Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peneliti senior Nagara Institute, Mulyadi, menyatakan kuatnya tren politik dinasti dalam pemilihan kepala daerah tahun ini menandakan sistem rekrutmen partai macet.
Padahal, menurut Mulyadi, penjaringan pemimpin di masyarakat adalah salah satu fungsi partai politik.
Nagara Institute mencatat 124 calon kepala daerah menjadi bagian dari politik dinasti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Peneliti senior Nagara Institute, Mulyadi, menyatakan kuatnya tren politik dinasti dalam pemilihan kepala daerah tahun ini menandakan sistem rekrutmen partai macet. Padahal, menurut Mulyadi, penjaringan pemimpin di masyarakat adalah salah satu fungsi partai politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulyadi menganggap pemilihan kandidat kepala daerah oleh partai politik tidak dilaksanakan secara demokratis. Partai, kata dia, cenderung mengambil jalan pintas untuk mengambil orang-orang yang sudah dikenal masyarakat tanpa mempertimbangkan kompetensinya dengan masak. Salah satu golongan yang dianggap memenuhi kriteria adalah kerabat pejabat.
Proses yang tidak dilandasi kesepakatan bersama, kata dia, mengakibatkan keputusan partai politik hanya dikuasai segelintir orang. Keputusan itu juga menutup kesempatan berkiprah kader-kader potensial yang semestinya bisa dimanfaatkan oleh partai. "Kandidat apa pun kalau tak melalui proses yang demokratis akan menjadi masalah dan membuat partai menjadi oligarkis," kata Mulyadi dalam diskusi di Jakarta, kemarin.
Nagara Institute mencatat menguatnya politik dinasti melalui hasil kajian yang dipublikasikan kemarin. Dalam pilkada tahun ini, ada 124 calon kepala daerah yang terpapar dinasti politik. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari fenomena serupa yang terjadi dalam pilkada sepanjang 2015-2018, yakni sebanyak 86 calon.
Selain faktor elektabilitas, Mulyadi berpendapat, pemilihan calon kepala daerah dilandasi pertimbangan kerabat pejabat memiliki kemampuan dana dan jaringan ke sejumlah pengusaha yang lebih luas dibanding warga lain. Ia menganggap faktor ini berbahaya karena dapat menjurus pada penguasaan sumber daya oleh segelintir orang. Pasalnya, tak jarang penjaringan dukungan ini diwarnai politik transaksional yang dapat berdampak pada kebijakan di suatu daerah.
Dia menyayangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menganulir larangan mencalonkan diri sebagai kepala daerah bagi orang yang memiliki kekerabatan dengan inkumben dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Pilkada. Menurut Mulyadi, pembatasan hak politik masih konstitusional, selama bertujuan untuk kepentingan yang lebih besar. Dalam konteks ini, tujuannya untuk meredam suburnya politik dinasti di tingkat lokal. "Pembatasan bisa dilakukan, seperti pada anak-anak tidak bisa memilih dan orang yang tidak kapabel secara mental," katanya.
Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas, mengemukakan bahwa politik kekerabatan turut memperlemah pengawasan yang seharusnya bisa berjalan di antara lembaga negara. Akibatnya, kondisi ini menyuburkan praktik penyelewengan yang berujung pada korupsi.
Salah satu kasus yang terjadi belakangan adalah penangkapan Bupati Kutai Timur Ismunandar dan istrinya, Encek UR Firgasih, oleh KPK atas dugaan suap pada Juli lalu. Encek merupakan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kutai Timur, yang diduga menerima rasuah dari sejumlah rekanan proyek di daerahnya.
Busyro mengatakan politik kekerabatan yang menguat tak bisa dilepaskan dari sikap pihak Istana yang mendukung pencalonan sanak famili pejabat. Misalnya, anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi calon Wali Kota Solo, ataupun anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindhito Himawan, sebagai calon Bupati Kediri. "Dinasti politik ini justru dipelopori oleh elite di Istana yang sedang menjabat," kata Busyro.
Ketua tim kampanye Gibran Rakabuming-Teguh Prakosa, Putut Gunawan, menanggapi santai hasil riset Nagara Institute yang menyebutkan ada banyak daerah yang terpapar politik dinasti dalam pilkada 2020. Dia mengatakan isu tersebut sudah berulang kali muncul selama menjelang pilkada tahun ini.
Putut menyebutkan timnya tidak akan terpengaruh oleh hasil riset itu. "Kami tetap fokus berkampanye, melakukan sosialisasi visi-misi serta program kerja kami," katanya. Isu politik dinasti, menurut dia, bukan baru kali ini mereka hadapi.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menganggap negara tak bisa melarang kerabat pejabat ikut dalam kontestasi pilkada. Jika publik tidak suka, cara yang tepat untuk menghadapinya adalah kesadaran moral masing-masing. "Perjuangannya politik dan moral. Kampanye agar jangan ini dan jangan itu," katanya, beberapa waktu lalu.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai NasDem Charles Meikyansyah mengklaim partainya mencalonkan kerabat pejabat berdasarkan proses yang berjenjang dan demokratis. Meski elektabilitas tinggi, kata dia, seorang kerabat kepala daerah tidak akan dipilih jika tidak memenuhi syarat kompetensi dan hukum. "Cara ini dilakukan secara terbuka dan modern, baik melalui lembaga survei maupun mendengarkan visi-misi calon secara berjenjang," katanya.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | AHMAD FAIZ | ROBBY IRFANY
Politik Dinasti Bukti Jalan Pintas Partai
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo