Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pronk dan IGGI IGGI bubar

Penolakan bantuan Belanda untuk Indonesia. wawancara Tempo dengan J.P.Pronk dan Hans Van Den Broek. sejarah berdirinya IGGI. pembentukan kelom- pok konsultasi oleh Bank Dunia. pernyataan Indonesia tentang penolakan peran Belanda dalam IGGI, serta penolakan bantuan Belanda untuk Indonesia.Berkaitan dengan berbagai ancaman Belanda atas sejumlah kasus di Indonesia.

4 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUA IGGI, Jan Pieter Pronk, bulan April ini tak lagi keluar masuk pedesaan di Indonesia. Menteri Kerja Sama dan Pembangunan Belanda itu juga tak sempat berdiskusi mengorek berbagai kritik kepada Pemerintah dari sejumlah tokoh masyarakat atau LSM yang ada di sini. Karena, Indonesia telah meminta agar Belanda tak menyelenggarakan sidang IGGI lagi. Artinya, dengan surat yang diteken Menteri Koordinator Bidang Ekuin Radius Prawiro pada 25 Maret lalu, IGGI yang sudah berusia 25 tahun itu tak lagi menjadi tumpuan Indonesia untuk mengetuk hati negara kreditur. Sikap Indonesia menolak peran Belanda dalam IGGI dan sekaligus tak mau menerima bantuan Belanda bukannya tanpa alasan. Indonesia menilai bahwa Belanda telah menggunakan bantuan (misalnya, komitmen tahun 1991/92 sebesar US$ 91,3 juta atau 1,9% dari seluruh pinjaman dari IGGI) sebagai alat intimidasi. Agaknya, kekesalan Indonesia ini ada kaitannya dengan berbagai "ancaman" Belanda atas sejumlah kasus di Indonesia. Belanda mau menangguhkan pencairan pinjamannya bagi Indonesia sehubungan dengan peristiwa Dili 12 November lalu. Sebelumnya, Jan Pronk, sebagai Ketua IGGI, juga mengkritik tajam soal pelaksanaan program keluarga berencana sebagai proyek pemaksaan. Kritiknya yang lain adalah soal model konsep pembangunan yang "dari atas" top down harus diganti dengan (bottom up), dan lain-lain. Bahkan, Pronk juga pernah mengancam akan menangguhkan pinjaman bila Indonesia mengeksekusi hukuman mati beberapa terpidana yang terbukti terlibat G30S/PKI. Banyak ulah Pronk, kini wakil ketua Partij van den Arbeid (sosialis), sayap kiri yang kurang berkenan di hati pemerintah Indonesia. Ia dikenal idealistis dan pendekar si miskin. Ia selalu turun ke bawah untuk mencari informasi tangan pertama dari orang kecil. Baik ketika ia menjadi Menteri Kerja Sama dan Pembangunan tahun 1973-1976 maupun tahun 1989 sampai sekarang. Bahkan, dalam kunjungan tahunannya April ini, ia telah merencanakan untuk mengunjungi Aceh dan kemudian Irian Jaya. Tampaknya ini berkaitan dengan pandangannya bahwa negara berkembang tahun 1990-an ini harus lebih mendemokratisasikan masyarakatnya, melakukan pembangunan partisipatif, dan mengusahakan pembangunan dari bawah, yang tentunya tak mengabaikan masalah hak asasi manusia. Sebagai Menteri Kerja Sama dan Pembangunan, menurut Pronk, sesungguhnya apa yang dilakukannya tak berbeda dengan yang dia terapkan di negara penerima kredit lainnya, baik di Afrika maupun Asia. Namun, di sini sikap dan tindakan Pronk sudah dianggap kelewat batas. Kekesalan itu memuncak. Akhirnya, Indonesia memutuskan tak mau menerima bantuan dari Belanda dan menolak Belanda mengoordinasikan negara kreditur di forum IGGI. Pronklah yang dianggap menjadi sasaran kekesalan itu. Karena, dalam surat Menteri Radius Prawiro yang dikirim kepada Perdana Menteri Ruud Lubbers, Pronk dan Menteri Luar Negeri Hans van den Broek masih disebutkan: "Indonesia tak ingin ikut mengakibatkan hubungan antara kedua bangsa merosot sampai hancur. Indonesia juga tak ingin melihat pemerintah Belanda berkali-kali ditempatkan pada keadaan yang sulit karena tak mampu mengendalikan hasrat berlebihan yang memakai bantuan sebagai alat untuk mengancam Indonesia." Hubungan bilateral di bidang lain diharapkan tetap akan dipupuk. Inilah yang menjadi alasan kami menurunkan Laporan Utama mengenai bubarnya IGGI. Kami juga melengkapinya dengan wawancara khusus dengan Pronk sendiri dan Menteri Broek untuk mengerti bagaimana tanggapan pemerintah Belanda. Di samping peran Belanda dalam IGGI, juga diketengahkan dari mana saja Indonesia akan mendapatkan bantuan selama ini dan pada masa datang, sejarah IGGI dan pasang surut hubungan Indonesia-Belanda. Apa pun yang terjadi dengan keputusan pemerintah Indonesia itu, tampaknya tak terlepas dari sikap dasar mengenai pinjaman luar negeri -- walau penting -- yang berfungsi sebagai pelengkap dalam pembiayaan pembangunan nasional. Bantuan luar negeri pada prinsipnya harus tanpa ikatan. Seperti ditegaskan Presiden Soeharto, ketika kembali dari kunjungan kenegaraannya ke Amerika Latin dan Afrika pertengahan Desember lalu, bahwa negara donor tidak dapat seenaknya mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Keputusan Indonesia ini boleh dibilang salah satu dari sekian negara berkembang yang menolak campur tangan dan tekanan negara kreditur. Bisa jadi, ini akan dilihat negara berkembang lainnya. A. Margana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus