Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rancangan setelah seabad tak ...

Wawancara dua wartawan tempo, ahmadie thaha dan happy sulistyadi dengan menteri agama munawir sjadzali di kantornya mengenai lahirnya rancangan undang-undang peradilan agama.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Agama Munawir Sjadzali membuka lembaran sejarah baru. Sabtu minggu lalu, ia menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU)tentang Peradilan Agama ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "Ini RUU pertama dari Departemen Agama," ujarnya Lusanya, Munawir menerima dua wartawan TEMPO, Ahmadie Thaha dan Happy Sulistyadi, dikantornya untuk sebuah wawancara mengenai kelahiran RUU Peradilan Agama itu. Petikannya: Bisakah Bapak menjelaskan proses kelahiran RUU Peradilan Agama? Menurut UU Nomor 14 Tahun 1970, kekuasaan hakim dibagi dalam empat lingkungan peradilan. Peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan militer, dan peradilan agama. Keempatnya sama derajatnya. Tapi apakah peradilan agama sama derajatnya dengan peradilan umum? Jawabannya: belum. Pertama, peradilan agama, yang merupak produk undang-undang zaman kolonial tidak berlaku seragam. Peradilan agama untuk Jawa dan Madura, Kalimantan Selatan, serta daerah lainnya berbeda satu sama lain. Dengan RUU baru ini wewenang peradilan agama di seluruh Indonesia disamakan. Kedua, peradilan agama selama ini belum mandiri. Setiap keputusannya memerlukan fiat dari pengadilan negeri. Jika RUU baru ini diterima sebagai undang-undang, keputusan peradilan agama tidak lagi memerlukan pengukuhan dari pengadilan negeri.Keputusan pengadilan agama bersifat final. Mereka juga punya aparat tersendiri untuk melaksanakan keputusannya. Apakah peradilan agama merupakan atribut negara Islam? Peradilan agama bukan atribut negara Islam. Bahkan Singapura, Filipina, Sri Lanka, dan Muangthai punya apa yang disebut Mahkamah Syari'ah. Karena ada soal-soal menyangkut perkawinan, misalnya, yang hanya dibutuhkan oleh umat Islam. Umat lain tak memerlukannya. Dan perlu saya jelaskan bahwa yang menyusun RUU peradilan agama itu bukan hanya Departemen Agama. Juga melibatkan Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung. Semua itu sebagai kelanjutan dari UU Nomor 14 Tahun 1970. Megapa RUU tentang Peradilan Agama baru lahir sekarang? Peradilan agama secara resmi sudah ada sejak 1882. Ironisnya, sampai sekarang para hakim agama tidak punya buku pegangan. Dalam memutuskan masalah, mereka mengacu kepada buku-buku fikih. Karena rujukannya tidak seragam, terserah kepada tiap-tiap hakim, bisa saja dua kasus serupa memperoleh keputusan berbeda. Ini tidak memberi kepastian hukum bagi pencari keadilan. Maka, Maret 1985, diterbitkan surat keputusan bersama antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tentang pendirian proyekkompilasi hukum Islam yang menyangkut perkawinan, wakaf, dan waris. Cara yang ditempuh, antara lain,menelusuri kembali buku-buku fikih yang ada, lewat loka karya dengan ormas-ormas Islam dan para ulama, menelusuri kembali sejarah yurisprudensi Islam di Indonesia selama seabad terakhir, dan mengadakan studi perbandingan dengan Maroko (kerajaan), Turki (sekular), dan Mesir (perpaduan antara Maroko dan Turki). Dalam rangka menyiapkan ketiga buku hukum itulah saya melontarkan isu reaktualisasi. Soalnya, saya melihat ada sikap mendua di kalangankita. Contohnya, Quran menegaskan soal hukum waris, tapi dalam praktek banyak di antara kita yang tidak melaksanakan hukum waris itu. Di Kalaimantan Selatan, misalnya, banyak orang menuliskan wasiatnya tentang pembagian harta waris. Padahal, ada hadis menyatakan: "Tidak ada wasiat bagi pewaris." Tampaknya RUU Peradilan Agama akan mengangkat harkat martabat wanita. Betulkah? Mengangakat martabat wanita sesuai dengan ajaran Islam. Tapi banyak di antara kita yang bersikap mendua. Misalnya, tentang pembagian waris 2:1 yang sudah ditetapkan Quran. Mereka yang tidak mau melaksanakan cara pembagian itu justru tokoh-tokoh Islam sendiri. Dalam keadaan tertentu kita memang bisa bergeser dari kententuan nash. Ketua MUI Solo, Kiai Ali Darokah, misalnya, mengartikan ayat li al-dzakari mitslu hadd al-huntsayayn dengan dikaitkan pada ayat tentang "lelaki memimpin wanita". Menurut Kiai Darokah, laki-laki yang berhak menerima pembagian 2:1 adalah laki-laki yang "memimpin wanita". Di Solo, katanya, malah banyak wanita yang memimpin laki-laki. Ada yang mengkritik saya mengakui prinsip pembagian 1:1. Padahal, saya belum sampai ke sana. Saya hanya berpikir agar kita menjalankan agama dengan lebih terhormat. Tidak secara dagelan. Di satu pihak kita tak mau bergeser dari ajaran agama, tapi di lain pihak kita tidak melaksanakannya. Peradilan agama, menurut RUU, hanya berwenang menangani soal-soal perdata. Bagaimana dengan hukum pidana? Apakah itu dianggap tidak ada? Hukum Islam yang ada sekarang memang hanya menyangkut soal-soal pribadi, seperti perkawinan, waris. Itu berlaku hampir di semua negara Islam. Dalam memutuskan pekara pidana, misalnya, Mesir menganut hukum pidana Prancis. Tentang soal-soal pidana (jinayat)kita cukup mempelajari hukum yang berkembang di masyarakat. Apakah Bapak optimistis RUU Peradilan Agama akan menjadi undang-undang? Saya optimistis. Sebab, tak ada yang baru dalam RUU ini. RUU ini hanya mengatur hal yang lama sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 1970. Bagaimana tentang kesiapan pelaksanaannya? Kita sudah siap. Dalam soal ini, kita sudah lama dibimbing Mahkamah Agung. Konsekuensi dari UU Nomor 14 Tahun 1970, antara lain, kalau peradilan agama sudah mandiri, dan derajatnya sudah sama dengan badan peradilan yang lain, maka kualitas dari hakim dan aparatperadilan agama ditarik ke atas. Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman banyak membantu kami dalam meningkatkan kualitas hakim peradilan agama. Bagaimana kalau agama lain juga menuntut adanya RUU Peradilan Agama bagi mereka? Itu masih perlu dibahas lebih lanjut. Dalam agama Hindu, misalnya, masih perlu dipertanyakan apakah peradilan yang ada dulu betul-betul peradilan agama atau hanya peradilan adat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus