Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ZAINUN Ahmadi menorehkan dua titik di selembar kertas putih. Satu titik ia tulisi Jakarta, titik lain diberi nama Jeddah. Anggota Komisi Agama Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu lalu menarik garis tanpa putus menghubungkan kedua titik bolak-balik, menunjukkan penerbangan yang harus dibayar jemaah haji. Ia juga menarik dua garis lain, putus-putus, menggambarkan penerbangan yang sebenarnya tak dinikmati jemaah tapi tetap masuk ongkos haji.
Pos pesawat ini merupakan satu persoalan yang disorot Dewan dalam pembahasan biaya haji. Pemerintah beralasan, biaya penerbangan tak bisa ditekan karena pesawat diasumsikan penuh mengangkut penumpang ketika menuju Arab Saudi, tapi kosong dalam penerbangan kembali Jakarta. Ketika jemaah pulang, yang terjadi sebaliknya. ”Mengapa jemaah haji harus membayar empat kali penerbangan?” kata Zainun, Rabu pekan lalu.
Menurut pria 53 tahun itu, ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh perusahaan penerbangan. Misalnya, menawarkan harga diskon buat tenaga kerja atau mahasiswa Indonesia di Timur Tengah yang ingin pulang ke Tanah Air. Bisa juga kursi dijual untuk penerbangan komersial. Cara itu bisa dilakukan buat menekan biaya haji. ”Atau setidaknya bisa menambah duit sisa penyelenggaraan haji, yang meningkatkan Dana Abadi Umat,” ujarnya.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akan menetapkan ongkos haji pada Rabu pekan ini. Biaya pesawat merupakan komponen terbesar: sekitar 52 persen ongkos keseluruhan. Menurut usul pemerintah ke DPR, yang diajukan pada akhir April lalu, biaya perjalanan ibadah haji tahun ini US$ 3.577 plus Rp 100 ribu. Dengan kurs Rp 9.500 per dolar, total biaya adalah Rp 34 juta.
Ongkos haji selalu meningkat dari tahun ke tahun—jika dilihat dengan mata uang dolar Amerika Serikat. Tahun lalu untuk embarkasi Jakarta US$ 3.444 ditambah Rp 100 ribu atau sekitar Rp 36 juta (kurs Rp 10.50). Dua tahun lalu, US$ 3.430 plus Rp 501 ribu. Dengan kurs Rp 9.500, total biaya Rp 33 juta.
Biaya penerbangan haji ini dikritik Ketua Umum Majelis Pengurus Pusat Rabithah Haji Indonesia Ade Marfuddin. Dalam kalkulasi penerbangan komersial, kursi terisi 40 persen saja, maskapai sudah untung. Artinya, kalau pesawat berangkat isi seratus persen dan balik kosong itu sama artinya pergi-pulang isi 50 persen. Jadi, tidak ada alasan buat pemerintah membebankan empat kali ongkos. ”Ini bisa menekan ongkos haji,” kata Ade.
Buat menelusuri pos-pos boros dalam ongkos haji, Dewan meminta bantuan Komisi Pemberantasan Korupsi. Bulan lalu, lembaga antikorupsi menyampaikan Laporan Hasil Kajian Sistem Penyelenggaraan Ibadah Haji. KPK, yang mengkaji pada Januari-April 2010, menemukan 48 titik yang berindikasi penyimpangan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun lalu. Dari jumlah itu, ada 7 aspek regulasi, 6 aspek kelembagaan, 28 tata laksana, 3 titik manajemen sumber daya manusia, dan 4 titik pada manajemen kesehatan.
Pos penerbangan memang janggal. Komisi menemukan dugaan inefisiensi biaya pos ini dalam penggunaan kapasitas terpasang pesawat pada periode tiga tahun terakhir. Biaya setiap embarkasi mestinya bisa dihemat untuk meningkatkan pelayanan. Menurut KPK, hal itu bisa terjadi karena tidak ada lelang terbuka. Panitia pengadaan tidak membikin perkiraan biaya pesawat haji. Akibatnya, tidak ada harga pembanding terhadap pengajuan tawaran kontrak oleh Garuda Indonesia dan Saudi Arabian Airlines yang jadi langganan tetap angkutan haji.
Jemaah juga harus membayar mahal karena Garuda dan Saudi, untuk mengatasi keterbatasan armada, harus mencarter pesawat maskapai lain, termasuk mengongkosi gaji dan biaya pelatihan pramugari. Komisi Pemberantasan Korupsi mendesak perhitungan ulang biaya, jenis, dan tipe pesawat dengan melibatkan ahli penerbangan, pabrikan, dan Kementerian Perhubungan. ”Pengadaan juga harus melalui lelang terbuka,” kata M. Jasin, wakil ketua komisi itu.
Dalam proses pendaftaran haji dan pengelolaan ongkos haji, KPK menemukan pencatatan keuangan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Selama ini pencatatan menggunakan aplikasi yang dikembangkan sendiri oleh Departemen Agama dengan bantuan konsultan. Sistem ini tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Misalnya, nama pemilik rekening berubah setiap tahun. Akibatnya, laporan keuangan selalu mendapat status disclaimer.
Tidak dipisahkannya bunga hasil endapan setoran awal dari dana pokok juga soal genting. Penempatan uang setoran awal di 22 bank penerima ongkos haji ternyata menunjukkan masih bercampurnya bunga dari hasil pengendapan setoran awal dengan uang pokok. Ini membuat rancu besarnya jumlah dana yang bisa digunakan untuk pembayaran biaya tak langsung.
Pemerintah menetapkan ada dua komponen biaya: langsung dan tak langsung. Ongkos langsung adalah ongkos yang jadi beban langsung jemaah haji, misalnya transportasi, akomodasi, dan konsumsi. Komponen ini diambilkan dari ongkos naik haji. Sedangkan biaya tak langsung misalnya biaya petugas, operasional embarkasi, yang menjadi tanggungan anggaran negara dan daerah. ”Kami beri waktu enam bulan untuk memisahkannya,” kaya Jasin.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga menemukan uang hasil investasi setoran awal ongkos haji untuk membiayai biaya tak langsung. Jumlahnya melebihi perolehan hasil investasi tahun sebelumnya. Ini melanggar undang-undang keuangan negara. Muncul pula pengajuan dan pengesahan biaya tak langsung tanpa alasan kuat. Ini akibat tidak adanya aturan mekanisme dan evaluasi anggaran. Ini membuka peluang pemborosan, bahkan penyelewengan. Ditemukan juga pengeluaran ongkos tak langsung untuk menyubsidi biaya langsung.
Catatan lain KPK yang sungguh mencengangkan adalah jumlah setoran jemaah dalam daftar tunggu yang besarnya Rp 16 triliun. Uang ini sudah mengendap beberapa tahun. Setoran awal ini masuk ke bank dalam rekening Menteri Agama. Selanjutnya diinvestasikan dalam bentuk giro, deposito, tabungan, dan sukuk—obligasi berbasis syariah. Sebagian juga ditanam buat mencari ”hasil investasi” alias bunga. Menurut KPK, tak satu pun bagian hasil investasi dikembalikan ke jemaah dalam bentuk pengurangan ongkos haji.
Yang juga mengundang curiga adalah setoran awal ongkos haji dalam deposito periode 2007-2009. Pemerintah meminta suku bunga yang tak lazim. Dari 28 tahap penempatan dana setoran awal ongkos haji, hanya pada tahap pertama ada klausul tingkat bunga satu persen di atas suku bunga yang ditetapkan Bank Indonesia. Untuk tahap 2-15 tak ada persyaratan tingkat bunga yang diminta. Dalam realisasinya tingkat bunga bervariasi.
Untuk penempatan deposito tahap 16-28, pemerintah melalui Kementerian Agama menyetujui klausul tingkat bunga satu persen di bawah suku bunga yang ditetapkan bank sentral. Padahal, lazimnya, permintaan bunga atas simpanan deposito seharusnya minimum sama atau di atas suku bunga bank sentral. Apalagi uang jemaah yang disetorkan sangat besar sehingga sangat mungkin justru dapat bunga lebih tinggi.
Temuan Komisi ini, menurut Zainun Ahmadi, menunjukkan kesalahan orientasi pemerintah terhadap tata kelola, kelembagaan, dan sumber daya manusianya. Orientasi materi begitu kentara sejak lima tahun lalu. Ketika kuota haji di semua provinsi terpenuhi, pemerintah memberlakukan syarat pendaftaran haji dengan cara menunjukkan tabungan Rp 5 juta setiap anggota jemaah.
Sistem komputerisasi haji diberlakukan. Maksudnya adalah membuat pendaftaran online dan real time secara nasional lebih baik. Juga untuk menetapkan syarat terdaftar di daftar tunggu harus membayar setoran awal Rp 20 juta. Biaya ini melampaui 50 persen ongkos haji. Hingga kini, kata Zainun, terkumpul lebih dari Rp 20 triliun. ”Prinsipnya berubah jadi bisnis, mencari untung,” kata Zainun.
Secara kelembagaan, Zainun juga melihat makin birokratis dan antireformasi. Pemerintah melibatkan sejumlah kementerian hingga bupati-wali kota dengan rencana anggaran masing-masing. Kecenderungan ke arah orientasi transaksi juga makin terasa. Ini yang memunculkan inefisiensi dan penyelewengan. ”Tangan-tangan kotor banyak bermain hingga di Mekah,” ia menambahkan.
Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan uang setoran jemaah calon haji masuk rekening bank. Separuhnya disimpan dalam bentuk sukuk. ”Bunganya tak serupiah pun digunakan untuk kementerian, aparat, atau penyelenggara haji,” katanya. ”Semua keuntungan buat jemaah.” Ia mencontohkan jemaah Indonesia seharusnya membayar Rp 37-38 juta per orang. Tapi biaya haji yang ditetapkan pemerintah hanya Rp 33-34 juta. ”Selisihnya diambil dari bunga setoran awal.”
Sunudyantoro, Dianing Sari
Angka Janggal Ongkos Haji
Kejanggalan | Nilai |
Biaya penerbangan boros. | US$ 253 juta |
Alokasi anggaran hasil investasi melebihi perolehan tahun sebelumnya. | Rp 834 miliar |
Pengajuan dan pengesahan biaya tak langsung tanpa alasan kuat. | Rp 398 miliar |
Ongkos tak direncanakan untuk pondok, transpor, dan makan di Arab. | Rp 242 miliar |
Hasil investasi (bunga) setoran awal tak kembali ke jemaah. | Rp 138 miliar |
Rugi untuk paspor jemaah dan petugas yang sudah punya paspor hijau. | Rp 91 juta |
Dugaan dana manfaat ongkos haji untuk operasional petugas Imigrasi dalam kegiatan paspor haji. | Rp 11 miliar |
Boros akomodasi dan transportasi darat di Arab. | Rp 485 miliar |
Dobel anggaran manasik haji Kota Lhok Seumawe, Aceh. | Rp 45 juta |
Penyalahgunaan ongkos haji di Arab. | SR 40 juta |
Selisih tidak bisa ditelusuri. | Rp 505 miliar |
Sumber: Laporan Hasil Kajian Sistem Penyelenggaraan Ibadah Haji 2007-2009
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo