2022. ANTARA/Aji Styawan
Diskusi ini merupakan bagian dari solidaritas publik untuk memberi dukungan kepada warga Wadas. Walhi sesungguhnya menyelenggarakan kegiatan serupa pada 8-26 Februari di berbagai kota, seperti di Bali, Malang, Semarang, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Ada 22 seniman yang menciptakan 23 karya yang terlibat dalam diskusi itu. Salah satu di antaranya seniman asal Yogyakarta, Farid Stevy. Seniman itu menggambari bungkus kopi yang dijual untuk penggalangan dana guna membantu warga Wadas.
Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Julian Duwi Prasetya, menguatkan adanya intimidasi terhadap penyelenggaraan diskusi di Semarang tersebut. "Tiba-tiba ada intimidasi yang dilakukan kepolisian berupa pembubaran diskusi dengan alasan tidak ada izin," kata Julian.
Menurut dia, polisi tidak memiliki bukti yang kuat untuk membubarkan diskusi tersebut. Jika alasannya untuk mencegah penularan Covid-19, kata Julian, panitia sudah menyiapkan protokol kesehatan. Selain itu, Semarang masih menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 2, yang berarti kegiatan diskusi dengan protokol kesehatan tetap dibolehkan.
Julian menduga pelarangan diskusi itu merupakan bagian dari praktik intimidasi dan penghalang-halangan terhadap kebebasan berkumpul serta berpendapat masyarakat.
Serangan terhadap berbagai diskusi yang bertemakan konflik Wadas sudah muncul sebelum di Semarang. Di Kota Batu, Jawa Timur, pameran dan diskusi yang semestinya berlangsung pada 15-16 Februari lalu justru dilarang oleh Komando Rayon Militer (Koramil) setempat. Selain itu, berbagai gerakan publik di media sosial diserang oleh akun-akun robot yang diduga digerakkan oleh kelompok pendengung.
Akun Twitter @wadas_melawan dan tujuh warga Wadas juga sempat ditangguhkan atau di-suspend. Akun @wadas_melawan merupakan media sosial tempat kelompok penentang tambang batu andesit di Wadas menyebarkan berbagai informasi perihal rencana tambang di Wadas, termasuk dugaan kekerasan polisi terhadap warga Wadas pada 8 Februari lalu. Tiga warga Wadas juga dilaporkan ke kepolisian dengan dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik karena menyebarkan informasi tentang Wadas yang dicap sebagai hoaks.
Intimidasi terhadap mereka dimulai sejak insiden kekerasan polisi terhadap warga Wadas pada 8 Februari lalu. Saat itu, warga menentang rencana pengukuran tanah untuk tambang di Wadas. Batu andesit di Wadas akan dijadikan material pembangunan Bendungan Bener.
Pemilik kafe tempat diskusi di Kecamatan Banyumanik, Semarang, yang meminta namanya tidak disebutkan, mengatakan pemaksaan pembatalan diskusi terjadi sejak Kamis malam, 17 Februari lalu. Seorang petugas bidang keamanan dan ketertiban masyarakat Kecamatan Banyumanik menghubunginya pada pukul 22.00 WIB. Petugas itu mendapat informasi dari Polresta Semarang ihwal diskusi yang berpotensi membuat kegaduhan dan masih panas.
Polisi juga menanyakan soal izin diskusi dan protokol kesehatan. Lalu Jumat pagi, dua polisi berpakaian sipil menemui pemilik kafe dan memaksa dia membatalkan diskusi. Polisi hanya melarang kegiatan diskusi, sedangkan kegiatan pameran dan acara kafe tetap dibolehkan. Pemilik kafe sempat menawarkan agar kedua polisi itu menemui panitia, tapi keduanya menolak.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Herlambang P. Wiratraman, prihatin atas pembatalan diskusi itu karena melanggar Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Pembatalan itu dianggap mencederai hak dasar warga negara, yakni kebebasan berekspresi dan berpendapat.
"Kepolisian harus mengevaluasi praktik-praktik pelarangan diskusi itu," kata Herlambang.
Dosen yang bergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) ini menyatakan tindakan polisi itu terlalu berlebihan dan tidak sesuai dengan prinsip hukum. Polisi hendaknya mengacu pada Standar Norma dan Pengaturan tentang Hak atas Menyatakan Pendapat dan Kebebasan Berekspresi Nomor 5 Tahun 2021 yang dikeluarkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Herlambang khawatir, bila kepolisian tidak mengevaluasi praktik pembatalan diskusi, ruang demokrasi di Indonesia semakin hilang. Dampaknya adalah merugikan demokratisasi di Indonesia.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Komisaris Besar Iqbal Alqudusy, membantah tuduhan bahwa pihaknya berupaya membubarkan diskusi tentang Wadas di Semarang. Ia berdalih polisi mustahil melarang kegiatan diskusi, apalagi selama ini kepolisian selalu membiarkan demonstrasi tentang Wadas di depan kantor gubernur.
"Jadi, tidak ada pelarangan diskusi itu. Kalaupun ada anggota intel ke sana, ya, wajar, kan tugasnya," kata Iqbal.
Meski demikian, kata dia, petugas intelijen dilarang untuk bertindak, terlebih melakukan pembubaran. Intelijen kepolisian hanya ditugaskan memantau keamanan dan ketertiban. Jika terjadi tindakan pelarangan, Iqbal menyarankan masyarakat mengadukan kedua petugas tersebut ke Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Jawa Tengah.
Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Semarang, Komisaris Besar Irwan Anwar, juga membantah tuduhan itu. Ia justru mengklaim mempersilakan penyelenggara menggelar diskusi, bahkan kepolisian menawarkan bantuan pengamanan. "Jangankan diskusi soal Wadas, demo soal Wadas saja kami kawal," kata Irwan.
AVIT HIDAYAT | SHINTA MAHARANI (PURWOREJO) | JAMAL A. NASHR (SEMARANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo