Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Protokol Baru Persidangan Tuai Kontroversi

Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Peraturan Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan.

21 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan

  • Rekaman selama persidangan juga sangat bermanfaat untuk menghadirkan persidangan yang fair.

  • Perma Nomor 5 Tahun 2020 bukan untuk membatasi transparansi, melainkan perangkat mewujudkan peradilan yang berwibawa.

JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Peraturan Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan. Terbitnya Peraturan MA (perma) ini karena kerap terjadi gangguan kelancaran selama sidang yang mengakibatkan terganggunya rasa aman bagi hakim, aparat, dan pencari keadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, mengatakan latar belakang terbitnya Peraturan MA Nomor 5 Tahun 2020 ini adalah, selain untuk menciptakan suasana sidang yang tertib dan lancar, aparat pengadilan dan mereka yang berkepentingan, seperti saksi-saksi, terdakwa, serta pengunjung, merasa aman. “Tak jarang kita menyaksikan terjadinya insiden atau penyerangan fisik yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak puas atas putusan hakim,” ujar Andi Samsan saat dihubungi, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peraturan MA ini mengatur pedoman tentang aturan dan perilaku orang yang hadir dalam persidangan. Dalam isi peraturan MA tersebut, misalnya, disebutkan, jika kapasitas ruang sidang telah terpenuhi, untuk menjaga ketertiban, ketua majelis hakim mengatur pembatasan jumlah pengunjung sidang. Dalam pasal lainnya disebutkan bahwa pengambilan foto dan rekaman audio-visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan.

Andi mengatakan aturan dalam peraturan MA ini lebih bersifat umum untuk mengatur protokoler persidangan dan keamanan di lingkungan pengadilan. ”Dan yang terpenting, terbitnya perma ini diharapkan mewujudkan peradilan yang berwibawa.”

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengkritik penerbitan peraturan MA tersebut. Feri menyoroti permintaan izin dan melarang perekaman ataupun foto dalam persidangan. Sidang di pengadilan bersifat terbuka untuk umum, kecuali persidangan perkara asusila, perceraian, dan anak-anak.

Feri mengatakan bahwa membuka akses kepada publik untuk mengetahui proses persidangan seharusnya merupakan bagian dari transparansi peradilan dalam menjalankan kewenangan. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa dalam proses peradilan tak ada apa pun yang ditutupi. "Semua dapat membuktikannya. Termasuk dengan membolehkan video," kata Feri saat dihubungi Tempo, kemarin.

Rekaman selama persidangan juga sangat bermanfaat untuk menghadirkan persidangan yang fair. Feri mengatakan, jika sejak awal sidangnya berjalan terbuka dan dibuka untuk umum, otomatis aktivitas seperti merekam seharusnya dibolehkan. Justru dengan melarang adanya perekaman, Feri menilai MA bisa dianggap publik berusaha menutupi sesuatu.

Feri justru melihat pelarangan rekaman dan foto merupakan harga yang terlalu tinggi untuk hanya membuat sidang berjalan tertib. "Jika terdapat ketidaktertiban selama persidangan, jangan salahkan yang mengambil video. Mungkin peradilan belum memberikan pedoman bagaimana proses mengambil gambar dan merekam video di pengadilan,” ujar Feri. “Jangan videonya yang dilarang, karena itu sama saja melarang persidangan dibuka dan terbuka untuk umum."

Adapun Andi Samsan menegaskan bahwa Peraturan MA Nomor 5 Tahun 2020 bukan untuk membatasi transparansi, melainkan sebagai perangkat atau aturan untuk mewujudkan peradilan yang berwibawa. Andi menilai peraturan MA ini justru akan memberi rasa aman bagi aparat peradilan yang bersidang, mereka yang berkepentingan selama sidang, termasuk para jurnalis yang meliput. “Jadi, filosofinya pada faktor keamanan, dan sama sekali bukan membuat aturan yang membatasi transparansi,” ujar Andi.

Menurut catatan selama persidangan, salah satu peristiwa penyerangan terhadap hakim terjadi pada Juli tahun lalu. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diserang oleh seorang pengacara berinisial “D”. Peristiwa itu terjadi pada sore hari. Pengacara berinsial D itu berdiri dari kursinya dan melangkah ke depan majelis hakim yang sedang membacakan pertimbangan putusan. Pengacara itu tiba-tiba menarik ikat pinggangnya dan menyerang majelis hakim. Akibatnya, hakim terluka di bagian dahi.

EGI ADYATAMA | SUKMA LOPPIES


Protokol Baru Persidangan Tuai Kontroversi

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus