Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perjuangan Panjang Penduduk Pulau Mendol

Penduduk tidak berani ke ladang akibat konflik agraria yang terjadi di Pulau Mendol.

22 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Konflik agraria mengancam kehidupan penduduk di Pulau Mendol.

  • Perusahaan justru mulai beraktivitas setelah izin HGU dicabut.

  • Perusahaan menggugat pencabutan izin ke PTUN.

JAKARTA – Ketika disinggung tentang konflik agraria di Pulau Mendol, Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, ingatan Agustian langsung tertuju pada Said Abu Supian. Rekannya itu meninggal dalam kecelakaan di jalan tol Ciruas, Serang, Banten, pada September 2022. Saat itu, Agustian bersama rombongan sedang menuju Jakarta menggunakan tiga mobil. Mereka berencana mendatangi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). “Kematian Said Abu Supian tidak boleh sia-sia,” kata Agustian, 48 tahun, di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, kemarin. “Dalam keadaan berduka, kami tetap harus meneruskan perjuangan.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Agustian, tujuan mereka ke Kementerian ATR/BPN adalah memohon kepada pemerintah agar mencabut izin hak guna usaha (HGU) yang dikantongi perusahaan sawit PT Trisetia Usaha Mandiri (PT TUM). Keberadaan perkebunan sawit di Pulau Mendol dinilai telah mengancam kehidupan masyarakat. Sebab, tanaman sawit berdampak buruk pada hasil pertanian dan perkebunan yang dikelola masyarakat. “Sawit banyak menyerap air sehingga tanaman kami kekeringan,” kata Agustian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pulau Mendol memiliki luas sekitar 30 ribu hektare dan saat ini dihuni sekitar 17.640 jiwa. Masyarakat telah mendiami pulau itu sejak 1980-an. Tanahnya subur dan cocok untuk pertanian ataupun perkebunan. “Ada yang menanam padi organik yang panen setahun sekali,” kata Agustian. “Ada juga yang mengandalkan kelapa, pinang, karet, hingga sagu.”

Masyarakat selama ini hanya mengandalkan hujan untuk mengairi kebun yang mereka kelola. “Dulu air melimpah di Pulau Mendol,” kata Muhammad Supiano, 29 tahun, penduduk Pulau Mendol. Namun kondisinya berubah sejak beberapa tahun terakhir. Kehadiran perkebunan sawit dikhawatirkan bakal memperparah kondisi penduduk Pulau Mendol. “Kalau tak ada air, kami tak akan bisa hidup.”

Walhi Riau mengadakan diskusi bertema Suara Sahabat Pengadilan Untuk Penyelamatan Pulau Mendol di Pekanbaru, Riau, 21 Juni 2023. walhiriau.or.id

PT TUM mendapat izin HGU dari pemerintah pada 2013. Masyarakat baru beberapa tahun kemudian mengetahui soal pemberian izin itu. Mereka lantas menggelar aksi dan mendesak pemerintah segera mencabut HGU PT TUM. Pada 2020, Bupati Pelalawan benar-benar mencabut izin usaha perkebunan untuk budi daya (IUP-B) milik PT TUM.

Menyusul pencabutan IUP-B itu, Kementerian ATR/BPN kemudian memberikan surat peringatan kepada PT TUM. Namun, setelah surat peringatan dikeluarkan, PT TUM justru mendatangkan ekskavator untuk membuat jalur, membersihkan hutan, dan membuka kanal di Pulau Mendol. Perusahaan juga mendaftarkan gugatan ke PTUN Pekanbaru pada 25 Oktober 2022 untuk mempersoalkan pencabutan IUP-B oleh Bupati Pelalawan.

Tindakan perusahaan itulah yang membuat Agustian beserta kawan-kawannya mendatangi Kementerian ATR/BPN pada September 2022. Perjuangan mereka mendapat tanggapan positif. Kementerian mencabut HGU PT TUM pada 24 Januari lalu. Adapun HGU itu meliputi lahan seluas 6.055 hektare di Teluk Dalam, Teluk, Teluk Beringin, dan Teluk Bakau. PT TUM memberikan perlawanan dengan menggugat Kementerian ATR/BPN ke PTUN Jakarta. “Kami berharap hakim menolak permohonan PT TUM,” kata Agustinus. Ia kemarin datang ke Jakarta bersama tiga warga Pulau Mendol untuk mengikuti persidangan. “Kami bisa terusir dari tanah kelahiran bila gugatan perusahaan dikabulkan.”

Koordinator Kampanye Media dan Penegakan Hukum Walhi Riau, Ahlul Fadly, mengatakan HGU yang sebelumnya dikantongi PT TUM meliputi lahan seluas 6.055 hektare. Berdasarkan hasil pencitraan satelit, dari luas lahan itu, ada 2.884 hektare yang tumpang-tindih dengan permukiman dan perkebunan penduduk. Persoalan inilah yang kemudian menimbulkan konflik. Masyarakat menjadi takut beraktivitas di ladang. Mereka menunggu putusan pengadilan untuk mendapatkan rasa aman. “Orang-orang perusahaan berjaga di lahan,” kata Ahlul.

Ahlul mengatakan perusahaan membuka kanal di lahan gambut pada Juni 2022. Kanal itu memiliki panjang 950 meter—hingga bibir pantai—dengan kedalaman lebih dari 2 meter. “Berdasarkan aturan, tak boleh ada aktivitas di lahan gambut dengan kedalaman 3 meter,” katanya. “Pembukaan kanal itu berdampak pada kurangnya pasokan air di pulau.”  

Menurut Ahlul, pemberian izin HGU kepada perusahaan sebenarnya telah menyalahi aturan. Sebab, sebagian HGU itu berada di kawasan perlindungan ekosistem gambut. Berdasarkan catatan Walhi Riau, kawasan perlindungan tersebut antara lain berada di atas 9,96 hektare fungsi lindung ekosistem gambut non-kubah gambut dan 5.673,5 hektare ekosistem fungsi lindung ekosistem gambut kubah gambut. Hanya 419,07 hektare yang berada di fungsi budi daya. “Apalagi kawasan itu memiliki potensi kebakaran,” katanya.

Pembuatan kanal di Pulau Mendol itu, kata Ahlul, membuat tutupan hutan berkurang. Dampaknya, tanah tidak bisa lagi menyimpan air hujan. Keadaan itu berbahaya bagi ladang masyarakat. “Kalau air berkurang, akan berdampak pada hasil panen mereka. Lalu stok beras mereka saat panen jadi tak bisa dicapai,” ujarnya.

Pulau Mendol termasuk pulau kecil. Pulau ini terbentuk dari sedimen Sungai Kampar. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kata Ahlul, aktivitas yang bisa dilakukan hanya untuk kepentingan konservasi, pendidikan, pelatihan, penelitian, pengembangan, hingga budi daya laut. Sementara itu, kegiatan yang dilakukan PT TUM justru mengancam keberlangsungan Pulau Mendol. “Kalau tanahnya dikurangi, berpotensi mudah terbakar dan tenggelam,” ujarnya.

Kuasa Hukum PT TUM, Shelfy Asmalinda, tidak mau berkomentar tentang perkara yang sedang diperiksa di PTUN Jakarta itu. Sedangkan penanggung jawab perusahaan, Aznur Affandi, sebelumnya menegaskan perusahaan telah memiliki seluruh perizinan untuk membuka perkebunan sawit di Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan. Perizinan itu meliputi persetujuan pencadangan lahan pada 1995, izin prinsip, pelepasan kawasan hutan, serta IUP dan HGU yang baru berakhir pada 2052. “Izin kami lengkap,” ujarnya.

Menurut Aznur, perusahaan memang tidak segera memulai aktivitas perkebunan meski izin telah lama dikantongi. Alasannya, ada sejumlah persoalan teknis yang perlu diselesaikan, misalnya pemetaan ulang kawasan, penelitian dan pengkajian, serta pemenuhan modal yang cukup besar. “Ditambah situasi pandemi Covid-19,” katanya.

HENDRIK YAPUTRA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus