Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Sejumlah kalangan meminta Presiden Joko Widodo tidak terburu-buru mengaktifkan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) Tentara Nasional Indonesia dalam penanganan terorisme. Koordinator peneliti Imparsial, Ardi Manto Adiputra, mengatakan lembaga pemberantasan terorisme yang sudah ada saat ini sebenarnya sudah cukup. Dengan demikian, daripada membuat lembaga baru, lebih baik pemerintah memperbaiki yang sudah ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Porsi TNI dalam penanggulangan terorisme sudah diatur dalam undang-undang. Sifatnya memberikan bantuan kepada Polri ketika aksi terorisme sudah tidak bisa ditangani kepolisian," ujarnya. "Pelibatan TNI tanpa batasan waktu justru akan menyebabkan tumpang-tindih kewenangan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal senada juga diungkapkan peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Miko Ginting. "Dalam kondisi seperti ini, yang justru menjadi prioritas adalah penegakan hukum dan deteksi dini potensi teror untuk mencegah supaya teror tidak terjadi," ujarnya.
Ia juga menyarankan supaya pemerintah melakukan evaluasi dan perbaikan kepolisian. "Mengapa kejadian teror bisa terulang," ujarnya. "Bukan justru memberi kewenangan yang begitu besar kepada TNI padahal sebenarnya polisi bisa melakukan itu."
Adapun pengamat terorisme Abu Harits Ulya mengatakan pemerintah sudah memiliki dua lembaga khusus untuk menangani tindak pidana terorisme, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Detasemen Khusus 88 Antiteror Markas Besar Kepolisian RI. Pembentukan lembaga baru di luar lembaga yang sudah ada berpotensi memunculkan masalah akibat tumpang-tindih tugas serta kewenangan.
Sebelumnya, Kepala Staf Presiden Moeldoko mengatakan bahwa Presiden tertarik untuk menghidupkan kembali Koopssusgab TNI. Menurut Moeldoko, ide itu ia sampaikan kepada Presiden karena tenaga TNI saat ini dibutuhkan untuk menghadapi terorisme. Koopssusgab TNI berisi pasukan elite tentara dari tiga matra. Yaitu Komando Pasukan Khusus dari Angkatan Darat, Detasemen Jalamangkara dan Pasukan Katak dari Angkatan Laut, serta Detasemen Bravo 90 dari Angkatan Udara. "Mereka dikumpulkan di suatu tempat dengan status operasi atau bisa diterjunkan setiap saat," ujarnya.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian menilai, Korps Bhayangkara kerap kesulitan dalam menangani kasus tindak pidana terorisme. Menurut dia, selama ini kepolisian sudah bisa memetakan seluruh anggota dan simpatisan jaringan kelompok terorisme, namun tak bisa melakukan tindakan hukum sebelum terduga melakukan aksi. Ia berharap Dewan Perwakilan Rakyat bisa segera menuntaskan revisi Undang-undang Tindak Pidana Terorisme untuk memperbesar ruang polisi dalam melakukan pencegahan. "Ini sudah satu tahun lebih (pembahasan RUU Terorisme), harus selesai segera," kata dia. DANANG F | FRISKI RIANA | HENDARTYO HANGGI | FRANSISCO ROSARIANS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo