Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kontras menyusun catatan kritis ihwal penyelesaian, penegakan, dan pemenuhan HAM selama setahun terakhir.
Angka pelanggaran HAM meningkat dalam agenda pembangunan nasional, seperti proyek strategis nasional.
Selama sembilan tahun pemerintahan Jokowi, agenda penyelesaian HAM justru menurun.
JAKARTA – Kekhawatiran masih menyelimuti Suryadi. Warga Desa Air Bangis, Pasaman Barat, Sumatera Barat, itu tidak ingin ruang hidupnya hilang lantaran terkena dampak proyek strategis nasional (PSN) kilang minyak dan petrokimia seluas 30 ribu hektare. Suryadi berharap pemerintah pusat mendengarkan keluhan masyarakat. Sebab, bila proyek itu tetap dilanjutkan, tidak tertutup kemungkinan bakal terjadi pelanggaran HAM. “Kami khawatir tiba-tiba kepolisian akan datang menyeret kami,” ujarnya melalui telepon, kemarin, 10 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ribuan warga Air Bangis berunjuk rasa di kantor Gubernur Sumatera Barat pada 31 Juli lalu. Mereka meminta Gubernur menyelesaikan konflik agraria serta membatalkan rencana PSN kilang minyak dan petrokimia. Permintaan itu tak langsung didengar. Jadi warga menginap di Masjid Raya. Sejumlah aparat lantas melakukan pemulangan paksa pada Sabtu, 5 Agustus 2023. “Kala itu mereka menyeret kami. Sejumlah orang juga ditangkap,” kata Suryadi.
Konflik agraria di Nagari Air Bangis terjadi di Jorong Pigogah Patibubur. Masyarakat mengelola lahan di kawasan itu sejak 1970. Pada 2016, pemerintah menjalankan program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang dikelola koperasi. Program itu menduduki sekitar 1.590 hektare lahan milik warga. “Area HTR ini tumpang tindih dengan lahan garapan masyarakat,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bersama warga Nagari Air Bangis melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta, 22 September 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahmam W
Akibat konflik ini, sejumlah warga ditangkap atas tuduhan pencurian sawit. Padahal lahan itu sudah dikelola masyarakat secara turun-temurun. “Kami tanami kelapa sawit, padi, hingga cabai,” ujar Suryadi.
Menurut Suryadi, konflik inilah yang mengantar warga Air Bangir berunjuk rasa di depan kantor Gubernur. Hingga saat ini, sikap pemerintah untuk menyelesaikan konflik masih belum jelas. “Pemerintah tak mau bertemu dengan kami yang sudah lama tinggal di tanah ini,” ujar Suryadi.
Persoalan yang hampir sama terjadi di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. PT Hamparan Masawit Bangun Persada I (PT HMBP I) mengklaim 1.175 hektare lahan yang digarap warga Desa Bangkai. “Kami mohon pemerintah tidak meninggalkan kami,” kata James Watt, warga Desa Bangkal.
Konflik agraria di Desa Bangkai ini telah memakan korban. Seorang petani bernama Gijik tewas pada 7 Oktober lalu. Gijik diduga tertembak peluru tajam ketika polisi membubarkan aksi warga yang menutup jalan menuju perkebunan sawit PT HMBP I. Masyarakat kala itu menuntut hak mereka atas kebun plasma yang selama puluhan tahun tak dipenuhi perseroan.
Pada 20 November lalu, Pemerintah Kabupaten Seruyan menawarkan pengembalian tanah seluas 1.175 hektare itu. Namun pemberian lahan itu akan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, masyarakat akan mendapat langsung lahan seluas 443 hektare. Sisanya menyusul pada tahap berikutnya.
James mengatakan warga tak setuju atas tawaran itu. Mereka meminta pemerintah daerah memberikan semua lahan itu secara langsung. Sebab, tak ada jaminan kapan tahap kedua akan dilaksanakan. Namun pemerintah Desa Bangkal justru menyetujui tawaran itu. Pemerintah Desa Bangkal mengklaim mewakili suara masyarakat. Klaim sepihak itu tidak diterima warga.
Sepekan kemudian, warga Desa Bangkal mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap penjabat Kepala Desa Bangkal, Susila Sri Wahyuni. Surat itu ditujukan kepada Ketua BPD Desa Bangkal, Camat Seruyan Raya, dan Pj Bupati Seruyan. “Kami minta dia diberhentikan,” ujar James.
James khawatir, ke depan, pemerintah desa akan menggunakan lagi nama masyarakat untuk kepentingan pribadi. Bila keadaan itu terjadi, hak atas tanah masyarakat akan direbut pemerintah desa. “Perjuangan teman kami yang tewas jadi sia-sia,” ujarnya.
Sekretaris Desa Bangkal Sangkai mengiyakan soal adanya mosi tidak percaya itu. Namun Sangkai tidak berkenan menanggapi ihwal Kepala Desa Bangkal yang mengklaim suara masyarakat. “Saya tak komentar,” ujarnya, kemarin.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat dua kasus di Pasaman Barat dan Seruyan itu adalah bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam peringatan Hari HAM Internasional yang jatuh tiap 10 Desember, Kontras menyusun catatan kritis ihwal penyelesaian, penegakan, dan pemenuhan HAM pada masa pemerintahan Jokowi selama setahun terakhir.
Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya mengatakan Kontras menemukan pola menguatnya hegemoni kekuasaan terhadap hak masyarakat. Pola itu berbanding lurus dengan meningkatnya angka pelanggaran HAM. Angka pelanggaran HAM itu khususnya terjadi dalam agenda pembangunan nasional, seperti proyek strategis nasional. “Dikuatkan dengan kesewenang-wenangan aparat di lapangan,” ujarnya.
Sejak Desember 2022 hingga November 2023, Kontras melaporkan terjadi 244 peristiwa pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam. Rinciannya, okupasi lahan sebanyak 69 peristiwa, pencemaran lingkungan 53 peristiwa, dan kriminalisasi 45 peristiwa.
Dari peristiwa itu, pelaku pelanggaran terbanyak adalah pihak swasta dengan 189 peristiwa, dilanjutkan oleh polisi (60), pemerintah (22), TNI (5), dan orang tidak dikenal (5).
Dua kasus yang menjadi sorotan adalah kasus di Air Bangis dan Bangkal-Seruyan, Kalimantan Tengah. Menurut Dimas, pembangunan itu mengedepankan pendekatan represif terhadap masyarakat. Hal ini berdampak secara fisik dan psikologis kepada masyarakat yang berjuang mempertahankan tanahnya. Bentrokan, gas air mata, tembakan peluru karet, hingga tembakan peluru tajam tampak terlihat dari dua peristiwa tersebut. “Dua kasus ini menggambarkan tidak diindahkannya hak masyarakat untuk berkumpul secara damai dan menyampaikan pendapat,” ujarnya.
Di samping itu, Dimas mengatakan, pembangunan merampas ruang hidup masyarakat adat. Perampasan ini diiringi dengan tindak kekerasan sebagai upaya paksa perampasan lahan yang telah lama dimiliki masyarakat adat. “Kami catat ada 22 tindakan kekerasan terhadap masyarakat adat setahun terakhir ini,” katanya.
Dalam peristiwa itu, aparat justru menjadi pelaku mayoritas tindak kekerasan. Kepolisian menjadi pelaku yang mendominasi, yakni 14 peristiwa. Sisanya, pelaku kekerasan melibatkan pihak swasta. “Kami simpulkan negara masih mengutamakan kepentingan swasta,” ujarnya.
Kontras juga menilai reformasi di bidang keamanan belum berjalan. Peradilan militer sebagai produk Orde Baru masih ada. Padahal peradilan militer justru menjadi ruang impunitas. Peradilan tidak bisa menjalankan prinsip independensi. “Peradilan militer sangat memungkinkan kontrol oleh panglima. Status hakim dalam peradilan militer juga militer aktif sehingga bisa tak independen,” kata Dimas.
Kontras mencatat, pada Oktober 2022 hingga September 2023 terdapat setidaknya 117 prajurit yang diadili melalui peradilan militer. Mayoritas kasus merupakan tindak pidana penganiayaan dan penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Salah satu kasus yang disoroti adalah diterimanya permohonan banding pelaku tindak pidana pembunuhan dan mutilasi terhadap empat warga sipil Papua, yakni Mayor Helmanto Dakhi. Sebelumnya, terdakwa dipidana seumur hidup. Namun, dalam putusan banding yang dikeluarkan Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya Nomor 37-K/PMT.III/AD/Xll/2022 tanggal 24 Januari 2023, hukuman itu dibatalkan. Selanjutnya, terdakwa dihukum 15 tahun penjara dan dipecat dari dinas kemiliteran.
Menurut Dimas, hal ini membuktikan bahwa pelaksanaan sistem peradilan militer bermasalah, terutama dalam konteks isu hak asasi manusia. “Peradilan militer tidak dapat memenuhi prinsip peradilan yang kompeten, imparsial, dan independen,” ujar Dimas.
Indeks Menurun
Peneliti hukum dan konstitusi dari Setara Institute, Sayyidatul Insiyah, mengatakan, selama sembilan tahun pemerintahan Jokowi, agenda penyelesaian HAM berjalan menurun. Pada tahun ini saja, indeks HAM berada di angka 3,2, sedangkan tahun lalu 3,3. “Angka ini belum memenuhi kriteria moderat dalam upaya pemerintah untuk melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM,” ujar Sayyidatul.
Penilaian ini diperoleh dari laporan kinerja lembaga negara, lembaga masyarakat sipil, dan hasil riset. Penilaian menggunakan angka 1 sampai 7. Semakin tinggi nilai, yakni mencapai angka 7, menggambarkan semakin tingginya komitmen pemerintah dalam menegakkan dan memajukan HAM.
Sayyidatul mengatakan ada dua hal yang membuat indeks HAM anjlok. Pertama, soal hak kebebasan berekspresi dan berpendapat. Dalam hal ini, Setara memberikan angka 1,3 poin. Sebab, pemerintah dan aparat banyak melakukan tindakan pembungkaman. “Di antaranya disahkannya revisi UU ITE serta kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti atas dugaan pencemaran nama Luhut Binsar Pandjaitan,” katanya.
Kedua, soal hak masyarakat atas tanah. Setara memberi angka 1,9 karena dalam setahun terakhir, terdapat banyak kasus yang berhubungan dengan PSN dan beberapa konflik agraria. Proyek itu justru merampas wilayah masyarakat. “Di antaranya kasus PSN di Rempang, PSN di Air Bangis, dan konflik agraria Bangkal Seruyan,” kata Sayyidatul.
Warga menunjukan lahan yang diduga akan dibangun Proyek Stategis Nasional (PSN) di Nagari Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, Agustus 2023. TEMPO/Fachri Hamzah
Di samping itu, indeks HAM menurun karena pemerintah kerap merampas ruang partisipasi masyarakat yang berkualitas. Misalnya dalam penetapan UU Cipta Kerja. Presiden Jokowi pada 31 Maret lalu menetapkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Mahkamah Konstitusi sebetulnya sudah memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional pada 2020. Namun, alih-alih membuka partisipasi masyarakat untuk perbaikan aturan itu, Presiden justru membuat perpu untuk menyiasati putusan MK tersebut.
“Artinya, perpu yang merupakan hak prerogatif presiden sengaja dibuat Presiden Jokowi untuk menghindari aspirasi demokrasi di balik dalih kegentingan memaksa,” ujarnya.
Sayyidatul menambahkan, indeks demokrasi juga menurun karena MK mengeluarkan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan ini membuat Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi, menjadi calon wakil presiden. “Presiden mempertontonkan demokrasi yang dicederai,” ujarnya.
Komisioner Komnas HAM periode 2017-2022, Amiruddin Al Rahab, menilai pemerintah selama ini belum ramah pemenuhan HAM. Pemerintah tak memiliki komitmen mengawal pemenuhan HAM sehingga timbul banyak masalah. “Contoh yang tampak, masalah konflik Papua yang tak kunjung diselesaikan. Pilot Susi Air juga tak kunjung diselamatkan. Jelas-jelas itu merenggut HAM karena merebut kemerdekaan seseorang,” kata Amiruddin kepada Tempo, kemarin.
Amiruddin juga menilai banyaknya masalah HAM disebabkan oleh sendi demokrasi yang mulai goyah. Demokrasi bisa dibangun ketika hak kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak diganggu otoritas negara. “Tapi kita lihat, negara juga tak ramah soal ini. Banyak pembela HAM dikriminalkan,” katanya.
Hak masyarakat atas tanah juga tak diperhatikan. Pemerintah justru terlihat berpihak kepada kepentingan investor. “Dan masalah ini menjadi hal berulang yang terjadi dalam sembilan tahun ini,” kata Amiruddin.
Untuk itu, Amiruddin berharap pemimpin ke depan lebih ramah HAM. Pembangunan dan HAM seharusnya tidak bertentangan. Apabila pemerintah ramah HAM, investor pasti akan mengikuti. “Tinggal mengikuti panduan dari PBB soal pembangunan yang memprioritaskan HAM,” ujarnya.
Dia menambahkan, komitmen terhadap penegakan HAM harus diikuti dengan pembenahan proses penegakan hukum. Bila penegakan hukum tidak baik, masalah HAM tak akan bisa diselesaikan. “Makanya kita harus perbaiki ini,” kata Amiruddin.
Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono membantah soal peradilan militer yang mempertahankan impunitas. Peradilan militer justru dijalankan adil dan transparan. “Peradilan militer juga tegas dan jelas,” ujar Julius, kemarin.
Julius mencontohkan kasus pembunuhan pria asal Aceh, Imam Masykur, yang dilakukan tiga oknum TNI. Ketiga anggota itu justru dituntut hukuman mati dan dikeluarkan dari TNI. “Beberapa sidang militer juga transparan dan kerap mengundang jurnalis,” kata Julius.
Perihal konflik di Papua dan keterlibatan aparat TNI dalam proyek pembangunan, Julius enggan menanggapi. Tempo mencoba menghubungi Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Inspektur Jenderal Sandi Nugroho dan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan untuk meminta konfirmasi ihwal tuduhan masyarakat sipil itu. Namun keduanya tidak membalas pesan dan telepon Tempo hingga berita ini diturunkan.
Tempo juga mencoba meminta tanggapan Istana mengenai hal ini. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Siti Ruhaini Dzuhayatin dan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Abetnego Tarigan mengatakan sedang menyiapkan tanggapan. Namun, hingga semalam, keduanya belum juga memberi jawaban.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo