Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum atau KPU telah menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pemenang Pilpres 2024 pada 24 April lalu. Salah satu topik yang menjadi perhatian publik, termasuk para pakar politik dan hukum tata negara, setelah penetapan tersebut adalah perihal rencana susunan kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas, Asrinaldi: Prabowo-Gibran Harus Perhatikan Komposisi Profesional dan Parpol
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas Asrinaldi mengatakan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka harus memperhatikan komposisi kalangan profesional dan partai politik dalam menyusun kabinet pemerintahan 2024-2029.
“Tentang bagaimana bisa mewujudkan visi dan misi dari Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih Prabowo dan Gibran, ya, tentunya dengan melihat kompetensi dari jabatan menteri yang harus diberikan kepada partai, dan jabatan menteri kepada profesional,” kata dia saat dihubungi pada Selasa, 30 April 2024.
Dia juga menyebutkan Prabowo-Gibran dapat meminta saran atau rekomendasi dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam menyusun kabinet pemerintahannya kelak.
“Dan jabatan menteri yang ditugaskan oleh Presiden Jokowi, tentunya kalau memang beliau dianggap ikut berkontribusi dalam pemenangan Prabowo-Gibran,” ujarnya.
Namun dia mengatakan Prabowo-Gibran perlu menyepakati susunan kabinet pemerintahannya mendatang dengan koalisi pengusung, yakni Koalisi Indonesia Maju.
“Jadi tidak bisa menetapkan kabinet ini atau nama-nama menteri ini hanya keinginan Prabowo dan Gibran karena semuanya berkontribusi,” kata dia.
Asrinaldi mengatakan, jika Prabowo-Gibran menjalankan langkah-langkah tersebut, maka kabinet yang dibentuk akan semakin solid.
2. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Muryanto Amin: Para Profesional Sangat Penting
Guru Besar Ilmu Politik sekaligus Rektor Universitas Sumatera Utara Muryanto Amin mengatakan Prabowo-Gibran perlu memperhatikan penyusunan kabinet pemerintahan 2024-2029. Dia menyebut komposisi kabinet pemerintahan mendatang tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.
“Kalau lihat dari kebiasaan kelaziman, pertama, tentu porsi diberikan pada partai pendukung. Kemudian, tim pemenangan, termasuk di dalamnya itu adalah para relawan yang mendukung pada waktu itu. Lalu, profesional, para profesional itu sangat penting untuk bisa mengombinasikan antara politisi dan kelompok profesional,” kata dia saat dihubungi pada Selasa, 30 April.
Menurut dia, desain besar keberlanjutan perlu menjadi prioritas Prabowo-Gibran sebelum dilantik pada 20 Oktober 2024.
“Setelah desain program, platform program disepakati, barulah Prabowo sebagai presiden terpilih dan Gibran sebagai wapres terpilih dengan para tim intinya melakukan komunikasi-komunikasi dengan partai politik. Kenapa? Karena ini penting,” ujarnya.
Dia menuturkan komunikasi politik harus terus dilakukan Prabowo-Gibran pada rentang waktu sebelum dilantik agar mendapatkan dukungan dari partai politik di legislatif, yakni DPR RI.
“Untuk memuluskan atau memberikan kesamaan persepsi, tindakan terhadap program-program yang mau dilaksanakan,” ujarnya.
3. Sekjen APHTN-HAN, Bayu Dwi Anggono:
Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Bayu Dwi Anggono mengusulkan adanya perubahan Undang-Undang Kementerian Negara yang dinilai sudah tidak relevan.
"Terdapat kebutuhan hukum untuk melakukan perubahan atas UU Kementerian Negara dalam rangka penataan pembentukan Kabinet Presidensial yang konstitusional," katanya dalam keterangan tertulis di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Senin, 30 April.
Hal tersebut berdasarkan catatan analisis dalam hasil kajian rapat kerja nasional (rakernas) APHTN-HAN dalam tema besar "Penataan Kabinet Presidensial di Indonesia: Refleksi dan Proyeksi Konstitusional" yang diselenggarakan di Makassar pada 26-28 April 2024.
Usulan tersebut juga ditujukan untuk penataan kabinet Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pada Pilpres 2024.
"Ada tujuh poin yang menjadi alasan APHTN-HAN untuk usulan perubahan UU Kementerian Negara agar mampu mewujudkan tata kelola pemerintahan bersih, demokratis, dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat," tuturnya.
Pertama, kata dia, belum semua urusan pemerintahan yang disebut dalam UUD 1945 diatur dalam UU Kementerian Negara karena ada beberapa urusan pemerintahan yang belum ada nomenklaturnya dalam kementerian. Kedua, UUD 1945 tidak mengatur mengenai jumlah kementerian, sehingga pembatasan jumlah paling banyak 34 kementerian yang diatur Pasal 15 UU Kementerian Negara sudah tidak relevan.
Ketiga, tidak wajib membentuk kementerian koordinator karena diatur dalam UUD 1945 dan UU Kementerian Negara.
"Apabila tetap dibentuk kementerian koordinator, perlu dipertimbangkan agar jumlahnya paling banyak tiga kementerian koordinator saja yakni klaster politik hukum keamanan, klaster ekonomi dan keuangan, serta klaster pembangunan manusia dan kesejahteraan rakyat," ucap Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu.
Keempat, perlu diperhatikan keseimbangan antara jumlah menteri dari partai politik dan menteri dari kalangan profesional. Dia mengatakan, APHTN-HAN mengusulkan tiga kategori kementerian yang seharusnya diisi kalangan profesional yakni kementerian yang bersentuhan langsung dengan kepentingan hajat hidup orang banyak di antaranya bidang pendidikan dan pertanian. Kemudian kementerian yang berkaitan dengan urusan pemerintahan teknokratis serta kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan bersifat vertikal.
Kelima, rakernas APHTN-HAN juga mengusulkan jabatan wakil menteri harus dibatasi dengan kriteria yang jelas. Keenam, perlu memperkuat kelembagaan dan fungsi Kantor Staf Presiden (KSP) sebagai lembaga di lingkungan istana yang mendukung urusan kerja presiden dan wakil presiden.
Dan ketujuh, yakni jabatan Jaksa Agung harus diisi oleh bukan dari perwakilan partai politik sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XXII/2024.