Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kepolisian memulai program virtual police dan langsung mengirimkan peringatan ke-12 akun.
Polisi juga membuka kanal pengaduan konten negatif oleh masyarakat.
Pegiat menilai program virtual police bertolak belakang untuk mendukung suasana Internet lebih kondusif.
JAKARTA – Polisi telah memulai program virtual police, yakni patroli siber untuk mengawasi percakapan di media sosial. Direktur Tindak Pidana Siber Markas Besar Polri, Brigadir Jenderal Slamet Uliandi, mengatakan, per 24 Februari, polisi sudah melayangkan peringatan virtual ke 12 akun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Slamet menuturkan bahwa ke-12 akun tersebut mengunggah konten yang diduga melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “Kami mengirimkan pesan peringatan melalui DM atau direct message kepada sejumlah akun medsos. Artinya, kami sudah mulai jalan," ujar Slamet Uliandi, kemarin. Meski begitu, dia tidak menyebutkan ke-12 nama akun tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Virtual police merupakan program yang dibuat Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Keberadaan polisi siber ini, yang dibentuk berdasarkan Surat Edaran Kapolri yang diteken pada 19 Februari lalu, bertujuan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat di media sosial. Kepada Tempo, Listyo mengatakan, program tersebut akan mendeteksi konten bermuatan ujaran kebencian. Menurut dia, patroli di dunia maya ini akan mengurangi kegaduhan di media sosial.
Slamet menjelaskan, patroli siber ini dilakukan polisi setiap hari di berbagai platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Menurut dia, agar berlangsung obyektif, proses identifikasi terhadap konten-konten yang ditengarai bermasalah itu dilakukan bersama pakar hukum pidana dan pakar Undang-Undang ITE.
Setelah proses verifikasi, dia melanjutkan, Polri akan menelusuri kontak akun melalui nomor telepon, nomor WhatsApp, ataupun surat elektronik. Peringatan akan dilayangkan melalui direct message (DM) kepada akun yang berisi informasi bahwa konten tersebut terindikasi melanggar UU ITE. Dalam pesan itu, Polri juga meminta pemilik akun menghapus konten yang dibuatnya dalam waktu 1 x 24 jam.
Jika peringatan pertama tidak direspons, kata Slamet, polisi akan mengirimkan peringatan kedua. Undangan klarifikasi akan dilayangkan Polri kepada pemilik akun jika kedua peringatan tersebut tidak diindahkan. Undangan itu pun bersifat tertutup. “Kalau sudah dilalui, ternyata tidak kooperatif, sesuai dengan arahan Kapolri, kami lakukan penindakan secara humanis dan mengedepankan mediasi," kata Slamet.
Musikus I Gede Ari Astina alias Jerinx diperiksa atas dugaan tindak pidana menyebarkan ujaran kebencian melalui media sosial di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali, Denpasar, Bali, 6 Agustus 2020. Foto: Johannes P. Christo
Kepolisian juga akan membuka kanal pengaduan konten negatif oleh masyarakat. Slamet menuturkan, polisi terlebih dulu akan memverifikasi laporan masyarakat. Polisi lalu akan melakukan proses setelah laporan itu diverifikasi. Slamet tengah mengusulkan penghargaan bagi warga yang rajin mengadukan konten negatif yang berseliweran di media sosial. Penghargaannya, kata dia, adalah berkesempatan mendapat pelatihan di Direktorat Siber.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Azis Syamsuddin mengingatkan agar polisi harus tetap memperhatikan hak masyarakat untuk mengutarakan pendapat. "Jangan sampai kehadiran polisi virtual membatasi kebebasan berpendapat," kata Aziz di Jakarta, kemarin.
Dia juga meminta polisi mensosialisasi kepada masyarakat soal tujuan pembentukan virtual police dan pelaksanaan patroli. Aparat, kata Azis, juga harus mengutamakan pendekatan yang persuasif jika ada pertentangan di masyarakat.
Adapun Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, mengklaim program patroli tidak dimaksudkan untuk mengekang kebebasan berpendapat. Dia mengatakan polisi justru berupaya mengedukasi masyarakat agar dunia maya bersih dari fitnah dan saling ejek. "Kalau mengarah pidana bagaimana? Kita boleh enggak? Kami akan kasih tahu," ujar dia.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto, menilai bahwa program virtual police justru bertolak belakang dengan tujuan awalnya, yaitu mendukung suasana Internet lebih kondusif dan sehat. Menurut dia, dalam program ini, polisi benar-benar hadir mengetuk "pintu" seseorang yang dianggap menyebarkan berita bohong (hoaks) atau melakukan ujaran kebencian. “Mereka yang terkena tegur 'langsung' didatangi oleh polisi melalui surat peringatan,” ujar Damar.
Padahal, kata Damar, selama ini UU ITE sudah membuat masyarakat khawatir untuk berekspresi dan berpendapat di media sosial. "Apalagi dijalankan virtual police. Bertambahlah level kekhawatirannya," kata Damar.
Peneliti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, juga menilai upaya pengaktifan virtual police justru berseberangan dengan pesan Presiden Joko Widodo saat menyampaikan wacana revisi UU ITE. Menurut dia, program tersebut justru membuat warga takut untuk berekspresi di media sosial. "Kalau UU ITE disebut bisa mengganggu demokrasi, lha keberadaan program ini malah memberi ruang virtual police aktif. Semakin takutlah orang untuk berkomentar," ujar Rivanlee.
DEWI NURITA | FRISKI RIANA | ANDITA RAHMA | ROBBY IRFANY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo