Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAKIM Mahkamah Konstitusi mengakhiri drama gugatan sengketa pemilihan presiden pada 22 April 2024 dengan putusan yang sudah diprediksi, namun disayangkan banyak orang. Dua kubu calon presiden, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, menggugat proses pemilihan presiden karena menilai banyak pelanggaran etika dan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah pakar hukum tata negara menilai hakim konstitusi tak mungkin mendiskualifikasi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka karena putusan itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, tentang syarat menjadi wakil presiden yang meloloskan Gibran.
"Hakim konstitusi tersandera oleh putusannya sendiri dalam perkara nomor 90 yang meloloskan Gibran," kata Herdiansyah Hamzah, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Senin, 22 April 2024. "Selama ini Mahkamah Konstitusi belum mampu keluar dari pakem prosedural untuk memutuskan perkara sengketa pilpres yang sifatnya substantif. Ini yang kita sayangkan."
Putusan yang "menolak gugatan untuk seluruhnya" itu tidak bulat. Tiga dari delapan hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion atau berbeda pendapat. Ketiganya adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Lima hakim lain, yaitu Suhartoyo, M. Guntur Hamzah, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani, menolak gugatan kedua pemohon.
Suasana sidang putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2024 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 22 April 2024. TEMPO/Febri Angga Palguna
Dalam pertimbangannya, kelima hakim konstitusi tersebut menilai pencalonan Gibran sudah memenuhi syarat. MK merujuk pada putusan atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Isi putusan ini mengubah syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu.
Awalnya, Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengatur batas usia calon presiden dan wakil presiden minimal 40 tahun. Gibran tak memenuhi syarat ini karena baru berusia 36 tahun pada tahun lalu. Namun MK, sesuai dengan putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, menambahkan syarat alternatif sehingga syarat calon presiden dan wakil presiden berubah menjadi "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah".
Putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 sesungguhnya tidak bulat. Tiga hakim MK saat itu berbeda pendapat, yakni Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
Mahkamah Konstitusi juga menyatakan keputusan Komisi Pemilihan Umum yang bersurat kepada partai politik tanpa mengubah lebih dulu Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Pemilu Presiden dan Wakil Preseden merupakan inisiatif KPU. Surat itu berisi informasi agar partai politik berpedoman pada putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Meski begitu, MK menilai KPU tetap menetapkan pasangan calon presiden dengan berpedoman pada PKPU Nomor 19 Tahun 2023 yang sudah disesuaikan dengan putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
MK juga menyinggung putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan komisioner KPU melanggar etik karena menerima pendaftaran Prabowo-Gibran tanpa mengubah PKPU Nomor 19 Tahun 2023 lebih dulu. Putusan DKPP itu, menurut MK, hanya mempersoalkan tindakan KPU yang tidak segera menyusun rancangan perubahan PKPU Nomor 19/2023 sebagai tindak lanjut atas putusan perkara Nomor 90/PUUXXI/2023.
"Bukan mempersoalkan atau membatalkan pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02," demikian pernyataan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya.
Selain permohonan diskualifikasi terhadap Prabowo-Gibran, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud meminta MK membatalkan kemenangan pasangan calon nomor urut dua serta memerintahkan penyelenggara pemilu menggelar pemungutan suara ulang tanpa Prabowo-Gibran. Kedua pemohon mendalilkan adanya kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif, misalnya politisasi bantuan sosial serta ketidaknetralan Presiden Joko Widodo, anggota kabinet, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI, penjabat kepala daerah, dan kepala desa.
Namun MK dalam pertimbangannya menyatakan dalil kedua pemohon ataupun bukti-bukti yang dihadirkan tidak cukup meyakinkan hakim. Sebagian dugaan kecurangan pemilu tersebut juga sudah ditindaklanjuti Badan Pengawas Pemilu. Selanjutnya, MK menilai berbagai dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Khusus untuk dugaan politisasi bantuan sosial, MK dalam pertimbangannya tidak meyakini adanya hubungan kausalitas atau relevansi antara penyaluran bansos dan peningkatan perolehan suara salah satu pasangan calon. MK menilai "komunikasi pemasaran" juru kampanye yang melekatkan citra diri pada pasangan calon tertentu bukanlah tindakan melanggar hukum. Pelekatan citra diri tersebut berpotensi menjadi masalah etik jika dilakukan presiden. Namun MK menyatakan parameter ketidaknetralan presiden dalam pemilu termasuk wilayah etik yang belum diatur tegas dalam peraturan perundang-undangan.
"Mahkamah Konstitusi tidak menemukan landasan hukum untuk dilakukan tindakan ihwal ketidaknetralan presiden yang mengakibatkan keuntungan bagi pihak terkait (Prabowo-Gibran)."
Dalam pertimbangannya, MK juga memberi sejumlah catatan perbaikan. Salah satu catatan itu adalah memperbaiki tata kelola penyaluran bansos yang berdekatan dengan penyelenggaraan pemilu. Tujuannya agar program itu tidak dimaknai sebagai bantuan bagi kepentingan elektoral tertentu.
Dalam urusan ini, jika belum dilakukan perbaikan tata kelola distribusi bansos, MK siap memeriksa, mengadili, dan memutuskan pemanfaatan program pemerintah tersebut sebagai bagian dari kategori pelanggaran pemilu.
(dari kiri) Hakim Saldi Isra, Hakim Suhartoyo dan Hakim Arief Hidayat saat mempimpin Sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, 22 April 2024. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Tiga Hakim Dissenting Opinion
Saldi Isra menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak dapat menafikan bahwa dugaan politisasi bansos menjadi alat untuk memenangkan salah satu kontestan pemilu. Ia mengatakan seorang presiden dapat saja berdalih bahwa percepatan program yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan program pemerintahan yang akan habis masa jabatannya.
"Namun program yang dimaksudkan pun dapat digunakan sebagai kamuflase dan dimanfaatkan sekaligus sebagai peranti dalam mendukung pasangan calon peserta pemilu presiden dan wakil presiden," kata Saldi.
Secara umum, Saldi menilai dalil pemohon mengenai politisasi bansos dan mobilisasi aparat atau penyelenggara negara beralasan menurut hukum. Ia pun berkesimpulan seharusnya MK memerintahkan pemungutan suara ulang di beberapa daerah.
Kesimpulan Saldi itu hampir serupa dengan Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat. Keduanya juga menyatakan MK semestinya memerintahkan pemungutan suara ulang di sejumlah provinsi, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara.
Enny yakin terjadi ketidaknetralan pejabat, yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos. Sedangkan Arief yakin terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif yang melibatkan intervensi kekuasaan presiden untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Ada pula tindakan presiden yang tidak netral sehingga melanggar etika pemerintahan, politisasi distribusi program perlindungan sosial dan bansos, serta lemahnya pengawasan Bawaslu.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, berpendapat bukti-bukti dalam persidangan seharusnya sudah cukup bagi MK mengabulkan permohonan kedua pemohon. "Misalnya melakukan pemungutan suara ulang di beberapa tempat yang disebutkan," ujarnya, kemarin.
Yance mengatakan fakta adanya tiga hakim MK yang menyatakan dissenting opinion menguatkan bahwa pemilihan presiden 2024 bermasalah. Meski pemilu bermasalah, kata dia, pertimbangan ketiga hakim yang berbeda pendapat tersebut kalah oleh lima hakim konstitusi lain yang menolak seluruh permohonan pemohon.
Yance melanjutkan, putusan sengketa pemilihan presiden semestinya menjadi kesempatan Mahkamah Konstitusi memperbaiki demokrasi dan pelemahan institusi negara hukum yang tercoreng oleh putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Namun MK tidak menggunakan kesempatan tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo