Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pemulihan Korban Tak Cukup Sekadar Bantuan Sosial

Tidak semua korban pelanggaran HAM berat masa lalu menerima bantuan. Pemerintah tak memiliki data akurat tentang jumlah korban. 

28 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Keseriusan pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat diragukan.

  • Pemulihan terhadap korban tak cukup sekadar memberikan rehabilitasi sosial dan ekonomi.

  • Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara yuridis tetap harus dituntaskan.

JAKARTA – Sejumlah pegiat kemanusiaan ragu akan keseriusan pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi di masa lalu. Peluncuran program penyelesaian secara non-yudisial di Aceh yang dihadiri kepala negara dinilai tidak sesuai dengan harapan korban dan keluarga. Sebab, presiden, dalam pidatonya, sama sekali tidak mengucapkan kalimat permintaan maaf.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Itu sangat mengecewakan,” kata peneliti dari Asia Justice and Rights (AJAR), Mulki Makmun, kemarin. “Itu menjadi gambaran ketidakseriusan pemerintah terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia.”  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebenarnya, kata Mulki, banyak yang berharap penyelesaian kasus HAM secara non-yudisial ini dapat dijadikan pintu masuk bagi korban untuk mendapatkan hak mereka. Namun, alih-alih terpenuhi, korban justru merasa harapan itu semakin jauh. “Dalam proses kick-off saja, banyak permasalahan yang menjadi pertanyaan, sejauh mana keseriusan pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM,” ujar Mulki.

Presiden Joko Widodo kemarin secara resmi meluncurkan program penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu. Perhelatan ini digelar di area Rumoh Geudong, Desa Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh. “Pemerintah punya niat tulus untuk menyelesaikan masalah ini,” kata Jokowi dalam pidatonya. “Kepada korban dan ahli waris, kami ucapkan terima kasih telah menerima proses ini setelah penantian panjang.”

Joko Widodo mengatakan luka akibat pelanggaran HAM berat di masa lalu harus segera dipulihkan agar Indonesia dapat bergerak maju. Untuk itu, pemerintah menempuh penyelesaian non-yudisial demi memenuhi hak-hak korban tanpa menegasikan mekanisme yudisial. Pemerintah juga berkomitmen pada upaya-upaya pencegahan agar pelanggaran HAM berat tidak terulang pada masa yang akan datang.

Korban kasus Talangsari Lampung 7 Februari 1987 di Gedung MPR/ DPR RI, Jakarta, 2006. Tempo/ Gunawan Wicaksono

Pemerintah sebelumnya mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat di masa lalu dalam 12 peristiwa. Peristiwa-peristiwa itu adalah pembantaian yang terjadi pada 1965-1966, penembakan misterius (1982-1985), Talangsari di Lampung (1989), Rumoh Geudong di Aceh (1989), penculikan dan penghilangan orang secara paksa (1997-1998), serta kerusuhan Mei (1998). Selain itu, ada kasus Trisakti dan Semanggi I-II (1998-1999), pembunuhan dukun santet (1998-1999), Simpang KKA Aceh (1999), Wasior Papua (2001-2002), Wamena Papua (2003), dan Jambo Keupok Aceh (2003).

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md. mengatakan, dalam pemenuhan hak-hak korban, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat. Sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian dilibatkan untuk program ini. "Usaha menyelesaikannya melalui jalur yudisial juga akan terus dilakukan," ujar Mahfud.

Mulki menilai, dalam kick-off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara non-yudisial itu belum menunjukkan kepastian tentang pemenuhan hak terhadap semua korban. Sebab, AJAR mencatat masih banyak korban, termasuk ahli waris, yang tidak terdata sebagai penerima bantuan. Apalagi pemerintah tidak memiliki kriteria yang jelas untuk menentukan orang-orang yang dikategorikan sebagai korban. “Untuk mendapatkan undangan penerimaan bantuan saja, korban dan keluarganya seperti dipingpong sana-sini karena data korban yang belum jelas.”

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, berpendapat bahwa mekanisme pemulihan yang dijanjikan Presiden cenderung mengarah pada cara-cara karitatif, seperti dalam program penyaluran bantuan sosial. “Pemulihan merupakan satu proses untuk memenuhi hak-hak dan mengembalikan martabat korban,” kata Wahyudi. “Jadi, tidak semata-mata rehabilitasi sosial dan ekonomi, tapi juga mesti memberikan jaminan kepuasan bagi korban dengan memulihkan reputasi mereka.”

Dalam kasus-kasus pelanggaran HAM, kata Wahyudi, dampak terhadap korban tidak selalu sama. Dengan demikian, upaya pemulihan pun tidak bisa seragam dan harus berpijak pada karakteristik masing-masing korban. Pemerintah dapat mengawali proses ini dengan menerbitkan kebijakan umum tentang pemulihan korban, memformulasikan dan menyiapkan mekanisme dan jenis-jenis layanan pemulihan, serta memetakan dan mendorong perubahan berbagai kebijakan yang mudah diakses korban. 

Korban penembakan misterius tanggal 20 Mei 1983 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 1983. Dok Tempo/ Ali Said

Langkah pemulihan yang tidak kalah penting adalah penyelesaian kasus secara yuridis. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyerahkan hasil penyelidikan kepada Kejaksaan Agung pada 2012. Namun sejauh ini belum ada langkah-langkah signifikan untuk membawa kasus ini ke meja hijau. Karena itu, pemerintah perlu menginstruksikan Jaksa Agung agar menindaklanjuti 12 pelanggaran HAM berat yang menjadi temuan Komnas HAM. 

Terlepas dari kendala pembuktian dan hukum acara, kata Wahyudi, Jaksa Agung semestinya sudah bisa melangkah maju dengan berpijak pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. “Misalnya dengan menggunakan klausul Pasal 47 melalui mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi,” ucapnya.

Wakil Ketua Komnas HAM Abdul Haris Semendawai mengatakan memang tidak mudah menuntaskan 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara yuridis. Terutama untuk peristiwa pembantaian yang terjadi pada 1965-1966. “Karena peristiwanya sudah 60 tahun berlalu,” kata dia. “Mekanisme yudisial dan non-yudisial mempunyai konsekuensi dan prasyarat yang harus dipenuhi.”  

Komnas HAM bersama Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung saat ini sedang mengkaji upaya litigasi yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. “Karena selama ini Kejaksaan selalu berkelit. Kalau dipaksakan ke pengadilan HAM, pelaku (berpeluang besar) akan dibebaskan,” katanya. “Penanganan yudisial ini juga terhambat sistem peradilan HAM yang belum tersedia.”

Hingga semalam, Kejaksaan Agung belum memberi tanggapan atas 12 berkas penyelidikan Komnas HAM tentang pelanggaran HAM berat masa lalu. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, tidak menjawab panggilan telepon ataupun pesan instan yang dikirim Tempo. Namun sebelumnya Ketut mengatakan Kejaksaan kesulitan mendapatkan bukti-bukti dalam peristiwa hukum di masa lalu. Apalagi peristiwa itu terjadi pada puluhan tahun silam. "Ini tidak mudah, termasuk bukti-bukti petunjuk yang barangkali sudah tidak ada lagi," katanya.

IMAM HAMDI | HENDRIK YAPUTRA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus