Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Kepolisian Republik Indonesia mengklaim tak ada yang keliru dalam penempatan perwira tinggi polisi di luar lembaga kepolisian. Bahkan kepolisian berdalih bahwa banyaknya perwira polisi yang bertebaran di sejumlah instansi pemerintahan bertujuan untuk menghadirkan sikap profesionalisme polisi di lembaga tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asisten Sumber Daya Manusia Kepala Polri, Inspektur Jenderal Sutrisno Yudi Hermawan, mengatakan perwira polisi yang bertugas di kementerian dan lembaga sipil atas permintaan organisasi yang bersangkutan. Tujuannya adalah mencegah terjadinya tindak pidana maupun kerugian di lembaga tersebut. "Polri tidak pernah mengemis. Sebaliknya, kementerian dan lembaga ingin menghadirkan profesionalisme kepolisian. Apa ada yang salah?" kata Sutrisno, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sutrisno mengatakan polisi memiliki pengalaman penyelidikan dan penyidikan di berbagai sektor, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, serta agama. Kompetensi penegakan hukum itu yang menjadi dasar kepolisian membolehkan polisi bertugas di lembaga di luar Polri.
Menurut Sutrisno, setelah polisi bertugas di lembaga lain, kepolisian tetap mengawasi mereka. Kepolisian juga tetap mewajibkan mereka membuat laporan kinerja.
Sutrisno mengakui bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam urusan reformasi kepolisian yang belum tuntas. "Namun menguatkan kementerian dan lembaga juga perlu," ujarnya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat lebih dari 30 perwira polisi yang bertugas di luar kepolisian. Temuan Kontras ini sejalan dengan kajian Ombudsman Republik Indonesia yang menemukan banyak perwira polisi yang menjabat komisaris di badan usaha milik negara (BUMN) dan anak usahanya. Dalam catatan Ombudsman, tercatat ada 13 polisi yang menjabat komisaris BUMN. Lalu 12 orang menempati jabatan komisaris di anak usaha BUMN yang berasal dari TNI dan Polri.
Kajian Ombudsman dan Kontras ini sejalan dengan temuan Tempo. Tempo mendapati sebagian perwira tinggi polisi di lembaga pemerintahan maupun komisaris BUMN itu tercatat sebagai polisi aktif hingga saat ini.
Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, mengatakan semakin banyaknya polisi yang bertugas di lembaga publik justru mengkhawatirkan karena kinerja kepolisian saat ini masih akrab dengan nuansa represif. "Kultur kekerasan akan menjadi momok saat kepolisian menempati jabatan sipil," kata Fatia.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Awi Setiyono, mengatakan, dalam setiap pelaksanaan tugas, polisi selalu dibekali dengan berbagai instrumen, antara lain prosedur operasi standar (SOP) dan peraturan Kepala Polri.
"Polri sangat menghormati dan menghargai semua kritik yang ditujukan ke Polri. Tentunya hal tersebut sebagai bahan introspeksi diri," kata Awi.
Menurut Awi, segala tindakan polisi dipantau dengan pengawasan berlapis, yaitu pengawasan dari lingkup internal, seperti Inspektorat Pengawasan Umum serta Divisi Profesi dan Pengamanan, serta pengawas eksternal, misalnya Komisi Kepolisian Nasional, Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kendati demikian, Awi mengakui masih ada aparat yang bertindak di luar aturan. Ia memastikan lembaganya akan menindak setiap pelanggaran berdasarkan peraturan internal kepolisian. "Kalau ada yang melanggar SOP dan Peraturan Kapolri, maka ada mekanisme kontrolnya," kata Awi.
ANDITA RAHMA | ROBBY IRFANY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo